Alex memeriksa tubuh Kania dari ujung rambut sampai ujung kaki, sungguh Kania terlihat masih lemah dan tak berdaya. Alex juga melihat ponsel Kania yang rusak dan hancur sewaktu kecelakaan, ia yakin ponsel itu tidak akan mungkin bisa lagi digunakan kecuali dibeli baru, tapi tidak mungkin Kania membeli ponsel baru di saat ia tengah terbaring lemah melawan maut, antara hidup dan mati.
"Ah, semua hanya ilusi," ucap Alex agar dirinya tidak stres memikirkan sesuatu yang baru saja terjadi.
Alex membanting ponselnya, ia tidak ingin merusak hati dan pikirannya untuk memikirkan sesuatu yang dapat merusak moodnya.
Selang beberapa menit kemudian salah seorang perawat kembali datang untuk memberikan makanan dan obat yang untuk Alex.
"Selamat siang, Dek, bagaimana keadaannya?" tanya salah seorang perawat ramah dan sangat sopan.
Alex menghapus air matanya dan menatap sang perawat dengan tatapan sendu dan penuh dengan kesedihan.
"Dek, istirahatlah! Biar keadaan anda cepat pulih!"
Sang perawat membantu Alex kembali ke ranjangnya, ranjang yang ia minta di samping Kania, karena ia ingin bersama-sama dengan Kania disetiap saat. Ia juga ingin saat Kania membuka mata maka Kania akan melihatnya sehingga gadis cantik itu tidak lagi merasa takut dan sendirian.
"Suster, terima kasih banyak," ucap Alex ramah dan sopan namun pikirannya terlihat sangat berantakan dan berkecamuk.
"Kalau begitu jangan lupa makan dan minum obatnya biar cepat pulih, Dek!" ucap sang suster memberikan semangat dan perhatian kepada pasien.
Alex hidup bersama sang paman, ia tidak memiliki orang tua dan saudara sehingga tidak ada yang merawatnya di rumah sakit ini karena sang paman juga sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mere Sementara Kania, sejak pernikahannya dan om Galih gagal, papanya menghilang dan tidak tahu entah berada dimana, karena om Galih menarik semua sahamnya dari perusahaan orang tua Kania dan perusahaan itu saat ini terancam bangkrut dan gulung tikar.
"Kania, sadarlah, Sayang!"
Alex terus menerus memanggil nama Kania, berharap wanita yang sangat dicintainya itu segera pulih dan kembali ceria seperti sedia kala. Namun, lebih dari seminggu berlalu, Kania masih tidak sadarkan diri. Ia hidup tapi seolah mati, bernyawa tapi tak bergerak.
***
POV MASA LALU
"Sayang, jangan terlalu menangisiku seperti itu, aku baik-baik saja di sini!" ucap Kania dengan air mata yang sudah bercucuran di pipinya. Kania tidak kuasa melihat penderitaan kekasihnya dalam merawatnya.
"Siti, bangun, Sayang!"
Terdengar oleh Kania bundo memanggil-manggil namanya.
"Asragfirullahalazim."
Kania membuka matanya dan tersadar bahwa semua yang ia lihat di alam mimpi itu adalah kenyataan yang terjadi di masa depan.
"Bundo, Siti takut!"
Kania langsung memeluk bundo dengan sangat erat dengan sejuta kekhawatiran yang dibawanya.
"Sayang, tenanglah!"
Bundo menepuk-nepuk pundak putrinya dan berharap gadis cantik kesayangannya itu kembali tenang seperti sedia kala.
"Siti, Siti, minumlah obat ini, Nak!"
Abak datang membawa segelas ramuan yang yang berwarna hijau pekat untuk di minumkan kepada Siti.
Wajah abak yang sudah tua itu tampak lelah, ditambah lagi dengan kerisauan dan kekhawatiran karena putri kesayangannya saat ini sedang sakit.
"Nak, minumlah!"
Bundo menyodorkan ramuan obat itu kepada Kania, namun Kania menolak karena ia tidak suka dengan ramuan kampung seperti itu.
"Nak, ini adalah daun pepaya, daun ini sangat ampuh sekali untuk menurunkan panas, Nak!" bujuk bundo.
"Minumlah, Nak! Abak dan Bundo ingin kamu segera sembuh dan pulih," ucap abak dengan raut wajah khawatirnya.
