HN Geneva's Hotel, Geneva, Swiss.
"Kirim ulang daftar pembaharuan alat-alat yang tersisa. Dan alat-alat kesehatan yang sudah tidak layak pakai ataupun rusak, segera kirim ke pusat."
"Baik, sir. Malam ini akan saya kirim."
Kedua iris abu-abu itu sekali lagi membaca laporan yang baru ia dapatkan. Dan setelah yakin, ia menggeser laptop ke arah direktur rumah sakit Geneva yang sedang ia tinjau. "Ini cukup."
"Terimakasih, Mr Donovan."
"Tristan, Mr Agon." Ralatnya. Mereka sudah saling mengenal cukup lama, dan ia tidak suka terlalu kaku untuk pertemuan tidak formal seperti sekarang.
Mr. Agon mengangguk sambil tersenyum, "baik, Mr Tristan."
Tristan mengangguk puas. Lantas menutup pertemuan mereka. "Baiklah. Sampai bertemu lagi di rapat besok, Mr Agon."
"Iya, sir. Selamat siang." balas Mr Agon dengan sopan, lalu ikut berdiri saat Tristan sudah bangkit berdiri.
Setelah berjabat tangan, Tristan langsung melesat menuju lift. Ia sudah sangat lelah dan ingin segera merasakan air hangat lalu istirahat.
"Anda harus istirahat, sir. Saya bisa undur waktu pertemuan kita siang ini."
Permintaan untuk yang kesekian kalinya itu, akhirnya membuat Tristan mengangguk, "iya, Malik." jawabnya sambil mengangkat tangan kiri untuk melihat waktu.
Sebenarnya, Tristan juga sudah merasa lelah dan butuh istirahat. Ketika baru saja mendarat tadi pagi, ia sudah melakukan dua pertemuan. Dan hari ini sebenarnya masih ada dua pertemuan lagi. Tapi ia menyerah. Apa lagi Malik terus saja memintannya untuk sekedar tidur sejenak.
Setelah masuk ke dalam lift, Tristan langsung merogoh saku. Ia lupa untuk mengabari seseorang yang pasti sudah menunggunya.
Bunyi dentingan di susul pintu lift yang terbuka membuat Tristan langsung mengingatkan, "kau juga istirahatlah, Malik. Undur pertemuan menjadi nanti sore."
Tangan kanannya itu langsung mengangguk dan segera menempelkan id card di pintu yang Tristan tempati.
"Selamat istirahat, sir." ucap Malik dengan sedikit menunduk.
Tristan tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam kamar hotel tempatnya akan menginap. Sambil melepas sepatu, ia langsung menghubungi seseorang. Cukup lama, hingga akhirnya panggilan di jawab.
"Halo." suara di sebrang sana rasanya langsung membuat lelah Tristan melayang.
"Hai ..." balas Tristan.
"Oh, Thanks God. Aku pikir terjadi sesuatu."
Tristan menghidupkan pengeras suara, lalu meletakkan ponsel ke atas meja. Sambil membuka jas ia menjawab, "maaf, sayang. Setelah sampai aku langsung melakukan pertemuan."
Terdengar helaan nafas dari sebrang, "tidak apa-apa, Tris. Aku hanya khawatir karena tidak biasanya kau tidak langsung memberi kabar. Bahhkan pesan-pun tidak ada."
Seutas senyum Tristan terbit, "di sana masih pagi kan?" tanya-nya sambil melepas dasi dan membuka tiga dua kancing atas kemeja.
"Hm ... Aku baru saja mandi dan akan bersiap-siap."
Melepaskan kancing lengan, lalu menggulung lengan kemeja ke atas, Tristan kembali tertanya, "sedang apa?"
Terdengar suara geseran pintu di sebrang, lalu suara yang sangat Tristan sukai itu menjawab, "memakai baju."
"Sebaiknya kita video call sekarang." pinta Tristan sambil membuka pintu balkon kamar.
"Ck! mesum sekali."
Tristan terkekeh dan kembali meraih ponsel. Ia mematikan pengeras suara dan menempelkan ponsel ke telinga. Lantas berjalan menuju balkon.
"Halo, Tris?"
"Iya. Aku menunggu, sayang." Tristan menjawab sambil mulai menikmati pemandangan hijau alam Swiss.
