Hamilton's Mansion, Manhattan, NYC.
Keleigh mencondongkan kepala untuk mendekat ke kaca depan terbuka sedan jaguar Xj50 milik pujaan hatinya.
"Terimakasih, Tristan." Ucapnya dengan nada selembut mungkin, dan senyum semanis mungkin.
Tristan mengangguk, "sampaikan salamku untuk Mr dan Mrs Hamilton, juga Kayla dan Kenneth." pinta Tristan dengan suara yang selalu membuat dada Keleigh berdebar.
Keleigh mengangguk anggun, "iya. Drive slowly and Be careful on the way." pintanya dengan bibir tersenyum manis, membuat kedua dimple-nya muncul.
Tristan kembali mengangguk diplomatis. Sebelum kaca depan mulai tertutup, Keleigh menyempatkan matanya untuk memandangi wajah dan tangan Tristan yang memegang stir.
Kedua tangan besar mendambakan dengan lengan kemeja yang di gulung, bertanggar cartier elegant yang sangat Tristan sekali. Segala hal tentang pria itu memang selalu indah, elegant, tenang dan misterius. Membuat Keleigh kembali semakin, dan semakin jatuh untuk memuja pria itu.
Setelah memastikan jika sedan mewah elegant itu keluar dari gerbang, Keleigh melepas segala topeng anggunnya.
"Oh my Lord! Oh my Lord!! Dia tampan sekali. Kyaaa!! Dia idamanku sekali!!" serunya sambil melempar asal heels ke depan pintu mansion dan langsung melompat-lompat girang.
"I'm good yeah I'm feelin' alright ...
Baby I'ma have the best fuckin' night of my life ... And wherever it takes me i'm down for the ride ... Baby, don't you know I'm good yeah I'm feelin' alright ...."
Tidak hanya bersenandung. Keleigh tidak menahan diri untuk bernyanyi di tengah-tengah ruang tamu mansion yang sudah kembali seperti semula.
Hatinya berbunga-bunga. Perasaannya bahagia. Isi kepalanya hanya terus berputar tentang Tristan, Tristan dan Tristan. Jika sudah seperti ini, tidak ada alasan untuknya menyerah. Ia ... Sangat menggilai Tristan Douglas Donovan. Ia ingin memilikinya.
Bukankah, usia 20 tahun sudah cukup untuk menikah?
-000-
"Tidak."
Keleigh berdecak sambil mendaratkan bokong dengan kasar ke atas sofa di ruang kerja Bennedict.
"Mom ...," Rengeknya dengan wajah cemberut. Lantas melipat kaki ke atas sofa.
Donna yang sedang merajut sambil menemani suaminya yang mulai bekerja di rumah karena ada Kenneth akan menghabiskan libur smester di Manhattan, kembali menjawab tegas, "tidak, Ke."
"Ayolah, mom ...."
Rengek Keleigh tidak akan menyerah. Memang apa masalahnya jika ia ingin menikah di usianya sekarang? Toh usianya sudah legal untuk menikah. Ia juga sudah memiliki calonnya.
"Sayang, apa semalam kepalamu terbentuk meja bar?" sindir Donna sambil terus meneruskan rajutannya.
"Tidak, mom. Aku ini serius. Aku bahkan sudah merencanakan ini dari empat tahun lalu."
Jawaban Keleigh membuat tangan Donna terhenti. Lantas menatap putri bungsunya. "Dari empat tahun lalu?" ulangnya dengan wajah penuh tanda tanya.
Kepala Keleigh mengangguk mantap, "iya. Dan sudah dari empat tahun juga aku merencanakan ini."
Donna hampir memekik mendengar ucapan Keleigh, "kau punya kekasih, sayang?!" tanyanya dengan penuh penekanan.
Keleigh meringis sambil mengaruki kepalanya yang tidak gatal sama sekali, lalu menjawab dengan suara memelan, "tidak, mom."
