Kepulan asap rokok keluar dari mulut Davira, dahi wanita itu sedikit mengkerut ketika melihat sebuah nama yang tertera di layar ponselnya. Benda pipih itu terus berdering sedari tadi, dia sudah mencoba untuk mengabaikannya. Namun si penelpon tidak kunjung menyerah membuatnya berdecak kesal.
Davira segera menggeser tombol hijau hingga kini panggilan tersambung.
"Davira? Kau ke mana saja? Kenapa sangat sulit dihubungi? Kau baik-baik saja bukan?"
Pertanyaan beruntun dilontarkan oleh sepupunya yang bertempat tinggal di Indonesia, pria bernama Aidan itu begitu cerewet dan Davira tidak terlalu menyukainya. Aidan selalu saja berusaha untuk ikut campur dengan urusannya dan ingin tahu banyak tentang kehidupan pribadinya.
Sedangkan Davira bukan tipe orang yang bisa menceritakan apa yang ia rasakan, dia juga merasa risih ketika seseorang terus saja menanyakan sesuatu kepadanya.
Selain itu Davira masih merasa marah dan kesal kepada Aidan serta ibu dari pria itu yaitu bibinya sendiri. Mereka berdua baru datang ke Sevilla setelah satu bulan pemakaman keluarga mereka. Davira tidak habis pikir mengapa ibu dan anak itu lebih memilih untuk mengurus bisnis terlebih dahulu dari pada menghadiri acara pemakaman keluarga Xie.
Hal itu membuat Davira semakin yakin bahwa keperdulian Aidan dan ibunya itu hanyalah bentuk formalitas, mereka lebih memperdulikan bisnis dan sibuk mengurus harta yang ditinggalkan oleh nenek dan kakeknya. Entah Aidan dan ibunya bisa mengurusnya, Davira tidak peduli.
Asalkan mereka berdua tidak mengusik bisnis inti yang sekarang sedang ia pegang. Aidan dan ibunya hanya mendapatkan sebagian, namun menurut Davira sebagian yang Aidan dan ibunya dapatkan sangatlah banyak.
"Aku baik-baik saja, cepat katakan. Jika tidak ada hal penting maka akan ku ma--"
"Tunggu, Davira! Sebenarnya sekarang aku sedang berada di Sevilla."
Davira sontak berdiri dari duduknya merasa terkejut, pasalnya ini sudah dua bulan sejak pertemuan terakhir mereka. Ada maksud apa Aidan tiba-tiba datang ke Sevilla?
"Kenapa kau ke sini? Aku sedang tidak ingin ditemui, aku tidak menerima tamu," ucap Davira dengan nada yang terdengar begitu dingin.
"Aku ini sepupumu, Davira. Kau sendirian di sini, kau tidak ingin pulang ke Indonesia? Masih ada aku dan ibuku, beberapa keluarga kita juga masih tersisa."
"Berhenti berbasa-basi dan katakan apa tujuanmu datang ke sini?"
"Aku akan mengatakannya, tapi tidak di telepon. Aku akan datang ke mansion-mu. Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju ke sana."
"Apakah tujuanmu itu sangat penting?" Davira menghembuskan kasar asap rokoknya.
"Penting, maka dari itu aku sampai harus ke Sevilla. Tunggu aku di mansion dan jangan ke mana-mana."
"Dengan siapa kau ke sini? Apakah ibumu juga ikut?" Davira merasa was-was, sebab dia tidak ingin melihat wajah Liana yang membuatnya merasa muak. Wajah penuh kemunafikan, saudara dari ayahnya itu memang rata-rata serakah dan juga egois.
"Aku sendirian, tidak benar-benar sendirian. Aku bersama dengan beberapa anak buahku."
"Ada berapa?"
"Apa kau akan terus bertanya, Davira? Aku akan memutus sambungannya, sampai jumpa."
Panggilan terputus secara sepihak membuat Davira merasa ingin melempar ponselnya saking kesalnya. Davira mengambil nafas dalam-dalam kemudian menekan kuat ****** rokok yang masih menyala pada asbak. Ia segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar, sudah 3 bulan sejak kejadian baku tembak waktu itu. Dan sekarang tampilan rumahnya sudah kembali seperti semula, namun dengan keadaan yang sudah berbeda.
Davira menuruni undakan tangga satu persatu hingga sampai di lantai dua rumahnya, terlihat beberapa pengawal yang langsung menatap ke arahnya. Para pengawal baru yang ia pekerjakan itu semuanya memang penduduk asli Spanyol.
Davira tetap harus menggunakan pengawal karena dia juga masih memegang bisnis keluarganya, dia bersyukur karena Damian membantunya untuk mengurus bisnis keluarganya dengan baik. Pria itu benar-benar telah menemaninya melewati masa-masa sulitnya.
Sekarang bisnis mereka di dunia bawah tetap berjalan stabil dan tidak berubah walaupun kedua orang tuanya sudah tiada. Karena masih ada dia dan Damian yang selalu membantunya mengatasi masalah tersebut.
"Hari ini akan ada yang datang, dia adalah sepupuku. Tapi kalian tetap harus berhati-hati, dia tidak sendirian dan bersama dengan anak buahnya. Jadi tetaplah waspada."
"Baik Nona," ke-lima orang pengawal itu menganggukkan kepala mereka secara bersamaan.
Davira tidak mengatakan apa-apa lagi, wanita itu mulai membawa langkah kakinya memasuki lift. Dia ingin ke lantai satu dan menunggu Aidan di ruang tamu, Davira tidak ingin jika sepupunya itu masuk ke ruangan pribadinya.
Ia meletakkan bokongnya pada sofa yang terasa begitu empuk, dia bersandar dengan nyaman dan tenang sembari mengetuk-ngetukkan ujung jarinya pada pinggiran sofa.
Matanya terpejam selama beberapa saat, kejadian pada malam itu kembali berputar di kepalanya layaknya sebuah kaset. Bayangan tentang kedua orang tuanya yang ditembak di depan matanya membuat tangannya kini terkepal kuat.
"Nona?"
Tiba-tiba saja salah satu pengawalnya kini berdiri di hadapannya membuat ia terperanjat kaget. Davira menatap pengawal itu dan segera mengendalikan ekspresi wajahnya.
"Ada yang datang, dia mengaku sebagai sepupu Nona. Dari Indonesia," ucap pengawal berambut panjang diikat itu.
"Suruh masuk, dia membawa berapa orang anak buah?" tanya Davira merasa penasaran.
"Ada sekitar lima belas, Nona."
Davira tertegun untuk sejenak, untuk apa Aidan membawa anak buah sampai sebanyak itu? Apa sebenarnya tujuan Aidan datang ke sini? Davira merasa ada yang tidak beres.
Pengawal itu menyingkir dari hadapannya untuk menyuruh Aidan dan para anak buahnya yang sudah berdiri di teras agar segera masuk.
Aidan tersenyum lebar, pria bertubuh tinggi tegap itu kini membawa langkah kakinya memasuki mansion besar milik keluarga intinya. Semua anak buah yang ia bawa hanya mengikutinya dari belakang.
"Di mana Davira?" tanya Aidan sudah tidak sabar untuk bertemu dengan sepupunya yang cantik itu.
"Nona Davira di sana Tuan, ikuti saya," pengawal itu menuntun Aidan hingga sampai ke ruang tamu.
"Davira! Aku merindukanmu," Aidan langsung menghampiri wanita yang kini hanya menatapnya datar.
Aidan berniat untuk memeluk tubuh Davira, namun wanita itu segera mendorong dadanya agar menjauh.
"Tidak ada pelukan, kita tidak sedekat itu," Davira duduk dengan menyilangkan kedua kakinya.
Aidan hanya terkekeh kemudian duduk tanpa dipersilahkan, sedangkan semua anak buahnya kini berdiri di belakangnya. Dan hal itu benar-benar membuat Davira merasa jengkel karena Aidan seolah ingin membuatnya merasa terancam.
"Aku senang kau memilih untuk merenovasi mansion ini, kau mengambil keputusan yang tepat," Aidan menatap sekelilingnya, dan tidak ada yang berubah sejak terakhir kali ia berkunjung.
"Langsung pada intinya, kenapa kau membawa anak buah sebanyak ini? Dan kenapa kau membawa mereka ke hadapanku? Harusnya mereka bisa menunggu di luar jika kau memang ingin membicarakan sesuatu yang penting."
"Jangan salah paham, Davira. Aku membawa mereka hanya untuk berjaga-jaga."
Davira mengangkat satu alisnya, "Kau sedang menemui ku dan kau sedang berjaga-jaga dari hal apa?"
Raut wajah Aidan yang semula ramah seketika berubah, ia berdehem singkat sembari menyandarkan punggungnya.
"Aku ke sini untuk membicarakan perihal bisnis yang sedang kau pegang saat ini."
Davira tersenyum kecil, dugaannya tidak salah dan seratus persen benar. Tidak ada hal lain yang bisa membuat Aidan pergi jauh-jauh menemui dirinya ke Sevilla jika tidak karena urusan bisnis.
"Ada apa dengan bisnis yang ku pegang? Ku rasa tidak ada masalah sama sekali, aku dan Damian mengelolanya dengan sangat baik. Kita tidak kehilangan konsumen satu pun walaupun hampir seluruh keluarga kita sudah tiada. Bisnis keluarga kita masih sukses dengan mana keluarga Handoko yang tetap kuat."
"Justru itu, Davira. Kami melihat bahwa bisnis yang sekarang kau kelola semakin berkembang, tidakkah seharusnya kau mengelolanya bersama dengan ibuku? Dia adalah bibi mu dan adik bungsu dari ayahmu."
"Bukankah semuanya sudah dibagi jauh sebelum kejadian itu? Ibumu dan yang lainnya sudah mendapatkan bagian yaitu bisnis yang ada di Indonesia. Nenek menyerahkan semua yang ada di Spanyol secara penuh kepada ayahku. Karena ayahku adalah putra sulung yang memang mampu mengelola bisnis keluarga."
Davira bersedekap dada sembari menatap raut wajah Aidan yang terlihat tidak terima mendengar apa yang ia katakan.
"Tapi sekarang semuanya sudah berubah, ayahmu dan nenek sudah tiada. Nenek terlalu banyak memberikan harta dan juga bisnisnya kepada ayahmu, itu tidak adil untuk yang lainnya. Dan sekarang kau yang telah memegang semuanya. Sudah seharusnya ibuku dan yang lainnya kembali mendapatkan bagian. Setidaknya kau bisa mulai mengelola bisnis itu dengan bekerjasama dengan ibuku."
Davira tersenyum sinis lalu menegakkan tubuhnya yang semula bersandar.
"Bisnis yang mana? Bisnis apa yang ibumu inginkan itu?" tanya Davira dengan sorot mata yang tajam namun begitu tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Berdo'a saja
jangan jangan... ih praduga terus deh
2023-06-03
1