Laura hanya bisa meremas kuat dress berwarna abu-abu yang saat ini ia kenakan, dia benar-benar merasa tidak dihargai oleh Nathan. Saat ini Nathan terlihat begitu mengkhawatirkan keadaan Davira, walaupun wajahnya masih terlihat tenang. Namun Laura bisa merasakan bahwa Nathan sedang gelisah hanya karena tubuh Davira yang panas.
Selama ini Laura tidak pernah melihat sisi Nathan yang seperti sekarang ini, sejak dulu dia hanya melihat Nathan yang dingin dan tidak tersentuh. Nathan yang tidak pernah peduli dengan orang-orang di sekelilingnya.
Kedekatannya dengan Nathan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun pun hanya terlihat seperti hubungan bisnis semata. Laura masih melihat tembok yang begitu kuat antara dia dan Nathan, pria itu telah membatasi interaksi mereka agar tidak terlalu intens.
Namun sayangnya Laura tetap saja merasa tertarik dengan Nathan, Laura tidak bisa menghilangkan perasaannya kepada pria itu. Bahkan otaknya selalu mengingat tentang Nathan, tidak peduli seberapa dingin pria itu kepadanya. Padahal sudah begitu jelas bahwa Nathan sedang tergila-gila dengan seorang wanita cantik bernama Davira Handoko.
Sudah bertahun-tahun, dan Nathan masih belum menyerah. Laura tidak tahu pasti tentang apa yang sebenarnya Nathan rasakan terhadap Davira. Apakah hanya sebatas obsesi dan rasa penasaran? Atau benar-benar rasa cinta yang tidak bisa dihilangkan?
Laura ingin sekali tahu, dia tidak bisa menebak isi hati dan pikiran Nathan. Dia bahkan tidak terlalu tahu tentang kehidupan pribadi pria itu. Dan sampai sekarang pun ia masih bertanya-tanya tentang dalang di balik pembantaian keluarga Handoko. Apakah benar-benar Nathan? Atau orang lain? Laura tidak pernah mendapatkan jawaban pasti dari mulut Nathan.
"Dia di kamarnya?" tanya Laura sembari berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Nathan yang berjalan dengan begitu cepat tanpa menunggunya.
Nathan hanya mengangguk sebagai jawaban membuat Laura menghela nafasnya panjang.
"Sebenarnya apa yang terjadi kepada Davira? Apa dia meminum obat yang ku berikan?"
"Tidak, dia juga terlambat makan sehingga asam lambungnya naik. Davira hampir pingsan tadi malam dan aku memaksanya untuk meminum obat agar perutnya tidak terasa sakit. Tapi saat aku melihat keadaannya tadi pagi, ternyata dia demam. Tubuhnya sangat panas, jadi ku harap kau memeriksanya," jawab Nathan kemudian masuk ke dalam lift, begitu juga dengan Laura.
"Aku pasti akan memeriksa dan mengobati Davira."
Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat hingga pintu lift terbuka tepat di lantai tiga. Mereka berdua keluar beriringan, menyusuri lorong demi lorong hingga sampai di kamar Davira. Terlihat seorang pelayan baru saja keluar dengan membawa nampan.
"Dia sudah makan?" tanya Nathan dalam bahasa Jepang.
"Sudah Tuan, Nona Davira makan dengan lahap. Tapi..... sepertinya Nona sedang demam, wajahnya sangat pucat."
Nathan menghela nafas lega mendengar Davira yang sudah makan tanpa harus ia paksa lagi. Pria itu segera memasuki kamar Davira bersama dengan Laura yang menyusul di belakangnya.
Davira langsung memalingkan wajahnya ketika melihat kedatangan Nathan, apalagi pria itu sedang bersama dengan Laura saat ini. Dia tidak menyukai wanita itu, Davira merasa muak melihat wajah munafik Laura yang terlihat begitu ramah kepadanya saat bersama dengan Nathan seperti ini.
"Aku senang kau sudah makan," Nathan langsung duduk di tepi ranjang, di dekat kaki Davira yang berselonjor.
"Aku harus sembuh untuk bisa membalas dendam ku," sahut Davira memberikan tatapan dingin kepada Nathan.
Usapan lembut kini Davira rasakan di kepalanya, Nathan terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh Davira barusan.
"Jangan menyentuhku, Nathan. Aku akan mematahkan tanganmu," ancam Davira dengan wajah yang terlihat begitu serius.
Namun wajah itu tentunya tidak membuat Nathan merasa terancam sama sekali, sedangkan Laura kini hanya bisa menahan rasa kesal dan sesak di dadanya. Dia merasa tidak terima ketika Nathan bersikap lembut seperti itu kepada Davira.