"Lalu apa maksut rencana untuk menikah dari empat tahun lalu jika kau tidak mempunyai kekasih?" kali ini, Donna sudah meletakkan rajutannya ke atas meja sambil menatap putrinya penuh selidik.
"Uumm ... Aku menyukai seseorang, mom. Orang yang sama dari empat tahun lalu." lirih Keleigh sambil melirik Bennedict yang terlihat tidak terganggu sama sekali dengan keributan yang ia buat.
"Kau menyukai seseorang?! Men-nyu-ka-i seseorang, Ke?" ulang Donna dengan penuh penekanan.
Apa-apaan ini. Apa putrinya ini salah makan? Pikir Donna.
"Tidak. Aku tidak hanya menyukainya tapi juga mencintainya, mom." ungkap Keleigh.
"Kau men-cin-ta-i-nya, Keleigh?" lagi-lagi Donna mengulai dengan tegas apa yang ia dengar. Seolah ia tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja Keleigh katakan.
"Iya. Aku men-cin-ta-i-nya, mom." tegas Keleigh.
Donna terdiam sambil melipat kedua tangan di depan dada. Tatapannya yang memang sudah menatap Keleigh menajam. Membuat gadis itu langsung berdiri dan mendekat ke meja kerja Bennedict.
"Dad ...," panggilnya dengan nada merengek minta pertolongan.
Bennedict tersenyum geli, "iya, sweetheart?"
"Jangan kabur dariku, Keleigh. Katakan, pria malang mana yang sedang kau paksa untuk menikahimu?"
"Mom!!" protes Keleigh. Ia tidak terima saat ibunya menganggap rencananya adalah kemalangan untuk Tristan. Karena ia akan menjadikan Tristan suami paling bahagia di muka bumi ini jika mereka sudah menikah nanti.
"Katakan, Keleigh." tekan Donna. Ia sangat penasaran siapa pria yang sudah membuat otak putrinya menjadi setengah gila seperti sekarang.
"Tristan Donovan."
Bukan Keleigh yang manjawab. Tapi Bennedict. Membuat Keleigh tekesiap dan langsung menekuk lutut di sebelah meja Bennedict sambil meletakkan dagu di atas meja.
Sedangkan Donna butuh waktu sepersekian detik untuk mencerna.
"K-kau tahu, dad?" Tanya Keleigh dengan sedikit gugup.
Bennedict hanya tersenyum tanpa menjawab sambil kembali berselancar di atas keyboard laptop.
"Kau tahu, sayang?" Donna ikut bertanya.
Akhirnya Bennedict mengangguk, "apa yang tidak ku ketahui tentang putra dan putri-putri-ku." jawab Dominnict sambil mengusap lembut surai Keleigh.
***
Hari ini saturday morning ceria.
Keyla yang sudah mendapatkan gelarnya sebagai seorang dokter umum di rumah sakit milik Hamilton kebetulan sedang off shift. Ia bersama Kenneth sedang berada di luar untuk joging pagi di sekitar Manhattan park.
Donna bersama para pelayan seperti biasa setiap pagi sedang menyiapkan sarapan pagi. Sedangkan Bennedict sedang menunggu di ruang keluarga sambil membolak balik New York Times terbaru.
"Dad ...."
Bennedict menoleh, "good morning, sweetheart." sapanya sambil kembali menatap lembaran New York Times.
"Morning, dad." Balas Keleigh dengan suara serak khas bangun tidur.
Masih menggunakan gaun tidur dengan rambut yang masih di ikat sembarang, Keleigh langsung menghempas kasar bokong ke samping Bennedict.
"Please ... Please, dad." Rayunya sambil bergelayut di sebelah tangan Bennedict dan meletakan manja kepalanya di sebelah bahu ayahnya.
Bibir Bennedict tersenyum tipis. Putri bungsunya ini tidak akan menyerah. Ia tahu itu.
"Apa, sayang? Kau ingin apa, heh?"
Mengerucutkan bibir karena sebal, Keleigh semakin mengeratkan gelayutannya, "dad ayolah ... Ayolah, dad. Please ...." mintanya sambil menggoyang ringan lengan Bennedict.
