Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela membuat kelopak mata wanita bernama Davira itu terbuka secara perlahan-lahan, matanya bergerak menyapu sekelilingnya. Saat ini dia berada di sebuah ruangan yang begitu luas dengan kesan mewah yang kentara.
"Damian," gumam Davira segera merubah posisinya menjadi duduk.
Davira memijit pelipisnya pelan, kepalanya terasa berputar mengingat kejadian terakhir kali sebelum ia tidak sadarkan diri dan terbangun di kamar ini. Davira menggelengkan kepalanya pelan mencoba untuk menyangkal kenyataan yang sudah terjadi.
"Tidak mungkin, itu pasti mimpi," satu tetes cairan bening kini keluar dari pelupuk matanya.
Dia menyadari bahwa sangkalannya tidak akan membuat kenyataan berubah, semuanya sudah terjadi dan dia tidak memiliki kemampuan untuk bisa memutar waktu. Davira kehilangan satu-satunya kebahagiaan yang ia miliki tepat di hari pernikahannya.
Davira terisak hebat mengingat wajah Damian yang tiada di hadapannya karena sebutir peluru yang ditembakkan oleh Nathan. Davira meremas kuat sprei yang menyelimuti tubuhnya, ia berusaha untuk turun dari ranjang berukuran king size itu.
Namun kakinya terasa begitu sakit membuatnya segera menyibak selimut itu untuk melihat keadaan kakinya. Davira menghembuskan nafasnya kasar melihat perban yang melilit kakinya, dia baru ingat bahwa kakinya itu ditembak oleh Nathan.
"Ada di mana aku sekarang?" Davira membatin sembari memperhatikan sekitarnya.
Pandangannya jatuh pada sebuah kotak yang dilapisi kain bludru berwarna biru tua, Davira segera meraih kotak yang tidak asing untuknya dan langsung membukanya. Dan benar saja, kotak itu berisi anting pemberian Nathan yang ia simpan di laci kamarnya.
"Bagaimana bisa anting ini berada di sini? Apakah saat ini aku sedang diculik oleh Nathan?" Davira kembali meletakkan kotak anting itu ke atas meja yang berada di samping ranjangnya.
Davira mengambil nafasnya dalam-dalam, dia harus segera pergi dari tempat itu sebelum ada seseorang yang datang. Ia mulai turun dari atas ranjang dengan berpegangan pada meja di sebelahnya.
Ia melangkah dengan pelan, tiba-tiba saja terdengar suara pintu yang dibuka membuat Davira terperanjat kaget dan tersungkur ke lantai karena pegangannya terlepas.
"Davira!" terdengar suara khawatir seorang pria membuat wanita yang namanya dipanggil segera menoleh.
"Sial," umpat Davira dalam hati saat melihat keberadaan Nathan yang terlihat mendorong kursi roda, dugaannya ternyata benar. Dia memang sedang diculik oleh Nathan saat ini.
"Kau sudah bangun, kakimu masih sakit. Jangan turun dulu dari tempat tidur," Nathan langsung menggendong tubuh Davira dengan sangat mudah kemudian meletakkannya di atas tempat tidur.
"Kau menculik ku?" Davira menatap Nathan tajam dengan matanya yang terlihat sembab karena menangis.
"Brengsek," desis Davira benar-benar ingin membunuh Nathan saat itu juga.
Nathan hanya diam tidak menanggapi pertanyaan dan perkataan Davira, pria itu malah mengusap kepalanya membuat Davira segera menepis kasar tangan Nathan. Dia merasa tidak sudi disentuh oleh tangan yang sudah membunuh calon suaminya.
"Aku benar-benar membencimu, Nathan. Kenapa kau melakukan ini kepadaku?!" teriak Davira meluapkan emosinya.
"Kenapa kau terus menanyakan hal itu? Bukankah sudah ku katakan sebelumnya? Aku tidak ingin milikku menikah dengan orang lain," ucap Nathan membuat Davira tercengang mendengarnya.
"Berhenti mengatakan bahwa aku milikmu, sedari awal pun aku adalah milik Damian dan semua orang tahu akan hal itu! Jadi sebaiknya sekarang kau bebaskan aku dari tempat ini!"
Nathan tersenyum kecil mendengar suara teriakan Davira yang begitu nyaring, tangannya bergerak mengusap bibir Davira yang terlihat pucat.
"Jangan terus-terusan berteriak, tenggorokan mu bisa sakit. Aku akan memanggilkan dokter untuk memeriksa keadaanmu, kebetulan dia sedang berada di ruangan ku sekarang," Nathan berdiri dari duduknya kemudian melangkahkan kakinya begitu saja berniat untuk keluar dari kamar yang saat ini ditempati oleh Davira.
"Aku tidak memerlukan dokter! Aku hanya ingin pulang!"
Teriakan Davira tidak lagi didengarkan oleh Nathan, pria itu tetap melangkahkan kakinya dan keluar dari kamar membuat Davira semakin berteriak kencang karena merasa begitu kesal.
"Nathan brengsek! Aku akan membunuhmu sialan!" nafas Davira memburu, dadanya naik turun karena amarah yang sudah berada di ubun-ubun.
"Arghhh!" Davira mengacak-acak rambutnya merasa frustasi, namun melihat adanya kursi roda yang ditinggalkan oleh Nathan di dekat ranjangnya membuat Davira segera beringsut di atas tempat tidur empuk itu.
Tangannya bergerak meraih kursi roda agar semakin mendekat kepadanya.
"Sial, aku terpaksa harus menggunakan benda ini," Davira menggerutu sembari berpindah tempat ke kursi roda itu.
