Nathan segera membawa tubuh Davira yang lemah ke dalam gendongannya, ia menatap wajah Davira. Terlihat begitu pucat membuatnya merasa khawatir, Nathan meletakkan tubuh Davira di atas ranjang dengan hati-hati.
Davira yang kini setengah sadar hanya bisa diam, dia merasa terlalu lemah untuk mengatakan sesuatu. Nathan segera membuka laci meja yang ada di kamar itu satu persatu untuk mencari kotak obat yang ia yakini berada di antara salah satu laci.
Dan benar saja, dia berhasil menemukan kotak obat yang ia cari. Setelah itu ia mengambil gelas berisi air putih yang berada di atas meja, Nathan langsung membawanya kepada Davira. Pria itu duduk di tepi ranjang dan segera membuka bungkus obat asam lambung untuk Davira.
"Minumlah," Nathan membantu Davira untuk duduk dan bersandar.
Davira membuang wajahnya ke samping membuat Nathan menghembuskan nafasnya kasar.
"Kau ingin mati?" tanya Nathan mengangkat satu alisnya.
Davira yang sebenarnya masih bisa mendengar suara Nathan hanya diam dan tidak bergeming sama sekali.
"Menghadapi wanita keras kepala sepertimu ternyata harus dengan kekerasan."
Tanpa diduga-duga, Nathan mencengkram rahang Davira dan membuat wanita itu menatapnya. Mata Davira sontak terbuka lebar, ia melotot menatap Nathan yang berusaha untuk membuka mulutnya secara paksa.
"Arghh.......apa yang kau lakukan? Kau sudah gila?" Davira memukul-mukul lengan Nathan dengan tenaga yang begitu lemah.
Nathan tidak menanggapinya dan segera memasukkan sebutir obat ke dalam mulut Davira yang terbuka kemudian memaksa wanita itu agar minum. Davira mau tidak mau menegak air yang disodorkan oleh Nathan karena dia tidak akan bisa menelan obat tanpa bantuan air.
Davira terbatuk-batuk membuat Nathan segera mengusap pelan punggungnya kemudian meletakkan kembali gelas yang ada di tangan Davira ke atas meja.
Davira terlihat begitu kesal, "Kau ingin membunuhku?" tanyanya penuh selidik.
"Aku tidak akan memberimu obat dan makanan jika ingin membunuhmu, jadi berhenti mencurigai ku dan makanlah sesuatu."
Nathan segera mengambil nampan yang berada di atas meja kemudian meletakkannya di atas paha Davira yang kini duduk berselonjor di atas tempat tidur. Nathan membuka tudung yang menutupi makanan itu satu persatu membuat aromanya kini tercium di hidung Davira.
"Aku tidak ingin makan."
"Lemparkan makanannya, maka tidak akan ada lagi makanan untukmu. Kau akan ku temui dalam keadaan mati kelaparan besok pagi," ucap Nathan membuat Davira sontak mengurungkan niatnya.
Davira mendelik tajam, "Bagaimana bisa Nathan langsung mengetahui niatku?" batinnya kebingungan.
Melihat raut wajah Nathan yang begitu serius membuat Davira segera memasukkan irisan daging tipis ke dalam mulutnya dan mulai menghirup kuah dari Sukiyaki yang terasa begitu lezat.
"Dasar tuan pemaksa," Davira menggerutu, ia harus menurunkan harga dirinya dengan menuruti perkataan pria itu, karena Davira benar-benar tidak ingin mati kelaparan dan membiarkan Nathan hidup dengan damai begitu saja.
Dia harus makan saat ini atau tidak sama sekali, Davira fokus memasukkan makanan ke dalam mulutnya sembari sesekali melirik wajah Nathan. Dia merasa begitu tertekan karena terus ditatap oleh pria itu, susah payah ia menelan makanan yang sudah ia kunyah.
"Kau tidak ingin keluar? Aku sudah makan, jadi sebaiknya kau tinggalkan aku sendiri," Davira membuka suara di tengah-tengah keheningan yang tadinya menyelimuti mereka berdua.
"Aku ingin melihat kau menghabiskan makananmu, setelah itu aku akan pergi," ucap Nathan membuat Davira berdecak kesal kemudian kembali makan dengan lahap.
Dia sengaja makan tanpa rasa malu karena ingin membuat Nathan merasa jijik melihatnya, namun senyuman tipis di wajah pria itu benar-benar membuat apa yang ia rencanakan langsung gagal seketika.
Cukup lama Nathan duduk di hadapan Davira hingga akhirnya wanita itu menghabiskan makanannya, hal itu membuat Nathan merasa lega dan juga senang.
Nathan segera mengambil nampan berisi piring dan mangkuk yang sudah kosong kemudian meletakkannya di atas meja.
"Sudah habis, sekarang keluar," Davira menyandarkan punggungnya dengan satu kaki yang berusaha untuk menendang Nathan.
"Kenapa tertawa? Tidak ada yang lucu!" bentak Davira merasa kesal karena mendengar Nathan terkekeh kecil.
"Kau mengusirku?"
