"Penyeludupan senjata dan narkotika, ibuku menginginkannya," jawab Aidan tanpa basa-basi lagi.
Sudut bibir Davira sedikit berkedut, dia sudah tidak terkejut lagi. Liana memang seperti begitu tertarik dengan kedua bisinis itu, padahal dulu dia sudah pernah diberikan kesempatan untuk mengelolanya, namun dia gagal.
"Aku akan mengelola kedua bisnis itu bersama Damian, tidak dengan Ibumu ataupun yang lainnya. Apa yang keluar dari mulutku saat ini adalah keputusan yang bulat, jangan menyuruhku untuk mempertimbangkannya karena sampai kapanpun aku tidak akan mau. Semuanya sudah dibagi sesuai dengan apa yang tertulis di surat wasiat nenek. Jadi urus lah bisnis kalian sendiri, pertambangan batu bara yang kalian pegang menurutku jauh lebih menguntungkan," sindir Davira yang secara tidak langsung mengatakan bahwa Liana serakah.
Aidan berdecak, "Kenapa kau sangat keras kepala? Aku tidak memintamu menyerahkan bisnis itu, aku hanya memintamu untuk melakukan kerjasama dengan ibuku. Apa kau lebih mempercayai Damian dan keluarganya itu? Ingat, Davira, aku dan ibuku adalah keluargamu yang masih tersisa."
"Aku lebih mempercayai Damian, semuanya berjalan baik saat dia yang membantuku untuk mengelola bisnis keluarga ini. Aku juga tidak akan lupa bahwa kalian ada keluargaku. Berhenti menuntut apapun, di sini kalian yang lupa dan menutup mata. Uang yang ku hasilkan dari semua bisnis itu ku bagi kepada kalian setiap bulannya!" suara Davira mulai meninggi karena dia sudah tidak bisa menahan emosinya.
"Aku tidak ingin bisnis yang selama ini baik-baik saja menjadi kacau karena campur tangan ibumu itu! Jadi sebaiknya kau pergi dari sini karena tidak ada lagi yang harus dibicarakan," Davira segera berdiri dari duduknya.
Terdengar helaan nafas kasar dari Aidan bersamaan dengan pistol yang dikeluarkan oleh pria itu.
"Aku sudah membicarakan semuanya baik-baik, Davira. Aku sudah memintanya dengan cara paling halus, jangan bersikap sombong hanya karena kau pemegang saham dan bisnis terbesar di keluarga ini! Kau bisa saja ku lenyapkan!" nafas Aidan terdengar memburu.
Keduanya kini berdiri saling berhadapan dengan ujung pistol yang dipegang Aidan mengarah ke kepala Davira.
"Sudah ku duga, selama ini hanya kemunafikan yang kalian tunjukkan. Kalian tidak pernah puas dengan apa yang sudah kalian miliki, dan sekarang kau mengancam ku, Aidan?"
Davira menatap sepupunya itu tanpa rasa takut sedikitpun, saat ini Davira tahu bahwa banyak pasang mata yang sedang mengawasinya. Para pengawalnya sudah bersiap melepaskan timah panas dari pistol mereka ke arah Aidan dan semua anak buahnya.
Aidan tersenyum miring, "Kau kira ini hanya sebuah ancaman? Aku bahkan berani menembak mu saat ini juga."
Davira cukup khawatir, namun berusaha untuk tetap tenang. Ia hanya tidak ingin terjadi baku tembak lagi di mansion-nya. Dan biar bagaimanapun dia tidak ingin membunuh Aidan, sepupunya sendiri. Namun jika Aidan nekat memaksa dan benar-benar menyerangnya, maka tidak ada pilihan lain selain membalas pria itu.
"Jauhkan pistol mu dari Davira."
Tiba-tiba saja terdengar suara berat yang sudah 3 bulan ini tidak Davira dengar, semuanya sontak menetap ke arah asal suara. Di ambang pintu terlihat Nathan dan puluhan anak buahnya sedang menodongkan senjata ke arah Aidan.
"Apa-apaan ini, Davira? Bagaimana bisa dia berada di sini?!" Aidan menatap Davira dengan penuh tanda tanya.
Davira pun kini merasa kebingungan kenapa Nathan sampai begitu berani masuk ke dalam mansion-nya dan di waktu yang sangat-sangat tepat seperti sekarang ini.
Namun Davira tidak tahu apa maksud kedatangan Nathan, yang jelas dia sangat membenci wajah itu. Dia menjadi kembali teringat dengan pembantaian yang ia yakini dilakukan oleh anak buah keluarga Xie.
Tiba-tiba saja terdengar suara gelak tawa Aidan yang menggema selama beberapa saat.
"Jadi kau berselingkuh dengan dia?" Aidan bertanya dengan sisa tawanya.
"Sepertinya Damian harus mengetahui hal ini, ternyata sepupuku ini benar-benar sudah gila. Kau serius menjalin hubungan dengan seseorang yang sudah membantai keluarga kita, Davira?"
"Tutup mulutmu," desis Nathan membuat Aidan segera menurunkan kembali pistolnya dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melakukan hal yang sama.
Aidan melangkahkan kakinya menghampiri Nathan, ia menatap tajam kepada Nathan yang kelihatan begitu tenang namun seperti sedang menahan amarah.
"Kau tidak bisa ikut campur atau menghentikan ku, Nathan. Sebaiknya kau pergi, karena kami sedang mengadakan rapat keluarga," ucap Aidan dengan penekanan di akhir kalimat.
"Dengan pistol yang mengarah ke kepala Davira?" Nathan mengangkat satu alisnya.
"Sepertinya kau harus segera kembali ke Indonesia, kita tidak perlu saling membunuh di Sevilla. Ibumu harus memakamkan mu di tempat kelahiran mu," Nathan melirik ke arah Davira yang hanya diam di tempatnya.
"Kau mengancam ku?" Aidan menatap Nathan dan Davira secara bergantian.
"Hubungan apa yang sedang kalian jalin saat ini? Kau pikir aku akan merasa takut? Ada apa ini? Kenapa kau harus melindungi Davira?"
"Apakah aku harus menjawab pertanyaan mu?" Nathan melangkah semakin mendekat kepada Aidan.
"Jangan berpikir kau bisa menyakiti Davira, lupakan keinginanmu. Kau tidak akan pernah mendapatkan sesuatu yang kau inginkan itu," bisik Nathan kemudian berlalu begitu saja.
Nathan berjalan menghampiri Davira yang kini berdiri dengan tangan yang sudah terkepal kuat.
Aidan menatap Paul dengan tajam sebelum ia keluar dari mansion bersama dengan anak buahnya. Aidan merasa begitu terkejut dengan kedatangan Nathan dan pembelaan yang pria itu lakukan.
Jadi sekarang dia harus berurusan Nathan terlebih dahulu sebelum bisa mendapatkan apa yang ibunya inginkan dari Davira.
"Sial," umpat Aidan merasa kesal, dia tidak mungkin melawan Nathan hari ini.
Sudah sangat jelas dia kekurangan orang, sedangkan Nathan datang dengan membawa puluhan anak buahnya. Sangat tidak memungkinkan jika terjadi baku tembak, dia bisa mati di tangan pria itu dan dia tidak ingin itu terjadi.
Aidan langsung masuk ke dalam mobilnya dengan amarah yang menggebu-gebu.
"Apa hubungan mereka? Apakah Damian tahu?" gumamnya merasa begitu penasaran.
Sedangkan Davira tengah merasa begitu marah karena kehadiran Nathan, Davira benar-benar merasa diremehkan saat ini.
"Apa yang kau lakukan di sini? Ku kira kau sudah kembali ke Indonesia setelah tugasmu untuk menghabisi keluargaku selesai. Apa lagi sekarang? Kenapa kau bisa begitu berani memperlihatkan wajahmu di hadapanku?"
"Apa yang Aidah lakukan? Dia menyakitimu? Aidan memaksamu untuk memberikannya sesuatu?"
"Kenapa kau harus datang? Kau benar-benar membuat aku merasa direndahkan saat ini, kau pikir aku selemah itu? Aku tidak lemah hanya karena aku belum membalas perbuatan mu, Nathan. Aku pasti dan akan membalas semuanya."
"Berhati-hatilah, Aidan bisa nekat."
Keduanya saling menatap satu sama lain, tidak ada pertanyaan yang terjawab dari mereka berdua. Nathan tersenyum tipis kemudian berbalik dan segera melangkahkan kakinya keluar dari mansion Davira.
Wanita itu memijit pelipisnya yang terasa pening, rasa marahnya kepada Aidan kini tumpang tindih dengan rasa marahnya kepada Nathan. Kedua pria itu benar-benar menyulut emosinya.
Dia tahu setelah ini mungkin Aidan akan melakukan sesuatu, namun Davira tidak ingin terlalu memikirkannya. Yang membuat ia merasa penasaran saat ini adalah kedatangan Nathan, apakah setelah kejadian itu Nathan masih selalu membuntutinya hingga tahu bahwa dia sedang berada dalam bahaya?
Apa maksud dan tujuan Nathan selama ini? Davira ingin tahu sebelum dia membunuh Nathan dengan tangannya sendiri.
Davira segera meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja, wanita itu mulai menghubungi seorang pria yang mungkin bisa membuatnya merasa tenang saat ini.
"Damian, aku ingin kita bertemu nanti sore. Kau masih di Sevilla bukan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Berdo'a saja
apa benar Damian bisa dipercaya
2023-06-03
1