Davira segera memutar rodanya membuat benda itu berjalan membawanya menuju ke arah pintu, ia langsung memutar knolp pintu yang ternyata tidak dikunci oleh Nathan. Davira langsung membuka pintu itu, ia tertegun merasa kebingungan karena letak kamar tempatnya sekarang berada ditengah-tengah lorong.
Ia menjadi merasa bimbang antara harus mengambil sisi kanan atau kiri. Hanya dengan mengandalkan instingnya, Davira membawa dirinya menyusuri sisi kanan lorong dengan menggunakan kursi rodanya. Terdapat beberapa pintu yang ia lalui, dan semuanya terlihat tertutup dengan rapat.
Davira memperhatikan beberapa lukisan yang dipajang di sepanjang lorong, lukisan-lukisan abstrak yang tidak pernah ia sukai. Davira lebih menyukai lukisan-lukisan berbentuk manusia, tokoh-tokoh seperti lukisan para dewa Yunani yang selalu berhasil menyita perhatiannya. Davira berhenti tepat di depan sebuah pintu besar yang sedikit terbuka.
Merasa penasaran, ia segera mendorong pelan daun pintu tersebut hingga perlahan-lahan terbuka lebar. Davira menatap ruangan yang di dominasi oleh warna hitam itu, dia langsung bisa melihat sebuah foto yang begitu besar dipajang di dinding.
Davira tertegun di tempatnya memperhatikan foto itu, tangannya terkepal kuat. Dia merasa marah karena itu adalah foto dirinya yang sedang tersenyum dengan wajahnya yang memang terlihat begitu cantik.
"Pria gila," gumam Davira kemudian memasuki ruangan itu. Samar-samar, telinganya mendengar suara seseorang sedang berbicara dengan menggunakan bahasa Jepang.
Davira segera menyembulkan kepalanya untuk melihat ke dalam ruangan yang dibatasi oleh tembok, di sana ia bisa melihat seorang wanita yang duduk di sofa dengan kemeja berwarna maroon dan rok span yang panjangnya di bawah lutut. Wanita itu terlihat memangku jas berwarna putih yang Davira tahu adalah jas dokter.
Di sebelah wanita itu terlihat Nathan yang sedang berdiri membelakanginya sembari menempelkan ponselnya ke telinga.
Davira mengumpat dalam hati karena tidak mengerti dengan apa yang Nathan bicarakan di telepon. Sekarang dia menyesal karena tidak pernah mencoba untuk belajar bahasa Jepang. Merasa percuma menguping, Davira segera keluar dari ruangan itu.
Ia lebih memilih untuk kembali menyusuri lorong demi lorong yang begitu panjang dan berharap akan menemukan pintu keluar. Davira sangat ingin kabur dari tempat itu, dia tidak boleh menjadi tawanan Nathan lebih lama lagi. Walaupun rasanya sangat mustahil bisa kabur dalam keadaan seperti sekarang ini, dia tidak akan bisa lari dengan menggunakan kursi roda.
Davira berhenti saat menemukan sebuah pintu berlapis kaca hitam membuatnya merasa cukup penasaran, Davira memperhatikan sekelilingnya sebelum ia membuka pintu tersebut. Karena tidak di kunci, Davira segera memasukinya.
Tubuh wanita itu seketika menegang karena matanya langsung melihat sebuah gaun pengantin yang dipajang di patung. Jantungnya berpacu dengan cepat melihat gaun penuh darah itu, tubuhnya mulai terasa gemetaran ketika kembali mengingat acara pernikahannya yang berubah menjadi kematian massal.
Davira berdiri dari kursi roda dan melangkahkan kakinya dengan tertatih-tatih mendekat kepada gaun pengantinnya.
"Sangat cantik."
"Gaun ini cocok untukmu, Davira."
Suara Damian bahkan terdengar begitu jelas di telinganya saat ini, tubuh Davira langsung terasa lemas. Davira terduduk di lantai yang begitu dingin, matanya terlihat memerah namun sudah tidak mengeluarkan air mata setetes pun.
Tangannya terkepal kuat, rasa bencinya kepada Nathan sudah tidak bisa ia tahan-tahan lagi. Ia marah dan dendam kepada pria itu, semua yang telah dilakukan oleh Nathan benar-benar berhasil membuatnya hancur.
Davira meremas gaun pengantinnya, gaun yang seharusnya terpajang di mansion Damian dengan tampilan yang masih bersih dan indah. Tetapi sekarang gaun itu begitu kotor dengan darah.
"Arghhh!" Davira berteriak kencang meluapkan emosinya. Dia masih merasa tidak percaya bahwa pernikahannya dan Damian gagal karena Nathan, dia masih tidak sanggup memikirkan bahwa saat ini dia telah kehilangan sosok Damian yang sudah menjadi kekasihnya selama hampir 5 tahun.
Davira semakin merasa yakin bahwa memang Nathan lah yang berada di balik penyerangan pada malam ini, dia sangat yakin bahwa Nathan yang telah memerintahkan orang-orang itu untuk menghabisi keluarganya.
Dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Nathan bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, dan Nathan bahkan nekat menyerang mereka di hari pernikahannya dengan Damian.
"Kau di sini rupanya," terdengar suara berat Nathan membuat Davira segera menoleh dan mendapati pria itu sedang berdiri di ambang pintu.
Nathan tidak terlihat panik sama sekali, padahal saat ini Davira telah melihat gaun pengantinnya di pajang oleh pria itu.
Davira terkekeh kecil dengan hati yang terasa perih saat menyadari sesuatu.
"Kau sengaja, Nathan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Berdo'a saja
yang membantai keluarga Davira menggunakan topeng dan hanya membawa senjata api tapi khas anak buah nethan dengan khas dengan senjata kapak alat pemukul bisbol dan terang terangan tanpa topeng artinya yang membunuh keluarga Davira hemm🤔🤔🤔🤔 menarik
2023-06-03
1