Laura tersenyum tipis mendengar perkataan Davira, ia segera melilitkan perban baru ke pergelangan kaki Davira kemudian kembali memasukkan alat-alatnya ke dalam tasnya.
"Tapi ku rasa kau terlalu berani, Davira. Apakah kau sepercaya diri itu? Kau begitu yakin bahwa Nathan tidak akan membunuhmu jika kau terus memberontak seperti itu?" Laura mengangkat satu alisnya.
"Kenapa kau menjadi ikut campur? Perihal Nathan yang akan membunuhku, itu bukan urusanmu. Jadi sebaiknya kau keluar dari kamar ini, tugasmu sudah selesai bukan, Bu Dokter?"
Davira menatap Laura dingin, seperti yang selalu ia lakukan kepada musuh-musuhnya.
Laura mengepalkan tangannya kuat, "Tunggu saja, Davira. Nathan akan segera membunuhmu jika dia sudah merasa bosan, jangan terlalu bangga hanya karena dia mengejar mu selama tiga tahun. Sekarang kau sudah didapatkan olehnya, rasa penasarannya sebentar lagi akan berakhir, begitu juga dengan hidupmu."
Davira terkekeh kecil, "Kau tahu begitu banyak rupanya, aku akan menunggu saat itu tiba. Rasa bosan Nathan untuk mengejar ku, itulah yang ku nantikan selama ini," ia melirik name tag yang terpasang di bagian dada kiri Laura.
"Tapi kau harus ingat, dokter Laura. Kalaupun Nathan sudah bosan denganku, dia tidak akan berbalik mengejar mu. Mustahil jika seorang pria menurunkan seleranya," sudut bibir Davira tertarik ke samping. Hanya dengan mendengar apa yang dikatakan Laura kepadanya saja, dia sudah tahu bahwa ada kecemburuan yang Laura rasakan.
"Jaga mulutmu!" suara Laura terdengar meninggi, dia merasa marah karena Davira benar-benar sudah menghina dirinya secara terang-terangan. Davira telah merendahkannya dibalik kalimat yang keluar dari mulutnya itu.
"Kau yang seharusnya menjaganya! Tugasmu adalah mengobati ku di sini, jadi sebaiknya jangan ikut campur dengan urusan pribadi orang yang sudah membayar mu!" sentak Davira membuat Laura tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.
Dengan perasaan marah dan kesal, Laura segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar Davira.
Brak.
Laura menutup pintu dengan keras, Davira hanya diam dan memutar bola matanya malas.
"Wanita menyedihkan," gumamnya kemudian membaringkan tubuhnya untuk menenangkan pikirannya yang sedang kalut.
Davira mencoba untuk mengatur kembali nafasnya, dia harus bersikap tenang dan tidak boleh gegabah. Davira mulai meyakinkan dirinya bahwa dia bisa melewati ini semua. Dia adalah wanita yang kuat dan akan selalu begitu, Davira harus bisa membalaskan dendam seluruh keluarganya dan juga Damian dengan membunuh Nathan.
Dia harus bisa melenyapkan Nathan dengan tangannya sendiri, tidak akan ia biarkan Nathan tetap bernafas di saat nafas keluarga dan juga kekasihnya direnggut begitu saja.
Davira menatap langit-langit kamar yang berwarna putih, ia harus bisa membalas dendam. Dan untuk balas dendam, maka dia harus sembuh terlebih dahulu.
Sedangkan di dalam ruangannya, Nathan tengah duduk sembari memperhatikan layar laptopnya yang memperlihatkan seisi kamar Davira. Ia tersenyum tipis melihat Davira yang terlihat memukul-mukul bantal dan tidak bisa diam di tempat tidurnya.
Tok.
Tok.
Terdengar suara ketukan pintu, "Masuklah."
Nathan hanya melirik sekilas Laura yang masuk ke dalam ruangannya dan langsung duduk di kursi yang berseberangan dengannya, membuat keduanya kini dipisahkan oleh meja besar yang di sisi kiri dan kanannya terdapat tumpukan berkas.
"Kau serius melakukan hal ini, Nathan? Kau benar-benar akan terus menahannya di sini bersamamu?" tanya Laura cukup berani karena mereka memang sudah akrab selama bertahun-tahun.
"Aku sudah bertindak sejauh ini, tentu saja aku serius. Kenapa?" Nathan berbicara tanpa menatap wajah Laura, dia lebih memilih fokus memperhatikan kegiatan Davira di dalam kamar melalui layar laptopnya.
Laura menghembuskan nafas panjang berusaha untuk mengontrol ekspresi wajahnya, dia masih merasa begitu kesal dengan perkara Davira barusan. Dan sekarang sikap Nathan menjadi semakin acuh kepadanya.
