Davira menegak jus buah naga kesukaannya hingga tandas, rasanya begitu menyegarkan dan perutnya kini terasa penuh karena sudah menghabiskan banyak sekali makanan yang disediakan oleh para pelayan.
Tunggu, semua makanan? Davira terperanjat kaget menatap piring dan mangkuk yang sudah kosong, ia menutup mulutnya yang terbuka lebar. Davira tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan.
"Pergi ke mana makanan yang tadi ada di atas meja?" tanya Davira kepada ke-lima pelayan yang berdiri di sebelahnya.
Para pelayan itu mengernyit kebingungan mendengar pertanyaan Davira yang seolah tengah mengalami amnesia, padahal dia baru saja memakan banyak hidangan berat hingga habis tak bersisa.
Melihat pelayan yang kebingungan membuat Davira sontak menatap perutnya.
"Arghhh!" Davira menjatuhkan kepalanya di atas meja, sekarang dia benar-benar menyesal karena tidak bisa menahan diri untuk tidak memakan semua hidangan yang dia sediakan untuknya.
"Aku tidak boleh kehilangan perut rata ku," gumam Davira merasa bersalah kepada dirinya sendiri. Hal yang memang sering sekali terjadi kepadanya setelah dia selesai menghabiskan banyak makanan.
Davira kembali mengangkat kepalanya dan menatap tajam para pelayan yang semakin kebingungan.
"Ini semua salah kalian, harusnya kalian tidak menyajikan banyak hidangan di atas meja. Cukup satu hidangan, kalian ingin membuat aku gemuk?"
Braak.
Davira menggebrak meja membuat semua pelayan itu langsung menundukkan kepala mereka.
"Maafkan kami Nona, kami hanya ingin memberikan yang terbaik. Lain kali kami hanya akan menyajikan hidangan sesuai dengan permintaan Nona."
Davira mengetuk-ngetukkan ujung jarinya di atas meja, sudah tiga hari dia tidak melihat batang hidung Nathan. Entah ke mana pria itu sebenarnya, yang jelas Davira merasa begitu tenang karena tidak melihat wajah Nathan yang selalu membuat ia merasa emosi.
Selama tiga hari ini hatinya lebih merasa tenang hingga dia bisa makan dengan lahap karena perutnya terus merasa lapar. Tetapi menghilangnya Nathan selama tiga hari ini juga membuatnya merasa kebingungan, dia merasa takut. Karena terakhir kali Nathan menghilang, dia kembali dengan melakukan pembantaian.
"Di mana Nathan sekarang? Kenapa dia tidak terlihat sama sekali? Ini sudah tiga hari," tanya Davira pada akhirnya, dia sudah tidak bisa lagi membendung rasa penasarannya.
"Tuan Xie sedang melakukan urusan pekerjaan, Nona," jawab salah satu dari ke-lima pelayan itu.
"Urusan pekerjaan?" Davira mengernyit dengan tatapan penuh kecurigaan kepada para pelayan.
"Katakan dengan jujur, ke mana Nathan pergi? Dia masih di Jepang? Atau dia pergi ke negara lain?"
"Maaf Nona, tapi kami tidak bisa memberitahu perihal kemana Tuan Xie pergi. Tapi mungkin sebentar lagi Tuan akan kembali."
Davira berdecak kesal kemudian berdiri dari duduknya, dia benar-benar tidak bisa mendapatkan informasi dari para pelayan itu.
"Aku bisa berjalan sendiri," Davira menepis tangan pelayan yang ingin membantunya.
Ia merasa kakinya sudah jauh lebih baik dan sudah bisa digunakan kembali walaupun dia harus berjalan dengan tertatih-tatih, setidaknya dia tidak perlu menggunakan kursi roda lagi.
Davira melangkahkan kaki meninggalkan ruang makan yang begitu luas dan megah, di sana terdapat meja panjang dan 20 kursi yang mengelilinginya.
"Kenapa kalian terus mengikutiku?" tanya Davira menatap para pelayan di belakangnya.
"Kami akan mengantarkan Nona sampai ke kamar, kami hanya tidak ingin Nona terluka karena terjatuh. Jadi kami akan berjaga-jaga di belakang Nona," jawab pelayan itu.
Davira menghela nafas panjang, dia benar-benar tidak bisa kabur saat ini. Selain karena kakinya, para pelayan dan pengawal juga terus menerus berada di sekitarnya. Bahkan di depan pintu kamar yang ia tempati pun terdapat 8 pengawal yang berjaga.
