9 September 2019

Mairaline membisu, kantung mata yang terlihat sedikit menghitam itu diam-diam mengganggu Nairaline. Mai menghela nafas, melihat Nairaline membuatnya kembali mengingat perkataan saudaranya tadi malam. Rasanya, dadanya masih terasa sesak seperti tadi malam. 

Tidak menatap Nairaline lagi, Mai kini menatap rumput liar di bawahnya. Membiarkan telinganya mendengar arahan dari Carra. 

"Oke. Tinggal empat tenda lagi yang belum dapat kelompok, ya? Nah tenda yang pembimbingnya Mr. Edo satu kelompok sama Miss. Neny. Sisanya satu kelompok!" Terang Carra. 

"Yeay, Nai satu tenda sama Mai!" Nairaline bersorak bersama anak-anak lainnya. Dia berlari menghampiri Mairaline, merangkul saudaranya senang. 

Kaget, Mai menata Nairaline, wajah mereka teramat sangat dekat. Perasaan tenang merambat ke dalam hatinya saat melihat tawa saudaranya.

 "Nai!"  Gumaman pelan Mairaline membuat tatapan mereka bertemu. "Kenapa?" Nai menatap lamat saudaranya. 

"Nggak apa-apa." Geleng Mairaline, namun kembali menatap Nairaline dengan tatapan yang sama. "Nai, nggak apa-apa!" Ragu, pertanyaan itu terlontar. 

Nairaline mengangguk-angguk, kemudian menggeleng. "Nggak. Mai semalem nggak kedinginan?" Lontaran pertanyaan dari Nairaline membuat Mai termenung. 

"Yang semalam. Maafin Nai, ya! Mai pasti juga rindu sama, Mama?" Tercenung, Mai hanya menatap saudaranya lamat. Nairaline sendiri kini tersenyum tipis. Pikirnya, mungkin semalam dia hanya sedang merindukan Mama mereka. Salahnya ketika dia bertanya kepada saudaranya, karena mereka sama-sama merindukan Mama. 

"Maaf!" Ucapan itu kembali Nairaline dengar. Sedikit kesal saat saudaranya meminta maaf terus menerus. "Mai jangan minta maaf mulu, Nai nggak apa-apa!" 

"Nggak. Mai, minta maaf aja! " Mai menggeleng, gumaman pelannya membuat Nairaline menarik nafas. "Terserah Mai aja, deh!" Pasrah Nairaline. Tidak lagi memperpanjang perbincangan mereka, keduanya sama-sama terdiam mendengarkan instruksi guru laki-laki di samping Miss Carra. 

"Semuanya udah bawa minum?" Nairaline gelagapan, menatap Mairaline yang tampak tenang. Agaknya saudaranya tidak lupa membawa botol minum seperti dirinya. 

"Mai!"

 Mairaline menoleh. "Kenapa?" 

"Nai lupa bawa botol minum!" 

Mai menatap botol minum di saku tas-nya. "Nggak apa-apa. Kita minum sama-sama dari punya Mai, aja!" Nairaline mengangguk menerima tawaran dari Mairaline. "Tapi, Mai beneran nggak apa-apa bagi minumnya sama Nai?" Tanya Nairaline memastikan.

"Kenapa harus keberatan? Nai-kan saudara Mai!" Senyuman keduanya merekah. Dari sana mereka mulai berjalan beriringan di sekitar perkemahan. Membuat dua barisan di setiap kelompoknya. Mairaline dan Ana berdiri di barisan paling belakang sedangkan Nairaline dan Yura berjalan di depan bersama anak-anak lainnya. Tepat dibelakang mereka juga berdiri Carra. Sementara di depan, Miss Jennifer menuntun perjalanan.

Anak-anak itu berjalan sambil bernyanyi, mengayun tangan ke depan ke belakang. Meninggalkan perkemahan cukup jauh, melewati pohon-pohon rindang. Mairaline menatap kepala Nairaline, baru menyadari saudaranya tidak memakai penutup kepala. "Nai nggak pake topi?" Nairaline menoleh. "Nai gerah. Jadi nggak mau pake topi!" Gelengnya. Mairaline mengangguk seraya kembali bernyanyi dengan yang lain. Tidak menyadari nyanyian itu berhenti, di depan mereka terpangpang jalan setapak dan sedikit menanjak setelah setengah jam berjalan di tanah yang datar. 

Sebagian anak terdiam, merasa tidak yakin. Melangkah ragu saat Miss Jennifer mengulurkan tangan.  "Jalannya hati-hati, ya!" Peringat guru berkepala tiga itu menuntun anak-anak satu persatu. Sebenarnya bagi orang dewasa tanjakan itu hanya tanjakan kecil dengan tinggi sepinggang mereka. Tentu akan berbeda dengan anak berumur 7 tahun. 

"Miss!" 

"Iya, Ana. Kenapa?" Tanya Carra seraya menuntun anak itu berjalan. Saat yang lain sudah lebih dulu berdiri diatas menunggu anak itu. 

Ana mengatur nafas, membenarkan letak tas gendongnya.  "Kelompok yang lain mana Miss? Kok nggak bareng-bareng sama kita?" Tanya nya mengedarkan pandangan. Mairaline dan anak-anak lain juga melakukan hal yang sama. 

"Kelompok yang lain udah pada di depan. Nanti kalo ke susul juga ketemu." Terang Carra. 

Ana mengangguk. "Oh, kenapa nggak bareng-bareng aja?" Tanyanya heran. 

"Ana banyak tanya deh, nggak bisa diem?!" Gerutu Nairaline menatap kesal Ana. Semuanya diam. Dalam hati, dapat mengira apa yang akan terjadi.

Tentu, Ana membalas. "Blee! Dasar Nai. Ana nggak bicara sama Nai, ya!" Julid Ana. 