"Ibu-mu kemarin sudah menjelaskan, sayang. Masih terlalu muda untuk-mu menikah."
Keleigh berdecak sebal, lantas menarik nafas panjang, "aku tahu jika pernikahan adalah hal serius. Aku tahu jika pernikahan hanya sekali seumur hidup, terlebih untuk keluarga kita. Aku tahu jika memiliki suami pertanda tidak bisa lagi melakukan banyak hal sesuka hati-ku. Aku tahu jika menjadi istri harus siap melayani, menemani, mendukung, dan menuruti suami. Aku tahu menjadi istri tidaklah mudah jika tidak benar-benar mempersiapkan diri. Aku tahu, aku tahu dan aku tahu, dad." jelas Keleigh panjang lebar.
Bennedict mendengarkan dengan baik setiap penjelasan Keleigh yang kemarin putrinya dapatkan dari Donna. Tapi ia masih tetap diam menatap lebaran halaman New York Times.
Belum mendapat respon, Keleigh melanjutkan, "aku tahu pernikahan bukanlah permainan." mendongakkan wajah, Keleigh menatap ayahnya, "dan tidak pernah sekalipun aku berpikir jika pernikahan adalah permainan. Aku sangat tahu arti dari sebuah pernikahan, dad."
Ruangan itu masih tetap hanya di isi suara satu orang saja. Membuat Keleigh kembali menarik nafas panjang dan mendongakkan kepala. "Dad, pernikahan adalah komitmen dan sumpah. Komitmen yang tidak hanya ku lakukan bersama pasangan-ku tapi juga Tuhan. Aku akan berjanji dan bersumpah pada Tuhan, mana mungkin aku menganggap itu hal sepele, apa lagi hanya sebuah permainan."
Panjang lebar Keleigh berbicara. Tapi Bennedict masih tetap diam. Walaupun Keleigh menyadari jika Bennedict mendengarkannya dengan baik.
"Dad ...," rengeknya meminta jawaban sambil menggoyangkan lengan Bennedict.
"Iya, sayang?"
Respon Bennedict masih belum sesuai keinginannya. Lantas Keleigh kembali diam hingga beberapa saat ruangan di penuhi keheningan.
Keleigh melirik lembar halaman yang sedang di baca ayahnya. Lalu berbisik, "urutannya naik satu."
Mengulum senyum, dari ekor mata Bennedict melirik wajah putrinya yang sedang memusatkan fokus pada bagian bawah halaman New York Times yang sedang ia buka.
"Kau semakin kaya raya saja, dad." sindir Keleigh dengan nada bosan.
Bennedict tersenyum geli, "tidak juga. Aku orang biasa." sanggahnya dengan nada yang terdengar menyebalkan.
Berdecak sebal, telunjuk Keleigh menunjuk bagian di halaman yang ia baca. Lantas membacakan bagian penting yang menyangkut tentang ayahnya.
"Sepuluh perusahaan raksasa tahun ini dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar ditutup oleh UnitedHealth Holding Group, perusahaan health-care dan asuransi multinasional nirlaba yang berpusat di Manhattan, New York City. Perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1944 ini naik satu tingkat dalam sepuluh daftar perusahaan terbesar di dunia dengan meraup Revenue (TTM): $217.9 billion, Net income (TTM): $39.4 billion, Market Cap: $354.09 billion. Kenaikan laba dan keutungan perusahaan ini tidak lepas dari tanggung jawab kepemimpinan CEO dan juga Presiden Direktur Kenneth Bennedict Hamilton." ujar Keleigh dengan mengambil bagian yang menurutnya penting.
"Wow! Kaya raya sekali Bennedict itu ya." Bennedict bersorak dengan nada di buat-buat.
Membuat Keleigh langsung memulat bola mata jengah. "Yaa ... Yaa ... Yaa ... Kaya raya dan menyebalkan," cibirnya.
