Praang.
Davira melempar nampan berisi piring yang di atasnya terdapat makanan dan juga minuman untuknya, hal itu membuat pelayan yang mengantarkannya terperanjat kaget dan segera duduk bersimpuh di lantai.
Pelayan bermata sipit dan berkulit putih itu terlihat ketakutan.
"Gomen'nasai, tabemono ga kiniiranakatta nodesu ka?"
( Maaf, apakah Nona tidak menyukai makanannya? )
Rahang Davira hampir jatuh mendengarnya, dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan oleh pelayan itu.
Tiba-tiba saja mata Davira membulat ketika menyadari sesuatu.
"Speak English please," ucap Davira membuat pelayan itu tersadar bahwa yang dilayaninya saat ini bukanlah orang Jepang seperti dirinya.
"Maafkan saya, Nona. Saya akan menyajikan makanan yang baru, apakah Nona tidak menyukai makanan itu?" tanyanya dengan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh Davira.
"Tidak perlu, aku tidak akan memakan apapun. Katakan kepada tuan-mu, bahwa aku tidak akan makan sampai dia membebaskan ku," jawab Davira membuat pelayan itu menelan salivanya susah payah.
Pelayan itu segera membereskan pecahan piring dan cangkir serta makanan yang berserakan di lantai.
"Negara apa ini?" Davira merasa penasaran dan curiga bahwa saat ini dia sudah tidak lagi berada di Sevilla, ia juga yakin bahwa dia juga tidak sedang berada di Indonesia saat ini.
"Jepang, Nona," pelayan itu terlihat memasukkan pecahan-pecahan kaca ke dalam tempat sampah yang ada di kamar itu.
Davira menghembuskan nafasnya kasar, tidak ia sangka sebelumnya bahwa Nathan akan membawanya ke Negera yang berbeda. Dan kenapa Nathan harus membawanya ke Jepang? Dia benar-benar tidak memiliki akses dengan siapapun di negeri sakura itu.
Mungkin ada beberapa orang yang dia kenal, tapi hubungannya dengan beberapa orang itu hanya sebatas distributor dan konsumen.
"Kau bisa pergi, dan jangan kembali lagi dengan membawa makanan. Percuma, karena aku tidak akan memakannya."
Setelah mengatakan hal itu, Davira segera merebahkan tubuhnya kembali dan menarik selimutnya hingga kepala. Pelayan itu hanya diam dan segera keluar dari kamar Davira, dia menjadi serba salah saat ini.
Pelayan itu melangkahkan kakinya menuju ke kamar Nathan, ia mengetuk pintu kamar Tuan-nya dengan jantung yang berdebar-debar karena merasa takut. Tidak butuh waktu lama, pintu kamar itu kini terbuka memperlihatkan sosok Nathan yang terlihat begitu tampan walaupun hanya menggunakan kaos polos berwarna hitam.
"Ada apa? Davira sudah makan?"
"Belum, Tuan. Nona Davira melempar makanan yang saya berikan, dia juga mengatakan bahwa dia tidak akan mau memakan apapun sampai.......Tuan membebaskannya," suara pelayan itu terdengar lebih pelan di akhir kalimat.
"Bawakan lagi makanan untuknya dan letakkan di atas meja yang ada di kamarnya, setelah itu kau bisa langsung pergi."
"Baik Tuan."
Nathan kembali menutup pintu kamarnya lalu melangkahkan kakinya ke arah tempat tidurnya, ia duduk di tepi ranjang kemudian menyalakan televisi berukuran besar yang terpasang di tembok.
Dapat ia lihat Davira yang sedang bergumul dengan selimutnya, Nathan melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Davira belum memasukkan apapun ke dalam perutnya sejak dia sadarkan diri tadi pagi.
Hal itu membuat Nathan merasa khawatir dengan keadaan Davira, dia hanya tidak ingin kesehatan wanita itu menjadi memburuk.
Cukup lama Nathan memperhatikan Davira dari layar televisinya yang langsung tersambung ke CCTV yang ada di kamar wanita itu, kini terlihat seorang pelayan masuk ke dalam kamar Davira dan langsung meletakkan nampan berisi makanan ke atas meja.
Davira terlihat menyembulkan kepalanya keluar dari selimut.