"Kau sudah makan?" Tanya suara di sebrang bersamaan dengan suara bising.
"Sedang mengeringkan rambut?" tanya Tristan memastikan tanpa menjawab pertanyaan.
"Iya aku sedang memaki hairdryer. Apa suaranya menggangu?"
"Nope. Lakukan saja apa yang harus kau selesaikan, Ke."
Selagi menunggu, Tristan merogoh saku untuk mengeluarkan kotak nikotin dan zippo. Meletakkan ponsel ke pembatas balkon, ia menyelipkan satu batang ke bibir, lantas mulai menghidupkan api untuk membakar ujung batang.
Setelah melewati beberapa menit, akhirnya suara di sebrang kembali terdengar, "miss me?"
"Always." jawab Tristan cepat, bahkan sangat cepat.
Suara di sebrang terkekeh, "kau belum menjawab. Apa kau sudah makan siang?"
Menghembuskan asap ke udara, Tristan menjawab, "sudah. Kau sudah sarapan?"
"Sebentar lagi. Setelah ini aku akan turun untuk sarapan."
Kembali menghembuskan asap nikotin ke udara Tristan mendengar senandung merdu di sebrang. Ia kembali tersenyum, "hari ini shift pagi?" tanyanya sambil menjentikkan abu di ujung batang nikotin.
"Iyap." jawab panggilan di sebrang. Lalu kembali bersenandung. Setelah menyelesaikan beberapa bait lagu, dari sebrang panggilan kembali bertanya, "sedang apa?"
"Menikmati Swiss dan suaramu."
"Ouh ... Romantis sekali. Aku tersipu malu."
Godaan itu kembali membuat Tristan terkekeh, "terimakasih pujiannya, ma'am." ucapnya dengan nada geli.
"My pleasure, sir."
Lantas, mereka terkekeh bersama.
"Baiklah. Aku harus turun sarapan sekarang." ucap suara di sebrang.
"Ok. Aku juga ingin berendam. Selamat sarapan, Ke."
"Selamat istirahat, Tris."
"I miss you." ucap Tristan tulus.
"I miss you too." balas suara di sebrang.
Setelah itu panggilan terputus. Tristan langsung mematikan batang nikotin. Baru saja ia ingin kembali ke dalam kamar, ponselnya kembali berdering.
Melihat nama yang tertera di ponselnya, dahi Tristan mengeryit. Lalu menjawab panggilan, "halo, dad."
"Selesaikan pertemuan untuk hari ini. Untuk meeting besok rescedule, undur menjadi bulan depan. Aku sudah mengatur penerbanganmu untuk kembali nanti malam."
Terdiam sejenak, Tristan akhirnya kembali bersuara, "ada apa, dad?"
"Aku akan menjelaskan langsung. Jadi segeralah kembali secepatnya."
Setelah itu sambungan panggilan langsung di putuskan secara sepihak.
Meeting yang sudah di jadwalkan besok adalah meeting besar dengan tiga anak cabang perusahaan asuransi dan dua rumah sakit di bawah DOV Corp yang ada di seluruh Swiss. Jadi pertemuan ini sudah pasti terjadwal sejak lama. Dan Robert Donovan ayahnya sangat tahu itu.
Jika ayahnya sampai me-rescedule ulang bahkan mengundur hingga bulan depan, berarti ada hal lebih penting dari meeting besar ini.
Tristan membuang nafas panjang. Lantas segera menghubungi Malik. Lenyap sudah rencana Tristan bahkan hanya untuk sekedar merebahkan tubuh di atas ranjang.
***
B Flow3rs Caffe, Manhattan Mall, Manhattan, NYC.
"Oh God. Akhirnya perutku kenyang juga, Gina ...," ucap Keleigh sambil mengelusi perut.
Sedangkan gadis yang berada di depannya langsung melemparkan tisu ke atas piringnya yang juga sudah tandas. "Kau gila, Ke!"
Keleigh terkekeh sambil menyandarkan punggung, "puas?" tanya-nya sambil mengerling.
Sambil menggelengkan kepala takjup, Regina menjawab, "kau benar-benar gila."
Kembali di katakan gila, alih-alih marah Keleigh hanya kembali terkekeh. Lantas melirik tumpukan paper bag dan kotak-kota pembungkus dari merek-merek ternama. "Aku tidak gila, Gina."