Bennedict kembali terkekeh sambil membalik halaman. Keleigh kembali diam sambil menunggu dan ikut melirik-lirik informasi terbaru yang di suguhkan koran nomer satu se-New York itu.
"Nak ...," Di tengah keheningan, nada lembut tapi menegaskan keseriusan membuat Keleigh langsung mengangkat kepala. Bennedict menutup koran dan melipat sambil berucap, "kau benar-benar menginginkan pria itu?" tanyanya. Lalu meletakkan koran yang sudah terlipat dua ke atas meja.
Keleigh menatap ayahnya dengan serius. Lantas mengangguk yakin. "Aku tidak pernah seserius ini, dad."
Mengangguk singkat, Bennedict menoleh untuk menatap putri bungsunya. "Aku bisa memberikan apapun untukmu, kau tahu itu kan?"
Mulai gugup, Keleigh mengangguk. "Iya, dad," jawabnya dengan yakin.
"Termasuk apa yang kau inginkan sekarang. Aku bisa mengaturnya dengan mudah," ujar Bennedict lembut tetap tidak meninggalkan keseriusannya.
Kepala Keleigh hanya mengangguk singkat karena tahu jika ayahnya belum selesai berbicara.
"Ayah-mu ini tidak bisa hidup selamanya, nak. Tapi sebuah pernikahan harus hidup hingga maut yang memisahkan."
Ucapan Bennedict membuat Keleigh ingin membantah tidak terima, tapi Bennedict langsung memotong, "jika nanti aku sudah tidak ada lagi di dunia ini, apa putriku yang manja ini sanggup untuk mempertahankan komitmen dan sumpah pernikahannya?"
Keleigh kembali ingin membuka mulutnya untuk membantah, tapi usapan lembut Bennedict di surainya membuat hati Keleigh menjadi tidak nyaman hingga mulutnya kembali mengatup.
Tidak mendapat jawaban, Bennedict mengulangi, "apa kau sanggup, sayang?"
"D-dad, jangan bicara begitu. Kau akan hidup selama dua ratus tahun." Lirih Keleigh dengan hati yang terasa semakin tidak nyaman.
Bennedict tersenyum sendu. Menatap dalam kedua iris amber yang sama seperti milik istrinya, lantas berucap, "Usia ada di tangan Tuhan. Kita bisa berharap tapi tidak punya kuasa."
"Aku selalu berdoa pada Tuhan agar dad, mom, Kenneth, Kayla dan orang-orang yang ku sayangi selalu sehat. Jika masih kurang, aku akan berdoa setiap hari dan setiap saat. Aku yakin Tuhan mendengarkan. Aku percaya pada-Nya. God is good, dad. Percayalah." ujar Keleigh meyakinkan. Entah untuk meyakinkan siapa, tapi ia selalu menanamkam ajaran itu di dalam hatinya. Dad dan mom-nya yang mengajarkan, jadi tidak akan ada kebohongan disana.
Penuturan Keleigh membuat hati Bennedict bangga. Ia mengangguk, membenarkan setiap keyakinan yang di miliki putrinya. "Benar, nak. Dan apapun yang di berikan dan akan di takdirkan Tuhan selalu menjadi yang terbaik untuk kita. Kau juga selalu ingat itu kan?"
Tanpa ragu Keleigh langsung mengangguk, "tentu, Dad. God is good. His plan are always perfect."
Keleigh menatap dalam iris biru sebiru laut musim panas Bennedict. Iris yang sama seperti milik Kenneth itu selalu tampak tegas, penuh keyakinan, tajam, tapi juga menyimpan kehangatan dan selalu membuatnya nyaman. Tapi entah kenapa kali ini perasaannya menjadi tidak nyaman?
"Dad, ada apa?" akhirnya pertanyaan itu keluar secara spontan. Keleigh hanya mengikuti isi hatinya.
Seolah tidak mendengar pertanyaan Keleigh, Bennedict balik bertanya, "kau benar-benar yakin akan sanggup belajar untuk mengemban tugas dan kewajiban sebagi seorang istri?"