Kania merasa sangat iba dengan kedua orang tua Siti yang teramat sangat baik kepadanya dan telah menyayanginya dengan tulus. Bahkan, abak rela kembali keluar rumah hanya untuk mencari daun pepaya di kebun padahal beliau baru saja pulang dari sawah dalam keadaan lelah.
'Kania, sadarlah! Jangan menjadi anak yang tidak tahu diuntung!' oceh Kania kepada dirinya sendiri.
"Nak, minum ya!"
Bundo menyodorkan ramuan itu ke mulut Kania, dan dengan terpaksa gadis itu terpaksa harus meminumnya karena ia tidak ingin melukai dan mengecewakan hati kedua orang tuanya.
"Pahit, Bundo," teriak Kania sembari menyeringitkan kedua matanya.
Kania tidak pernah membayangkan akan meminum obat aneh seperti ini sebelumnya.
"Nak, namanya juga obat, tentu pahit, Sayang!" ucap bundo sembari membelai lembut rambut putri kesayangannya.
"Sayang, cepatlah sembuh! Abak dan Bundo tidak kuat melihatmu terus-terusan sakit seperti ini, Sayang," ucap abak dengan wajah mengiba dan mata yang berkaca-kaca.
"Abak, jangan bersedih!"
Kania tidak tega melihat air mata mengalir di pipi orang-orang yang ia sayang. Kania menghapus air mata yang akhirnya mengalir membasahi pipi abak. Hati Kania merasa sangat sakit dan terluka ketika melihat butiran kristal-kristal bening itu jatuh membasahi pipi abak.
Kania teringat dengan papanya, ia sangat yakin dan percaya kalau saat ini papanya juga sedang bersedih, kesepian dan sendirian.
'Papa, Papa di mana? Key rindu!' isak tangis Kania di dalam hati.
Kania langsung menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan abak dan mencurahkan semua kerinduannya akan papanya kepada abak.
Untuk beberapa menit, Kania, bundo, dan abak, menangis dan saling menumpahkan air mata kesedihan akibat beban hidup yang teramat sangat berat yang keluarga itu rasakan sekarang.
"Oh iya, Bundo, Abak tadi membawa ikan lele hasil pancingan dari sungai," ucap abak sembari membersihkan air mata yang tersisa yang menggenangi pipi beliau.
"Wah, lele adalah ikan kesukaan Siti, biar Bundo masak dulu."
Bundo juga berusaha menghapus air mata yang ada di pipinya, berusaha tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya, beliau berjalan meninggalkan kamarku menuju dapur untuk mempersiapkan makan malam keluarga.
'Ikan lele? Apakah Siti juga suka ikan lele sepertiku?' tanya Kania pada dirinya sendiri.
Kania memang sangat rindu sekali memakan masakan mamanya, dan ia juga sangat suka sekali ikan lele yang dimasak mama khusus untuk dirinya.
"Siti," ucap abak memulai pembicaraan hingga membuyarkan lamunan Kania.
"Iya, Abak," jawab Kania lembut dan penuh dengan sopan santun.
"Siti dengarkan Abak, Nak," ucap abak sembari menatap mata Kania dengan penuh cinta dan kasih sayang.
"Nak, tidak ada orang tua yang tidak sayang kepada anaknya. Tidak ada orang tua yang mengharapkan keburukan untuk anaknya, tidak ada orang tua yang ingin menjual anaknya," ucap abak dengan nada suara terbata-bata dengan air mata yang mulai jatuh lagi membasahi pipi beliau.
"Nak, semua orang tua mengharapkan kebahagiaan untuk anaknya, mengharapkan lelaki baik yang akan menjadi imam anaknya, namun terkadang rencana kita tidak berjalan sebagai mana mestinya karena ada Allah, Dzat yang maha pengatur segala-Nya. Rencana Allah adalah yang terbaik untuk hamba-Nya, karena bisa jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia tidak baik bagimu dan bisa saja kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu. Allah maha tahu, sedangkan kamu tidak," ucap abak dengan nada suara lembut dan menenangkan.
Sungguh, nasehat yang diberikan oleh abak kepada Kania seperti sebuah nasehat yang ingin papa sampaikan kepadanya, hingga membuat air mata jatuh menggenangi pipi gadis cantik itu.
"Papa ..., Kania rindu!" ucap Kania sembari memeluk abak.
"Papa? Kania? Apa maksudmu, Nak?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments