Davira keluar dari dalam mobil dengan pakaian serba hitam, dress selutut yang dia gunakan terlihat begitu indah di tubuhnya. Wanita itu juga memakai sarung tangan yang panjangnya hingga sebatas siku serta kacamata hitam yang berfungsi untuk menutupi mata bengkaknya.
Kemarin dia menghabiskan waktu dengan terus menangisi jasad keluarganya sebelum dimakamkan. Tangannya menggandeng erat lengan Damian, mereka melangkahkan kaki mengiringi peti-peti yang berisi jasad keluarga Handoko.
Hampir seluruh keluarga Lee menghadiri acara pemakaman yang dilakukan di pemakaman pribadi milik keluarga Handoko yang memang ada di Sevilla. Ibu dan ayah Damian memeluknya sebagai tanda bela sungkawa.
Davira tidak bisa menunjukkan ekspresi apa-apa sekarang, dia hanya bisa menatap datar peti kedua orang tuanya. Sebelum peti jenazah dimasukkan ke dalam tanah untuk dikuburkan, pemuka agama yang mereka anut terlihat tengah melakukan khutbah terlebih dahulu.
Dada Davira terasa sesak melihat proses pemakaman keluarganya, kematian adalah sesuatu hal yang pastinya akan terjadi. Tetapi tidak pernah dia bayangkan sebelumnya bahwa dia akan menyaksikan kematian dari sebagian besar keluarganya dalam waktu bersamaan.
Damian merangkul pundak Davira, dia tahu wanita itu pastinya sangat terpukul. Davira melepaskan kacamatanya saat peti kedua orang tuanya mulai dimasukkan ke dalam liang lahat kemudian ditimpuk dengan tanah oleh beberapa orang yang memang bertanggung jawab untuk melakukannya.
Davira menyeka pelan satu tetes cairan bening yang kini turun membasahi pipinya, Davira dan keluarga Lee langsung menaburi bunga di atas makan kedua orang tuanya dan di atas makam seluruh keluarga Handoko yang selama ini memang bersahabat baik dengan mereka.
"Tante harap kau bisa lebih tabah, Davira," Amanda memeluk singkat tubuh kekasih putranya.
"Om berjanji akan mengurus permasalahan ini, orang-orang yang berada di balik ini semua pasti akan menyesal," Rayn mengusap pelan kepala Davira sebelum menggandeng istrinya.
"Terima kasih banyak sudah meluangkan waktunya untuk datang Om, Tante," Davira menundukkan sedikit kepalanya, suaranya terdengar serak saat ini.
"Tidak perlu berterima kasih kepada kami, kau tahu sendiri bahwa kami ini berteman dengan kedua orang tuamu. Jadi sudah seharusnya kami datang," Amanda tersenyum tipis.
"Tante sama Om akan kembali ke hotel, kau ingin ikut Davira?"
Wanita itu segera menggelengkan kepalanya, dia masih ingin berada di makam kedua orang tuanya.
"Ya sudah, Damian, jaga Davira baik-baik. Dia perlu dukungan penuh," Amanda menepuk lembut pundak Davira sebelum melangkahkan kakinya bersama dengan Rayn menuju ke mobil mereka.
"Masih ingin di sini?" tanya Damian sembari merapikan rambut Davira yang sedikit berantakan karena tertiup angin.
"Iya, aku belum ingin pulang," jawab Davira dengan mata yang terus menatap makan Mama dan Papanya yang begitu dia sayangi.
Seluruh keluarga Lee terlihat sudah meninggalkan area pemakaman, hanya tersisa Davira dan Damian serta 10 orang pengawal yang menjaga mereka. Davira sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi saat ini.
Keheningan menyelimuti mereka semua, pikiran Davira berkelana pada kejadian malam itu. Di mana sebelumnya Nathan sempat menemuinya, apakah Nathan melakukan ini semua karena tidak terima dengan tamparannya? Tapi itu bukan kali pertama Davira menampar wajah Nathan.
Davira yakin sekali bahwa ini semua berhubungan dengan bisnis, keluarga Xie memang sedari dulu begitu ingin menyingkirkan mereka sebagai saingan terbesar.
Tiba-tiba saja para pengawal terlihat bersiaga membuat Damian dan Davira segera berdiri untuk melihat apa yang terjadi. Keduanya tertegun menatap Nathan yang saat ini berjalan dengan begitu tenang ke arah mereka, di sampingnya terlihat Paul, orang kepercayaannya.
Selain Paul juga terdapat sekitar 20 puluh anak buah yang Nathan bawa bersamanya.
"Berani sekali dia datang?" desis Damian mengepalkan tangannya kuat.
Para pengawal kini segera berdiri di depan Damian dan Davira untuk melindungi mereka berdua. Namun dengan cepat Davira menyuruh mereka untuk menyingkir dan membukakan jalan untuknya agar bisa berhadapan dengan Nathan.
Davira menahan tangan Damian yang sepertinya ingin segera menghajar Nathan. Tuan muda Xie itu kini berdiri sekitar 5 meter di depan mereka.
Davira segera melangkahkan kakinya membuat suara ketukan dari high heels yang ia kenakan terdengar berirama. Angin yang cukup kencang membuat rambut panjangnya kini berkibar ke sana-ke mari, dan hal itu membuat sudut bibir Nathan sedikit tertarik membentuk sebuah senyuman yang teramat tipis.
Plaak.
Satu tamparan keras mendarat di pipi Nathan saat Davira sudah berdiri tepat di hadapannya, seluruh anak buah Nathan sontak mengacungkan pistol mereka membuat anak buah Damian melakukan hal yang sama.
Namun Paul yang tahu bahwa tuannya tidak mungkin ingin Davira terluka segera mengangkat tangannya dan menggerakkan dua jarinya sebagai isyarat agar anak buahnya menahan tembakan.
Nathan mengusap pelan pipinya yang panas karena tamparan Davira, namun bukannya marah pria itu malah menjadi semakin menyukai Davira. Katakan saja dia gila, tapi memang itu kenyataannya. Dia merasa senang ketika kulit Davira menyentuh dirinya walaupun itu berupa tamparan.
"Berani-beraninya kau memperlihatkan wajahmu di depan mataku?!" suara Davira terdengar meninggi, matanya memerah menatap Nathan yang berdiri menjulang tinggi di hadapannya.
"Ada apa Davira? Aku ke sini untuk mengucapkan bela sungkawa kepadamu, aku turut prihatin atas apa yang menimpa dirimu dan keluargamu. Aku mengkhawatirkan mu," Nathan mencoba untuk menyentuh wajah Davira, namun tangannya langsung ditepis kasar oleh wanita itu.
"Jadi kau datang untuk mengejekku?" Davira terkekeh kecil kemudian bertepuk tangan selama beberapa saat.
Dalam sekejap, wajah Davira kembali berubah menjadi datar dan menatap Nathan penuh dengan kebencian.
"Lihatlah wajahmu sekarang, seolah-olah tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa! Aku sangat membencimu Nathan!" teriak Davira sembari memukul-mukul dada bidang pria itu.
"Apa yang terjadi Davira? Aku benar-benar tidak mengerti," Nathan segera menahan tangan Davira.
Tiba-tiba saja tangisan wanita itu pecah membuatnya tertegun, selama ini dia tidak pernah melihat Davira menangis. Apalagi tangisan Davira terdengar begitu menyakitkan, dan itu membuat hatinya merasa terluka.
"Kenapa tidak kau suruh saja orang-orang mu itu untuk membunuhku Nathan?! Kenapa hanya menembak dada kananku? Kenapa tidak tembak jantungku saja sekalian?!" Davira mencoba menarik tangannya dari cekalan Nathan.