Pertanyaan Bennedict membuat perasaan tidak nyaman Keleigh teralihkan, ia menatap Bennedict dengan keyakinan dan ketegasan, "aku sanggup, dad."
"Sanggup untuk mempertahankan pernikahan-mu saat nanti 'pasti' akan ada cobaan yang datang?" lanjut Bennedict.
Keleigh kembali mengangguk yakin. "Iya, dad. Aku sanggup."
Bennedict kembali meluruskan posisinya tanpa mengucapkan apapun lagi. Keleigh yang melihat itu menunggu dengan gugup dan penuh harapan.
Hingga akhirnya Bennedict menghembuskan nafas panjang, lalu merogoh ponsel di dalam saku. Ia men-dial salah satu nomer panggilan cepat. Lantas memasang pengeras suara dan meletakkan ponsel ke atas meja hingga semua orang bisa melihat nama yang ia hubungi, dan bisa dengan jelas mendengar apa yang akan ia katakan.
Semakin gugup, Keleigh m*r*mas-r*mas tangannya sendiri. Ia tidak pernah segugup ini saat melihat Bennedict menghubungi tangan kanan dan juga pengacara pribadi ayahnya, Miller Smith.
"Halo, sir." panggilan di jawab cepat pada dering ke dua, seperti biasa.
"Saat jam makan siang kosongkan jadwal-ku. Atur pertemuanku dengan Robert Donovan."
Keleigh hampir memekik, tapi dengan cepat menutup mulutnya. Dengan perlahan ia langsung bangkit berdiri.
"Baik, sir." Jawab Miller.
Setelah Bennedict mematikan sambungan, suara memekik yang memekakkan telinga langsung membuat Bennedict terkekeh.
"I love you, dad. I love you. I love you! You are the best!!!!!" Sorak Keleigh sambil memberikan kecupan bertubi-tubi ke wajah ayah-nya. Membuat Bennedict semakin terkekeh geli.
Lantas langsung berlari menuju ke pintu keluar ruang keluarga. Tapi, ia cukup terkejut saat melihat Donna yang entah sejak kapan sudah ada di sana menatapnya.
"Mom!!! Oh mom ... Oh mom ... Oh mom ...." ingin membagi secara rata, Keleigh langsung menangkup wajah ibunya dan ikut memberikan kecupan bertubi. Donna terkekeh geli sambil mencoba menghindar.
Setelah selesai memberikan hadiah banyak kecupan, gadis itu kembali berlari sambil terus bersorak hingga suara Keleigh menggema di dalam Mansion.
Selepas kepergian Keleigh dari ruang keluarga, Donna menatap sendu Bennedict yang kembali menatap lurus ke depan. Kedua iris sebiru laut itu menatap nanar dinding kaca, menampakkan langit pagi yang membentang luas.
"Jadi, kau sudah memutuskan?" pertanyaan dan pertanyaan Donna itu tidak di jawab. Membuat Donna memejamkan mata sejenak, karena keterdiaman suaminya lebih dari sebuah jawaban.
Donna melangkah masuk. Mendekat pada Bennedict. Berdiri di belakang suaminya lalu memeluk dari belakang.
"Aku mencintaimu, Ben. Selamanya aku mencintai-mu dan selamanya akan menjalankan tugas serta kewajiban-ku." lirih Donna.
Bennedict mengusap lembut kedua lengan yang melingkar di lehernya, lantas membalas, "aku lebih mencintaimu, sayang. Aku sangat beruntung Tuhan memberikan-mu sebagai istri dan pendampingku."
Dengan bibir tersenyum menahan segala perasaan berkecamuk, Donna ikut menikmati pemandangan langit cerah lalu berbisik, "sarapan sudah siap."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Patmawati
Om bennedict. tolong adopsi saya
2023-07-18
0
Tri Dikman
Ada apakah dengan dad and mom Hamilton ini
2023-06-08
0
anggita
nimbrung ikut like👍aja thor, moga novelnya lancar, sukses.
2023-06-03
0