Nathan hanya menatapnya dengan sorot mata yang seolah akan menenggelamkannya, dapat Davira lihat senyuman yang teramat tipis di wajah pria itu. Rasanya Davira ingin melubangi kepala Nathan saat ini juga dengan pistolnya, namun sayangnya dia tidak bisa.
"Gaunnya sangat indah, jadi aku menyimpannya di sini," Nathan mengatakannya dengan sangat tenang dan dengan wajah tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Aku benar-benar sudah muak dengan semua ini, apa yang kau inginkan sebenarnya? Kau telah berhasil membunuh hampir seluruh keluargaku, dan kau juga sudah membunuh kekasihku. Lalu apa lagi, Nathan? Untuk apa kau menahan ku di sini?!" suara Davira meninggi namun terdengar bergetar.
Dia memang wanita yang kuat, tapi apa yang ia alami akhir-akhir ini begitu berat dan dia merasa tidak sekuat itu untuk menahan semuanya sendirian. Saat ini dia telah kehilangan satu-satunya orang yang ia jadikan sebagai tumpuan.
Nathan melangkahkan kakinya mendekat kepada Davira, pria itu berjongkok membuat wajah mereka kini saling berhadapan.
"Apa yang membuatmu sampai menuduhku?" tanya Nathan membuat Davira mengernyit.
"Pertanyaan macam apa itu? Apa yang ku katakan bukanlah tuduhan, Nathan. Aku mengatakan semua kebenaran, kau memang pelakunya. Jadi berhenti mengelak dan bebaskan aku sekarang!"
"Bermimpi lah, Davira. Aku tidak akan pernah melepaskan mu, kau sudah berada di dalam genggamanku saat ini," tangan Nathan bergerak menyentuh pipi mulus Davira.
Netra keduanya saling bertubrukan, rasa benci Davira semakin membesar, sangat bertolak belakang dengan apa yang Nathan rasakan kepadanya.
Plaak.
Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi Nathan, nafas Davira terdengar memburu. Hanya tamparan yang bisa ia berikan kepada Nathan untuk saat ini.
"Aku bersumpah akan membunuhmu," desis Davira yang kini diliputi oleh amarah.
Nathan terkekeh sembari mengusap pelan pipinya yang terasa memanas.
"Aku yakin kau akan mencabut sumpah mu itu," Nathan mencengkram kuat kedua pundak Davira yang menatapnya tanpa berkedip sedikitpun, mata wanita itu benar-benar terlihat memerah saat ini.
"Aku tidak akan pernah menjadi milikmu, Nathan. Sejak awal dan sampai akhir nanti, kau tidak akan pernah bisa memiliki aku. Sekalipun kau di sisimu."
Rahang Nathan seketika mengeras mendengarnya, dia begitu benci mendengar apa yang dikatakan oleh Davira. Hal itu membuat cengkeramannya pada pundak Davira semakin mengerat sampai pada akhirnya wanita itu meringis tertahan membuatnya tersadar dan langsung menjauhkan tangannya.
"Siapa yang meminta pengakuan mu di sini? Aku bahkan tidak membutuhkan persetujuan mu untuk menjadikanmu sebagai milikku," suara Nathan terdengar begitu berat karena sedang menahan amarah yang hampir saja meledak, namun ia berusaha untuk menahannya karena tidak ingin melukai fisik Davira lebih dari apa yang sudah dia lakukan sebelumnya.
"Kau sudah gila, Nathan," gumam Davira yang mana masih bisa didengar oleh Nathan.
"Sejak awal kau sudah hal itu."
Tanpa aba-aba, Nathan langsung mengangkat tubuh Davira dengan begitu mudahnya membuat wanita itu terperanjat kaget. Nathan meletakkan Davira di pundaknya seperti karung beras membuat perut wanita itu terasa bergejolak karena pandangannya yang terbalik.
"Turunkan aku! Berani-beraninya kau menyentuhku!" teriak Davira berusaha untuk turun dari gendongan Nathan.
Namun pria itu seolah tuli dan tidak mendengar teriakan Davira yang memekakkan telinga, Nathan terus melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu dan membawa Davira menyusuri lorong demi lorong untuk kembali ke kamarnya.
"Aku benar-benar akan membunuhmu setelah sudah sembuh Nathan!" Davira terus memukul punggung Nathan yang terasa begitu keras.