Pria itu terlihat mengernyit, "Jadi maksudmu yang menyerang kediaman mu adalah orang-orang ku?"
"Berhenti bersikap seperti itu Nathan! Aku tahu dan jangan coba-coba untuk membodohi ku!"
Nathan hanya terdiam mendengar teriakan dan tangisan pilu Davira, dari tatapan mata wanita itu, dia tahu bahwa hanya kebencian yang dia dapatkan.
"Lepaskan tanganmu dari tangan kekasihku Nathan, sebelum aku yang melepaskannya," Damian segera melangkahkan kakinya dan berdiri di sebelah Davira.
Nathan menatapnya dingin, "Lepaskan," suruh nya membuat Damian mengepalkan tangannya kuat.
Damian ingin melayangkan bogemannya ke wajah Nathan, namun dengan cepat Nathan menahan tangannya.
Bughh.
Nathan berhasil meninju wajah Damian terlebih dahulu membuat anak buah pria itu bersiaga. Damian menyeka darah disudut bibirnya yang robek.
"Sialan," Damian ingin menyerang Nathan, namun Paul buru-buru menghalangi dan mendorong mundur tubuh Damian.
"Jika ingin ada keributan maka jangan di sini, Tuan Nathan datang hanya untuk mengucapkan bela sungkawa. Kami tidak menyangka jika akan tertuduh seperti ini," Paul segera mengeluarkan pistolnya dan mengarahkannya ke dahi Damian membuat semua anak buah pria itu begitu terkejut.
"Turunkan senjata mu dari kepala Damian," ucap Davira penuh dengan penekanan.
"Suruh anak buah kekasih Nona untuk menurunkan senjata mereka," Paul terlihat tidak main-main dengan apa yang dia katakan.
Nathan yang berdiri di belakangnya hanya diam sembari menatap Davira, pria itu kini dikelilingi oleh dua puluh anak buah yang dia bawa.
Davira sontak memberi isyarat agar anak buah Damian menurunkan senjata mereka.
"Berani sekali bawahan sepertimu mengancam ku?" Damian mengangkat satu alisnya.
"Saya berani menghadapi siapapun kecuali Tuan Xie, tugas saya untuk melindunginya," sahut Paul sembari menurunkan kembali pistolnya.
Davira segera menahan lengan Damian, walaupun Davira ingin menembak kepala Nathan sekarang, tetapi akal sehatnya masih bekerja. Saat ini mereka kalah jumlah, saat dia menembak kepala Nathan. Maka itu artinya tubuhnya akan langsung dihujani oleh puluhan timah panas, dan Davira tidak ingin itu terjadi.
"Sampai jumpa, Davira," setelah mengatakan hal itu, Nathan berserta seluruh anak buahnya segera melangkahkan kaki mereka meninggalkan pemakaman.
"Kenapa kau mencegahku, Davira? Aku sama sekali tidak takut dengan mereka, rasanya aku ingin melubangi kepala Nathan dengan peluruku," Damian mengusap wajahnya kasar merasa harga dirinya tercoreng, dia menyesal hanya membawa 10 anak buah untuk menemani mereka di pemakaman ini.
"Aku juga ingin melakukannya, Damian. Tapi kita kalah jumlah, dan bukan seperti itu caranya balas dendam. Aku ingin seluruh keluarga Xie juga mengalami hal yang sama seperti keluargaku. Jadi siapkan saja rencana untuk membantuku dalam melaksanakan rencana balas dendam kepada mereka."
"Aku pasti akan selalu berdiri di belakangmu, Davira," Damian menggenggam erat tangan kekasihnya sembari memperhatikan mobil Nathan dan anak buahnya yang berlalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Berdo'a saja
semakin curiga sama Damian kayaknya pembantaian itu bukan keluarga Xie yang melakukan nya, pembantaian terjadi setelah Damian datang davira tertembak baru diselamatkan pagi hari oleh Damian dan masih hidup, ada yang janggal dengan keterangan Damian
2023-06-03
1