Sekarang Davira tahu apa alasan keamanan menjadi lebih ketat dari pada sebelumnya, itu karena Nathan sedang tidak berada di mansion. Pria itu pastinya menyuruh para pengawal agar terus mengawasinya.
Davira melirik pintu utama yang tertutup rapat, dapat ia lihat beberapa pengawal berpakaian rapi tengah berjaga di sana. Davira segera memasuki lift untuk menuju ke kamarnya, para pelayan itu masih mengikutinya membuat ia benar-benar merasa jengah.
"Apa aku ini adalah tawanan kalian?" Davira bersedekap dada.
Para pelayan itu hanya menundukkan kepala mereka dan tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Davira, mereka lebih memilih untuk diam seribu bahasa.
Tidak memerlukan waktu lama hingga pintu lift itu terbuka, Davira segera berjalan menyusuri lorong panjang yang akan membawanya menuju ke kamarnya. Davira mengedarkan pandangannya, mansion tempatnya sekarang ditahan benar-benar sepi. Tidak ada siapapun selain pengawal dan juga pelayan di sana.
Setibanya di depan kamar, para pengawal yang berjaga segera membukakan pintu untuk Davira agar segera masuk.
"Nona, tunggu. Apakah Nona membutuhkan sesuatu? Saya akan membawakannya ke kamar."
"Aku tidak butuh apa-apa selain kebebasan," jawab Davira kemudian menutup pintu kamarnya dan tidak membiarkan pelayan-pelayan itu ikut masuk bersamanya.
Davira sedang ingin sendirian saat ini, ia berjalan menuju balkon kamar yang langsung menghadap ke arah matahari terbenam. Davira membuka pintu kaca yang dapat menghubungkannya ka balkon, wanita itu memegang besi pembatas sembari menatap ke arah bawah.
Di sana terlihat beberapa pengawal yang berlalu lalang dan kini menatapnya dengan penuh kecurigaan.
"Aku tidak akan kabur melewati balkon ini sialan! Tidak perlu sampai menyuruh pengawal berjaga di sana, aku tidak akan mati konyol," gumam Davira merasa kesal.
Davira menggelengkan kepalanya pelan mencoba untuk mengusir emosi yang saat ini sedang ia rasakan, ia mengalihkan pandangannya ke arah depan. Cahaya matahari sore begitu menyilaukan, tetapi Davira merasa lebih tenang saat melihatnya.
Cahaya yang indah dan terasa begitu hangat, Davira memejamkan matanya secara perlahan untuk merasakan semilir angin lembut yang menerpa tubuh dan juga rambutnya. Udara Jepang yang sangat menyegarkan, tiba-tiba saja bayangan wajah Damian muncul di dalam kepalanya.
Masa-masa indah yang ia lalui bersama dengan Damian berputar di kepalanya layaknya sebuah kaset. Davira mengingat tentang pertemuan pertama mereka dan saat-saat di mana dia merasakan kebahagian ketika bersama dengan Damian.
Tanpa sadar, satu tetes cairan bening keluar dari pelupuk matanya tanpa diminta. Hati Davira terasa perih, dia sudah mencoba untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan. Tapi dia tidak mungkin menepis kenangannya bersama dengan Damian. Davira tidak akan pernah bisa dan dia benci dengan keadaannya saat ini.
Davira merasa benar-benar tidak berdaya dan juga lemah, musuhnya berada didekatnya tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Davira menggenggam kuat besi pembatas yang terasa dingin. Ia kembali membuka matanya yang sudah terlihat memerah saat ini.
Davira mulai terisak dan menangis sejadi-jadinya, ia perlu menangis agar sesak di dadanya sedikit berkurang. Davira harus menumpahkan kesedihannya, dia tidak bisa lagi membendungnya. Davira merasa begitu terpukul, sedih dan marah karena dia tidak bisa mencegah takdir buruk yang menimpanya.
Suara Isak tangis Davira terdengar begitu menyayat hati, dia masih belum bisa menerima kenyataan pahit yang mengatakan bahwa dia telah kehilangan segalanya.
Keluarga dan juga kekasihnya, Davira telah kehilangan keduanya. Davira terduduk di lantai kemudian menyandarkan kepalanya pada besi pembatas.
"Apa yang kau tangisi, Davira?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Berdo'a saja
semua pergi dalam jangka waktu yang tidak lama
2023-06-08
1