"Maka ku harap kau sembuh dengan cepat!" sahut Nathan membuat Davira semakin merasa marah.
"Aku tidak main-main dengan perkataan ku, Nathan!"
Pria itu tidak lagi menanggapi perkataan Davira dan mengabaikan suara teriakan yang sudah mulai terdengar serak. Davira bahkan terbatuk-batuk karena terus berteriak sejak ia sadarkan diri.
Laura terperanjat kaget saat keluar dari ruangan Nathan dan mendapati pria itu sedang menggendong seorang wanita di pundaknya. Nathan memberi isyarat kepada dokter pribadi keluarganya itu untuk mengikutinya, Laura yang paham segera melangkahkan kakinya dengan tangan yang sudah menenteng tas berisi peralatan medis.
"Turunkan aku Nathan! Kau tidak bisa memperlakukan seperti ini!"
Laura meringis pelan mendengar suara teriakan Davira yang begitu nyaring, tidak ia sangka bahwa ternyata wanita se-anggun Davira bisa bersikap seperti sekarang ini. Selama ini Laura hanya melihat Davira dari foto-fotonya dan pernah bertemu satu kali di acara lelang 3 tahun yang lalu. Dan sejak saat itu juga, Nathan menjadi begitu tergila-gila kepada Davira.
Laura segera membukakan pintu kamar membuat Nathan bisa langsung masuk ke dalam sana.
"Turunkan aku sialan!" umpat Davira dengan terus menyumpah serapah, semua perkataan kasar dan kotor bahkan dia teriakkan.
Brukk.
"Akhhhh!"
Laura sampai tersentak dan menatap Nathan tidak percaya, pria itu baru saja menurunkan tubuh Davira dari gendongannya secara tiba-tiba.
Davira meringis merasakan sakit pada bokongnya karena membentur lantai dengan keras, ia menatap Nathan tajam, sedangkan yang ditatap memasang wajah datar tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Kau sudah gila?!" bentak Davira benar-benar tidak habis pikir mengapa Nathan sampai menurunkannya secara tiba-tiba seperti itu dari gendongannya.
"Kau yang meminta diturunkan."
Davira mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian berusaha untuk kembali berdiri, namun tentu saja tidak bisa karena kakinya terasa begitu sakit dan terlihat mengeluarkan darah.
"Padahal kau bisa menurunkan ku di atas ranjang, dasar brengsek," umpat Davira yang mana membuat Laura tercengang mendengar keberanian Davira, sedari tadi dia terus mendengar Davira mengatakan hal-hal buruk kepada Nathan.
Laura berdehem singkat kemudian meletakkan tasnya di atas ranjang lalu membantu Davira untuk kembali berdiri, Laura memapah tubuh Davira hingga wanita cantik itu naik ke atas tempat tidurnya yang empuk.
Davira duduk berselonjor dengan dada yang bergemuruh.
"Obati dia, Laura. Setelah itu temui aku di ruangan ku."
Laura hanya mengangguk sembari mengeluarkan alat-alat yang ia perlukan untuk mengobati luka bekas peluru di pergelangan kaki Davira.
Nathan melangkahkan kakinya keluar dari kamar Davira begitu saja tanpa mengatakan apa-apa lagi, meninggalkan Laura dan Davira berdua di dalam sana.
Davira menghela nafasnya kasar kemudian menyandarkan punggungnya merasa lelah, ia memalingkan wajahnya dan membiarkan Laura melakukan tugasnya.
Dokter berdarah Spanyol - Indonesia itu segera melepaskan perban yang sudah basah dengan darah di kaki Davira. Tidak seharusnya Davira menggunakan kakinya yang belum sembuh untuk berjalan. Laura mulai membersihkan darah di kaki Davira sebelum mengoleskan obat agar tidak terjadi infeksi.
Davira hanya diam, ia tidak berniat untuk mengajak bicara dokter yang saat ini sedang mengobatinya.
"Seharusnya kau tidak mengatakan hal-hal sekasar itu kepada Nathan."
Davira mengernyit mendengar perkataan yang keluar dari mulut Laura, ia sontak menatap dokter berwajah cantik dan terkesan seksi karena bibirnya yang tebal itu.
"Kenapa tidak? Apa yang dia lakukan kepadaku bahkan lebih kasar dari pada semua umpatan yang kau dengar barusan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Berdo'a saja
siapa Laura cuma sekedar dokter atau ada sesuatu
2023-06-03
1