Regina mendengus. Meski ia senang karena sudah di belikan semua yang sudah ia tunjuk tadi, tapi tetap saja ia merasa ngeri melihat barang-barang belanjaan mereka.
Menatap Keleigh yang sedang menengadah di kepala sofa, ia akhirnya bertanya. "Baiklah, sudah saatnya kau harus menjelaskan. Ada apa dengan belanja gila-gilaan yang mendadak ini?"
Sambil menengadah, Keleigh melirik sekitar sejenak. Caffe hari ini cukup ramai. Ia kembali berpikir apakah akan mengatakan hal yang sangat memebahagiakannya sekarang, atau nanti saja saat ayahnya sudah memberi kabar.
Tapi, ayahnya tidak pernah mengecewakan.
Akhirnya Keleigh memutuskan. "Kau ingat apa yang sangat aku inginkan dari dulu. Impianku, Gina?"
Regina menyesap jus sambil menatapi posisi Keleigh yang penuh kenyamanan. Separuh sudut bibirnya tertarik ke atas, lalu menjawab, "Hm ... Menduduki sebuah kursi jabatan di salah satu perusahaan ayahmu?"
Jawaban Regina langsung membuat Keleigh bangkit. Lantas menatap Gina sambil memutar bola mata dengan malas, "aku serius, honey."
Regina terkekeh geli, lalu terdiam sejenak. Ia berpikir. Melihat Regina yang tampak bingung, Keleigh memberi clue, "keinginan yang paling ku impikan empat tahun lalu."
"Empat tahu lalu?" ulang Regina dengan dahi mengeryit bingung.
Keleigh berdecak, "iya. Kau lupa? Sahabat macam apa kau ini?" cibir Keleigh.
Dengan malas Regina memutar bola matanya, lantas kembali berpikir. Beberapa saat berpikir akhirnya Regina menjawab, "menikah, mengabdi untuk suami-mu, memiliki anak, lalu menjaga keluarga bahagia-mu hingga menua?"
"Binggo!" jawab Keleigh sambil bertepuk tangan pelan.
"Lalu?" Tanya Regina santai. Ia belum mengerti apapun.
Menarik nafas panjang, Keleigh akhirnya menjelaskan saat sadar jika pemikiran Regina tidak juga tersambung dengan jawabannya sendiri.
"Itu-lah yang terjadi, Gina. Aku akhirnya akan mendapatkan apa yang paling aku inginkan."
Masih belum tersambung dengan setiap ucapan Keleigh, Regina menggeleng sambil menatap Keleigh dengan raut wajah polos.
Keleigh berdecak sebal lantas menjawab langsung. "Aku akan menikah"
Regina langsung tersedak jus anggur kesukaannya, sambil terbatuk-batuk pelan ia menatap Keleigh dengan raut wajah tidak percaya.
Sadar jika Regina belum juga tersambung dengan ucapannya bahkan saat ia sudah menjelaskan point inti dari pembahasan ini, Keleigh kembali menjelaskan, "aku akan menikah dengan Tristan."
Hampir saja Regina mengumpat, jika saja Keleigh tidak langsung memberikan peringatan dari matanya yang melotot.
Dengan raut wajah terkejut, Regina menatap Keleigh dengan tatapan yang membuat Keleigh mulai kesal. "Noway!! Kau bercanda kan?"
"Suara-mu s*alan." bisik Keleigh dengan tajam.
Cepat-cepat mengatupkan mulut, Regina ikut berbisik, "apa kau gila?"
Lagi-lagi ia di katakan gila tapi lagi-lagi Keleigh membalas dengan kekehan. Membuat Regina semakin tidak bisa percaya. "Tidak mungkin, Ke." Lirih Regina dengan raut wajah tidak percaya.
"Aku meminta pada ayah-ku."
Jawaban singkat Keleigh membuat Regina akhirnya membuang kata 'tidak mungkin'. Karena, jika ayah sahabatnya itu sudah ikut campur tangan, Keleigh bisa mendapatkan apapun. Termasuk yang satu ini.
"Kau benar-benar akan menikah?" tanya Regina dengan ngeri. Ada harapan di kepalanya jika Keleigh hanya bercanda.