"Bukankah sudah ku katakan bahwa aku tidak ingin makan?!"
Pelayan itu hanya diam dan tidak menanggapi teriakan Davira, pelayan itu pergi begitu saja membuat Davira merasa begitu kesal.
"Pelayan dan bosnya sama saja!" Davira melempar bantalnya ke sembarang arah.
"Arghhh Nathan sialan!" teriak Davira sembari memukul-mukul kasurnya.
Nathan tersenyum kecil melihat tingkah Davira yang begitu menggemaskan di matanya, Nathan begitu betah memandangi Davira yang sudah selama berjam-jam berdiam diri di atas tempat tidurnya setelah kakinya di obati oleh Laura.
Davira merubah posisinya menjadi duduk, ia menyandarkan punggungnya dan menghembuskan nafasnya kasar. Rambutnya sudah terlihat begitu acak-acakan, namun saat ini dia tidak peduli dengan penampilannya.
Mata Davira menatap jarum jam yang terus bergerak, ia meringis pelan merasakan perih di perutnya yang meronta-ronta meminta untuk segera diisi sedari tadi. Kepalanya pun bahkan sudah berputar menahan rasa lapar.
Davira melirik beberapa piring yang ditutup dengan rapi di atas meja, Davira menggigit bibir bawahnya kemudian turun dari atas tempat tidurnya secara perlahan-lahan. Ia melangkah dengan hati-hati dan tertatih-tatih menuju ke arah meja yang berada di tengah-tengah kamarnya.
Dia mulai membuka setiap tudung yang menutupi piring, terlihat beberapa makanan khas Jepang yang begitu menggugah selera dan membuat perutnya semakin terasa lapar.
Namun bukannya duduk dan memakan semua makanan itu, dia malam kembali menutupnya. Davira tidak akan sudi makan walaupun perutnya merasa kelaparan, dia tidak ingin Nathan merasa senang jika dia menghabiskan makanan yang disediakan oleh pelayannya.
Davira harus memberontak agar Nathan tahu bahwa dia tidak akan pernah menjadi wanita penurut. Davira kembali melangkahkan kakinya dan naik ke atas tempat tidur, ia meringkuk sembari memegangi perutnya yang terasa perih.
Davira menahan rasa lapar dengan amarah yang terus-menerus menyelimuti dirinya, amarah yang membuat energinya benar-benar terkuras. Davira mengepalkan tangannya kuat, otaknya terus mengingat kejadian yang tidak seharusnya terjadi di hari pernikahannya. Nathan benar-benar sudah menghancurkan impiannya, sekarang dia sudah kehilangan seorang pria yang begitu ia cintai.
"Sshsss......" Davira meringis pelan merasakan kepalanya semakin terasa berputar dan perutnya mulai bergejolak membuatnya merasa ingin memuntahkan sesuatu.
"Sial," umpatnya pelan, seumur hidup dia tidak pernah merasa kelaparan sampai tubuhnya gemetaran seperti sekarang ini.
Davira benar-benar merasa bahwa keadaannya saat ini begitu menyedihkan, menjadi tawanan dari musuh besarnya dan sepertinya sekarang dia akan mati kelaparan.
Kematian yang tidak pernah ia pikirkan selama ini, Davira kembali bangkit dengan kaki yang sudah terasa lemas. Dia sudah tidak bisa lagi menahan perutnya yang begitu sakit karena kelaparan. Davira terus mengumpat di dalam hati, dia terpaksa harus memakan makanan yang ada di atas meja.
Namun baru beberapa langkah, pandangannya mulai terasa buram. Davira memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri, tiba-tiba saja tubuhnya hilang keseimbangan dan terjatuh ke atas lantai yang dingin.
Davira menatap meja yang berada tidak jauh di depannya, Davira menggelengkan kepalanya pelan mencoba untuk mengusir rasa pusingnya. Davira perlahan-lahan memejamkan matanya dengan kesadaran yang belum sepenuhnya hilang. Dia masih bisa mendengar suara pintu yang terbuka dan derap langkah yang menuju ke arahnya.
"Kau benar-benar keras kepala, Davira."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Berdo'a saja
ga makan lapar makan gengsi
2023-06-03
1