"Ku rasa dia wanita yang sangat keras kepala, apa kau tidak merasa jengah atau marah? Davira terus-terusan mengumpat kasar kepadamu, dia juga berteriak terus-menerus."
Nathan mengernyit mendengar apa yang dikatakan oleh Laura, ia segera beralih menatap Laura dengan kedua tangan yang tertaut di atas meja.
"Tidak ada yang salah dengan itu, aku menyukai semua yang ada dalam diri Davira," ucap Nathan membuat perasaan Laura hancur berkeping-keping.
Sudah begitu lama Laura memendam perasaan terhadap Nathan, dia begitu mengagumi sosok Nathan yang hampir sempurna. Pria itu memiliki fisik yang menarik dan sifat yang benar-benar membuat Laura jatuh hati.
Laura begitu menyukai pria dingin dan ambisius seperti Nathan, namun ternyata sifat dingin Nathan itulah yang membuatnya merasa tersiksa. Nathan tidak pernah memandangnya apalagi menunjukkan rasa tertarik kepadanya. Apalagi setelah Nathan bertemu dengan Davira, kesempatannya untuk bisa menaklukkan hati Nathan menjadi pupus seketika.
Semenjak Nathan terobsesi untuk memiliki Davira, Laura benar-benar merasa semakin tersingkir. Hampir setiap kali bertemu, Nathan selalu menyebut nama Davira, hal itu membuatnya benar-benar merasa muak.
"Tapi, Nathan. Davira.....dia tidak mungkin membalas perasaanmu setelah semua yang terjadi."
Nathan menatap Laura datar kemudian menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya, ia membakar ujung rokok tersebut dengan pemantiknya lalu menghisapnya dalam-dalam.
"Tidak perlu memikirkan tentang perasaan Davira terhadapku, aku menyuruhmu ke sini bukan untuk membahas mengenai Davira. Tetapi nenekku, bagaimana keadaannya saat ini? Ku dengar dia sempat dilarikan ke rumah sakit."
Laura berdehem singkat, padahal dia masih ingin membahas tentang Davira. Namun sepertinya Nathan sedang tidak ingin barang barunya itu di usik.
"Nyonya Gayatri sudah baik-baik saja, minggu lalu aku sudah memeriksanya," jawab Laura membuat Nathan menghela nafas lega.
"Di mana dia sekarang? Aku tidak bisa menghubunginya, dia tidak mengangkat teleponku sejak kemarin."
Laura tertegun untuk sejenak, dia merasa ragu untuk mengatakan tentang keberadaan Gayatri saat ini. Pasalnya wanita tua itu sudah melarangnya melalui telpon, tapi dia juga tidak mungkin berbohong kepada Nathan. Dia tidak ingin Nathan menjauhinya karena menganggapnya sudah tidak penting dan lebih berpihak kepada sang nenek.
"Nyonya berada di Bali saat ini."
"Dia ke Indonesia? Kapan? Bukankah waktu itu dia dirawat di rumah sakit yang ada di kota Sevilla?"
"Dua hari yang lalu, tepat saat kau melakukan penyerangan di gereja tempat Davira dan Damian akan menikah."
Nathan menghembuskan asap rokoknya kasar, dia tahu bahwa hal ini akan terjadi. Neneknya pasti sudah mengetahui tentang apa yang dia lakukan.
"Tenang saja, Nathan. Nyonya memang marah, tapi dia tetap akan bergerak membersihkan kekacauan yang sudah kau buat. Kau tahu betul bahwa apa yang kau lakukan itu benar-benar menggemparkan dunia bawah."
"Aku tahu tentang hal itu, aku sudah mempertimbangkan semuanya. Maka dari itu aku menghabisi seluruh keluarga Lee agar tidak ada yang balas dendam, dan untuk masalah nenekku. Apakah dia sangat marah? Dia benar-benar tidak mengangkat teleponku, padahal aku hanya ingin tahu keadaannya."
"Aku tidak tahu, kau bisa langsung bertemu dengannya. Dia hanya menelpon ku sebentar untuk konsultasi masalah kesehatannya."
"Baiklah, kau bisa pergi, Laura. Aku akan menghubungimu lagi untuk Davira, jadi ku harap kau tidak langsung kembali ke Sevilla ataupun ke Indonesia, walaupun nenekku yang meminta."
Laura hanya mengangguk pelan, "Aku akan kembali ke hotel, sampai jumpa, Nathan," wanita itu segera berdiri dari duduknya.
"Laura, aku meminta agar kau tidak mengatakan kepada siapapun bahwa saat ini aku sedang berada di Jepang bersama dengan Davira."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Berdo'a saja
ternyata dibawa kabur ke Jepang
2023-06-03
1