"Kau tidak akan melakukan hal itu Davira," ucap Nathan setengah berbisik di depan wajah Davira, jarak wajah mereka kini begitu dekat.
Nathan menatap manik mata Davira dengan tatapan memuja, sangat bertolak belakang dengan Davira yang seolah ingin memangsanya.
Laura berdehem singkat membuat Nathan tersadar dan menoleh kepada wanita itu.
"Aku hampir lupa, periksalah," Nathan segera berdiri dan mempersilahkan Laura untuk duduk di kursi yang berada di dekat ranjang Davira.
Laura menempelkan punggung tangannya di dahi Davira yang memang benar-benar terasa panas.
"Letakkan ini dia ketiak mu," Laura menyerahkan termometer digital kepada Davira.
Dengan wajah yang begitu dingin, Davira mengambilnya dan segera melakukan apa yang disuruh oleh Laura.
"Kau harus meminum obat yang ku berikan kepadamu kemarin agar lukamu segera sembuh, kau juga tidak boleh terlambat makan karena mempunyai penyakit asam lambung. Tubuhmu juga masih begitu lemah, perutmu tidak boleh kosong."
Davira hanya diam dan tidak berniat untuk menanggapi perkataan Laura, setelah beberapa saat, Davira memberikan termometernya kembali kepada Laura.
Dokter berparas cantik itu segera meresepkan obat untuk Davira.
"Kau demam, minumlah obat ini agar panasnya berkurang. Minum sesudah makan tiga kali sehari," Laura meletakkan bungkus obat ke atas nakas kemudian kembali berdiri dari duduknya.
"Sudah?"
Laura mengangguk untuk menjawab pertanyaan Nathan.
"Davira akan baik-baik saja?" tanya Nathan memastikan.
"Tenanglah, Nathan. Aku tidak akan mati sebelum bisa membunuhmu," sahut Davira sembari bersedekap dada.
"Dia akan segera sembuh jika meminum obat itu, dia juga harus makan dengan teratur. Lagi pula kenapa kau harus menembaknya?" Laura tidak habis pikir terhadap apa yang sudah Nathan lakukan.
"Terima kasih karena sudah meluangkan waktumu, sepertinya kau masih memiliki banyak pekerjaan."
Entah mengapa Davira langsung bersorak di dalam hati, dia bahkan menahan tawanya karena mendengar pengusiran secara halus keluar dari mulut Nathan untuk Laura.
"Baiklah, Nathan. Aku ingin memberitahu padamu bahwa besok aku akan kembali ke Indonesia, Nyonya Gayatri memintaku untuk menemuinya," ucap Laura sambil menahan rasa malu, dia benar-benar merasa tertampar oleh perkataan Nathan barusan. Masalahnya di sini ada Davira yang mendengarkan.
"Selalu beritahu aku tentang keadaan nenek, dan ingat apa yang ku katakan waktu itu kepadamu, Laura."
"Aku ingat, aku tidak akan membocorkannya. Tenang saja," Laura menatap perban di kaki Davira.
"Sepertinya aku harus mengganti perban itu."
"Biar aku yang melakukannya, berikan kepadaku perban dan obatnya," Nathan kembali duduk di dekat Davira sehingga wanita itu harus bergeser karena tidak ingin jika jarak mereka terlalu dekat.
Laura segera mengeluarkan perban serta obat dari dalam tasnya dan langsung menyerahkannya kepada Nathan.
"Aku pergi sekarang, Nathan," setelah mengatakan hal itu, Laura segera keluar dari kamar Davira karena sudah merasa begitu jengah.
"Kau tidak keluar? Aku ingin istirahat," Davira menyandarkan punggungnya dengan nyaman sembari memperhatikan wajah Nathan yang sialnya begitu tampan walaupun dari jarak dekat seperti sekarang ini.
Nathan menggeser duduknya agar berada di dekat kaki Davira, pria itu langsung mengangkat satu kaki Davira dan meletakkannya di atas pahanya.
Davira terperanjat kaget, "Apa yang kau lakukan?" ia berusaha untuk manarik kembali kakinya, namun Nathan dengan cepat menahannya.
Nathan menatap wajah Davira lekat-lekat lalu mengusap perban yang membalut luka di kaki Davira.
"Tentu saja mengganti perban mu, Davira. Kau tidak mendengarkan pembicaraanku dan Laura dengan baik rupanya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Berdo'a saja
sabar Davira nurut aja dulu
2023-06-03
1