Tapi, tanpa respon yang di berikan Keleigh membuat kepala Regina mulai berdenyut. "Tolong Keleigh. Pikirkan baik-baik. Ini pernikahan. Di usia kita sekarang?" ujar Regian mengingatkan dan mencoba membuka otak dangkal sahabatnya itu.
"Kenapa kau protes dan malah tida mendukungku?" tanya Keleigh penuh dengan kata-kata sindiran yang langsung bisa Regina tangkap.
"A-aku ... Buka begitu maksutku, baby." ucap Regina gelagapan. Lantas membuang nafas panjang. "Masalahnya ini pernikahan. Kau ingin langsung menikah dengan pria yang bahkan tidak kau kenal." lanjutnya.
"Aku kenal Tristan, Gina." sanggah Keleigh tidak terima.
"Ya. Tapi dia tidak mengenal-mu. Mengenal, benar-benar mengenal bukan hanya karena ia teman Blake dan kau sahabat Logan!" ucap Regina dengan suara sedikit meninggi. Sialan! Ia mulai kesal.
Mendengus kesal, Keleigh menatap Regina dengan tajam, "kami bisa menjalani masa pengenalan selama menikah." ada jedah di ucapannya, lantas melanjutkan, "akan lebih mudah untuk saling mengenal saat sudah menikah-kan?"
Sungguh, Regina tidak mengerti cara berpikir Keleigh. Menahan rasa kesal ia kembali berucap, "Pengenalan saat sudah menikah? Lantas jika tidak cocok kalian akan bercerai, begitu?"
"Tidak." jawab Keleigh santai dan tenang.
What the hell!! Regina benar-benar ingin mengumpat.
"Listen, Ke. Aku yang paling tahu bagaimana tergila-gila-nya kau karena Donovan itu. Aku tahu kau sangat menyukainya hingga menjadikannya sebagai satu-satunya impian-mu. Tapi bukan berarti kau bisa begini." ujar Regina berapi-api. "Apa kau tahu bagaimana sifat aslinya? Apa kau tahu bagaimana karakter aslinya? Apa kau tahu jika ia tidak sedang memiliki kekasih?"
"Dia tidak memiliki kekasih. Aku jamin itu." jawab Keleigh cepat. Bahkan sangat cepat.
Kepala Regina semakin berdenyut. Ia memutar otak mencari cara agar setidaknya bisa sedikit saja menggoyangkan keputusan Keleigh.
Menarik dan membuang nafas panjang, Regina menatap Keleigh yang sudah memasang raut wajah tembok cina, dengan tangan bersidekat kokoh di depan dada. Tatapan tajamnya mengatakan jika Keleigh sedang tidak akan menerima kompromi dan penolakan.
Jika sudah begini, Regina sangat tahu jika ini akan sulit untuknya menembus keputusan Keleigh. Tapi Regina tidak ingin Keleigh terherumus di dalam jurang cinta buta.
"Baby. Boleh aku mengatakan sesuatu?" suara Regina melembut dengan nada tenang. Ia tidak boleh keras, jika tidak ingin Keleigh membalasnya dengan lebih keras lagi.
Masih dengan raut wajah tembok cina dan tangan menyilang di depan dada, Keleigh mengendurkan tatapan tajamnya, "apa?" tanya-nya seolah ingin mendengarkan.
Sepuluh tahun mereka mengenal, dan lebih dari enam tahun mereka bersahabat. Regina adalah tempat di mana Keleigh paling banyak menyimpan rahasia-nya. Jadi, Regina sangat-sangat tahu jika sekarang Keleigh hanya sedang berbasa-basi.
Menggembuskan nafas panjang, Regina berujar lembut. Menjatuhkan tempo suara sejatuh mungkin hingga suaranya terdengar sangat lembut.
"Baby, menikah adalah ikatan suci. Ada banyak tanggung jawab dan hak di dalam pernikakahan. Termasuk kau yang harus mendengarkan suami-mu dan kau yang harus membatasi diri-mu."
Dengan cepat kepala Keleigh mengangguk, seolah ia sudah sangat paham.
Masih belum menyerah, Regina melanjutkan, "kau siap untuk melepaskan segala kebebasan-mu?"
Kembali, kepala Keleigh mengangguk dengan cepat. Membuat isi kepala Regina naik turun berdenyut.
"Kau siap jika saja mungkin nanti suami-mu melarang kau untuk bersama kami?" Regina masih belum menyerah.
Hampir saja menggangguk, Keleigh termenung sejenak. Tapi tidak lama kepala cantik itu kembali mengangguk mantap.
Sial!! Umpat Regina dalam hati.
"Baby ...."
"Jika yang ingin kau katakan adalah aku yang tidak bisa melewati malam-malam liar dan brutal setelah menikah, aku sudah memikirkan itu, Gina. Aku sudah memikirkan segalanya, termasuk aku yang mungkin saja tidak akan bisa lagi terlalu menempel pada Logan atau-pun Dante." Keleigh langsung memotong ucapan Regina yang bahkan baru saja akan memulai kembali.
"Bukan itu intinya, s*alan!!" nope, Regina tidak bisa bertahan selama itu dengan emosi-nya. Keleigh benar-benar sedang dalam setelan keras kepala dan keras hati. Dan Regina terpancing.
"Kau yang s*alan! Kenapa kau tidak bisa mendukung-ku saja, hah?" Keleigh-pun mulai tersulut emosi.
Mengeram kesal, Regina-pun berucap dengan kesal, "jika maksut semua belanjaan ini adalah agar aku bersedia memberikan begitu saja dukungan untuk keinginan konyol-mu itu, kau salah, Ke."
"Konyol! Kau bilang impian-ku konyol!!?" protes Keleigh dengan kesal. Ia sudah tidak peduli lagi dengan suaranya yang akan menarik perhatian sekitar.
"Iya, konyol dan gegabah! Kau juga bodoh, Ke! Mana mungkin pria seperti Donovan itu tidak memiliki seseorang yang menginginkannya. Ada kemungkinan juga jika ia sekarang mempunyai kekasih. Belum lagi pria datar itu tidak bisa di tebak! Kau ingin menderita, hah!!!" Regina hampir memekikkan setiap ucapannya yang menggebu. Ia sudah tidak peduli pada apapun, kecuali untuk menyadarkan sahabat tercinta-nya.
Demi Tuhan, Regina sangat menyayangi Keleigh seperti saudari-nya sendiri. Ia sangat peduli pada gadis itu melebihi dirinya sendiri.
"Sialan kau, Ramsdale. Kalau begitu kembali-kan semua belanjaan itu jika kau tidak bersedia mendukung-ku. Kembalikan!!" Hardik Keleigh dengan nafas memburu. Suaranya yang sudah setengah memekik bahkan membuat beberapa pelanggan caffe menoleh pada mereka, tapi ia tidak peduli.
Sial! Sial! Sial!
Ancaman Keleigh langsung membuat Regina melirik lima paper bag berisi gaun-gaun yang tidak akan mungkin bisa ia beli, ayah dan ibunya tidak akan sudi memberikan uang sebanyak itu. Apa lagi kotak-kota yang berisi sepatu-sepatu dan tas, juga beberapa perhiasan yang luar biasa mahal. Ini adalah kebahagian yang hanya akan bisa ia teguk sekali se-umur hidup-nya.
Beberapa kali menarik nafas panjang dan membuang nafas panjang, Regina mengatur emosinya. Benar-kan, semakin ia keras maka Keleigh juga akan lebih keras. Bahkan sanggup untuk menarik kembali pemberiannya sendiri.
Oh Tuhan ... Tuhan tahu bagaimana ia sangat mencintai Keleigh, tapi juga ia mencintai barang-barang yang Keleigh belikan.
"Mana, kembalikan sekarang." kembali, Keleigh mengancam dengan wajah ganas.
Nyali Regina menciut.
"Bu-buka begitu maksut-ku, baby." Lirih Regina dengan ego yang sudah membusuk di dalam neraka. Ia memang sahabat tidak berguna.
Seperti Regina yang sangat mengenal Keleigh, begitu-pun sebaliknya. Dan Keleigh sangat tahu apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan dukungan dari salah satu sahabat-nya ini.
"Well ... Kalau begitu, kau bersedia-kan menjadi bridesmaid di pernikahan-ku nanti?"
Tanya Keleigh retoris.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Tri Dikman
Keyla ya ini
2023-06-08
0
Akutanpanama
jadi tristan kekasihnya keyla?? ohhh keleigh egois
2023-05-28
0