"Tapi Nai denger!" Ana mendengus, menatap  datar wajah pongah Nairaline yang terlihat menyebalkan. 

"Ya, nggak usah di dengerin!" Sarkas Ana. 

"Udah tengkarnya?" Pertanyaan Carra membuat keduanya terdiam. Meringis. "Udah ya, sekarang kita istirahat sambil makan dulu. Baru lanjut jalan!" Keduanya mengangguk, namun masih dengan delikan yang sama saling menatap tidak suka. Tidak ingin ambil pusing, Carra berjalan beberapa meter, menggelar tikar tipis diatas tanah mendatar. Menggeleng pasrah saat Miss Jennifer masih terkekeh melihat pertengkaran dua anak itu. 

Tikar digelar, semuanya duduk seraya menunggu dua orang dewasa itu membuka kotak makanan yang sudah disediakan. "Makannya sama-sama, ya?!" Ucap Miss Jennifer. "Dan, jangan rebutan!" Lanjut Carra. 

Anak-anak itu mengangguk, satu persatu mengambil makanan. Delikan tidak suka dari Ana tidak memudar, anak itu sesekali mendengus saat Nairaline meminum air milik Mairaline. Padahal yang punya juga tidak keberatan. 

08:26 WIB, mereka selesai makan. Melanjutkan perjalanan lagi, melewati jalanan mendatar namun dengan bebatuan cukup besar dan tanah kering berdebu. Pelan-pelan dua guru wanita itu menuntun anak-anak itu berjalan. 

"Jalannya pelan-pelan aja. Jangan buru-buru!" Pesan Miss Jennifer menuntun tangan salah satu anak yang tampak kesusahan. 

"Iya, Miss!" Serempak mereka. 

Mairaline pelan-pelan berjalan dengan Ana di sisinya. Kakinya tampak mantap berpijak di atas bebatuan itu. Sesekali mereka berhenti, mengamati lingkungan di sekitar mereka dengan penjelasan dari Miss Jennifer dan Carra. 

"Miss, kenapa di kota nggak ada suara burung kayak disini?" Tanya Ana menatap sarang burung diatas pohon. 

Carra mengulum bibir. "Karena disini habitat nya masih terjaga, po. 

"Oh, Ini kita pulangnya masih lama nggak Miss?" Ana berselonjoran. Dua guru wanita itu menggeleng melihat Ana tampak nyaman berselonjoran di atas tanah. "Soalnya kaki Ana udah pegel, kaki Mai juga sama, kan?" Mairaline mengangguk pelan. Memilih berjongkok di sisi Ana. 

"Sebentar lagi kok. Yang lain mungkin udah nyampe. Makanya ayo yang semangat jalannya!" Seru Carra. Anak-anak itu mengangguk. Semakin ingin sampai semakin semangat pula jalan mereka. Hingga tiba waktunya mereka sampai, hanya berjarak 20 meter lagi ke perkemahan.

"Yeay… Udah sampai!" Sorak anak-anak itu berlarian mendekati perkemahan. 

"Jangan lari-lari. Pelan-pelan aja!" Seru Carra. "Ana nggak lari kok. Cape!" Ana menyahut, menatap teman-temannya yang sudah berlarian meninggalkan dirinya dan Mairaline. 

"Nai, jangan lari!" 

"Aaw…!" Belum sempat ucapan Mairaline mengering, Nairaline terjatuh. Lututnya menghantam kerikil cukup keras, membuat goresan cukup lebar di lututnya. Segera, isakan lirih keluar dari Nairaline.

Mairaline berlari tergesa-gesa, berjongkok di depan Nairaline. "Udah Mai bilang, jangan lari!" Ucapan kesal itu terselip khawatiran. Meringis, menatap luka saudaranya mulai mengeluarkan darah. 

"Hiks… Mai, jangan marah-marah dong!" Nairaline merenggut, merasa sakit saat Mai memarahinya, seraya meringis menatap luka di lututnya.

Ana mendelik. "Makannya jangan ngeyel! Mai marahin Nai itu tandanya sayang. Mai khawatir sama Nai. Itu aja nggak ngerti!" Sarkanya tampak tidak peduli dengan apa yang dialami Nairaline. Hanya berdiri, memalingkan wajah. Menggeser tubuhnya saat Carra dan Miss Jenifer datang. 

"Hikss… Ana jahat, Miss!" Gugu Nairaline. Mairaline acuh, tidak peduli dengan pertengkaran keduanya. Dia asik meniup-niup luka Nairaline bermaksud mengurangi sakitnya. 

"Udah, nggak apa-apa. Nai jangan nangis lagi, oke!" Carra mengusap lembut kepala Nairaline. " Ayo Miss Carra gendong, nanti kita obatin lukanya!" Carra berjongkok. Nairaline mengalungkan tangannya. "Nanti-nanti jangan lari-lari, ya!" Pesan Carra seraya berjalan. Mairaline tetap mengekori, menatap saudaranya khawatir. Ana pun juga ikut bersama Yura, saling mendelik tidak suka. 

"Miss!" Mairaline bertanya takut. "Nai, nggak apa-apa kan?"  

Carra tercenung. "Nggak. Mai jangan khawatir, cuma luka kecil. Nanti kalau udah di obatin juga sembuh!" Mai menghela nafas lega. 

9 September 2019, 

Tercatat sebagai kehancuran dalam hidup Mairaline. Dua orang paling dicintai olehnya di dunia ini, membencinya. 

Terpopuler

Comments

Fenti

Fenti

sekuntum 🌹 mendarat dengan cantik 😁

2023-09-19

4

Fenti

Fenti

mampir lagi Kak

2023-09-19

3

Fenti

Fenti

memang Ana ini😁

2023-09-19

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!