"Iya, aku mengusir mu. Jadi cepatlah keluar karena emosiku sudah cukup terkuras hari ini, aku sudah lelah dan tidak ingin melihat wajahmu," jawab Davira laku bersedekap dada.
"Kalau begitu aku akan keluar, tidurlah," Nathan mengusap pelan kepala Davira membuat sang empu menatapnya tajam.
"Sudah katakan untuk tidak menyentuhku, Nathan."
Pria itu hanya tersenyum kecil kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh Davira.
"Kenapa kau membawaku ke Jepang?" tanya Davira tiba-tiba.
"Karena aku ingin, Jepang adalah tempat yang aman untukku menyembunyikan mu," jawab Nathan begitu jujur tanpa menutup-nutupi alasannya membawa Davira sampai ke Jepang.
Davira mengumpat dalam hati mendengar jawaban itu.
"Kapan kau akan melepaskan ku?" Davira kemudian berdehem singkat.
"Maksudku, kapan kau akan mengeksekusi ku?" wanita itu meralat pertanyaannya yang sebelumnya.
"Aku tidak akan pernah melakukan keduanya," setelah menjawab pertanyaan tersebut, Nathan segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar Davira.
"Aku belum selesai berbicara Nathan! Jadi maksudmu kau akan menyiksaku seumur hidup?!"
Davira menghela nafas kasar kemudian melempar mangkuk kosong ke tembok hingga pecah untuk meluapkan amarahnya.
"Arghhh pria sialan!"
Nathan masuk ke dalam kamarnya yang masih berada di lantai yang sama dengan kamar milik Davira, hanya terpisah oleh 4 ruangan. Nathan melepaskan kaos polos yang ia kenakan membuat perut six pack nya kini terlihat, pria itu menatap pantulan dirinya di cermin sebelum menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.
Ia menatap televisi yang masih menyala dan masih memperlihatkan kegiatan Davira di atas tempat tidurnya, wanita itu sepertinya sudah mulai bersiap untuk tidur. Nathan memijit pangkal hidungnya, dia tahu bahwa apa yang dia lakukan di hari pernikahan Davira dan Damian akan menimbulkan masalah besar.
Beberapa rekan bisnis keluarga Lee tentunya merasa marah terhadap apa yang sudah dia lakukan, selama ini belum pernah ada pembantaian yang dilakukan secara terang-terangan seperti itu. Keluarga Lee juga sangat berpengaruh di dunia bawah, neneknya pasti sedang berusaha keras untuk membereskan kekacauan yang sudah ia lakukan.
Namun entah mengapa Nathan tidak merasa menyesal sama sekali, Damian memang pantas untuk ia lenyapkan. Yang ia sesali adalah keterlambatannya, harusnya sedari dulu dia sudah membunuh pria itu.
Tiba-tiba saja terdengar suara dari dering ponselnya, Nathan segera meraih benda pipih itu dari atas nakas. Ia tertegun untuk sejenak menatap nama yang tertera di layar ponselnya, dia sudah tahu bahwa hari ini Amara pasti akan menghubunginya.
Tidak ingin membiarkan ibunya menunggu terlalu lama, Nathan segera menggeser tombol hijau membuat panggilan kini tersambung.
"Kau di mana Nathan?"
Pertanyaan itu langsung ia dengar dari mulut ibunya.
"Di mansion, ada apa?"
"Ada apa? Kau benar-benar sedang menguji kesabaran ibu? Sekarang katakan kau berada di mansion mana? Kita mempunyai banyak sekali mansion di Negera yang berbeda Nathan, jadi sebutkan letaknya."
Suara ibunya sebenarnya terdengar begitu lembut, namun tegas secara bersamaan.
"Kenapa ibu menelepon? Apa ada masalah? Semua kekacauan itu sudah dibereskan?" tanya Nathan yang tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Amara.
"Kau mengalihkan pembicaraan, kau sudah kehilangan akal sehatmu Nathan? Bagaimana bisa kau membantai seluruh keluarga Lee di hari pernikahan putra tunggal mereka?! Kekacauan yang kau buat ini sulit untuk dibereskan, ada banyak pihak yang merasa marah dan mulai memusuhi kita karena tindakanmu itu."
Nathan segera merubah posisinya menjadi duduk.
"Jika sangat sulit, aku bisa membereskannya sendiri. Tidak ada yang menyuruh kalian untuk melakukannya, aku membuat kekacauan itu sendirian, maka juga harus membersihkannya sendirian."
Perkataan Nathan tersebut tentu saja membuat Amara naik pitam, dia sudah benar-benar kewalahan menghadapi sikap Nathan yang begitu keras kepala dan juga semena-mena. Selalu melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan darinya terlebih dahulu.
"Di mana wanita itu? Ibu tahu kau membawanya, karena wanita itu kau sampai bertindak senekat ini."
Nathan mengeratkan genggamannya pada ponselnya, rahangnya terlihat mengeras saat ini.
"Namanya Davira, dan dia memang bersamaku saat ini. Aku sudah mendapatkannya, ibu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments