Erald menatap lelah berkas-berkas di depannya. Perusahaan nya mempunyai proyek besar dengan investor asing dari negara Eropa. Membuatnya mau tak mau harus bekerja keras sebagai pemimpin di perusahaannya sendiri.
Disandarkannya punggung tegap itu pada kursi kebesarannya. Mata tajam itu terpejam, jari jemari besarnya mulai mengurut pelan kulit diantara kedua alis lebatnya. Erlad lelah, dia kesepian, dia merindukan Relin istrinya, hatinya masih terasa sesak seperti satu tahun lalu, tidak pernah membaik.
Relin adalah dunianya, Relin sandaran bagi Erlad, Relin obat terbaik untuk Erald, tapi kepergian Relin seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti dirinya.
"Aku rindu sayang." Ucapan pelan Erlad mengisi keheningan ruangan temaram itu.
Tidak ada yang tahu seberapa rapuhnya tubuh tegap itu. Erald lupa atau mungkin berusaha tidak mengingatnya, bahwa Mai putrinya juga sama menderitanya seperti dirinya.
Erlad beranjak, diambilnya jas hitam miliknya dan tas kerja hadiah ulang tahun dari Relin dua tahun lalu. Malam ini Erald akan kembali pulang seperti malam-malam sebelumnya, Relin tidak akan suka bila Erlad lebih memilih tidur di kantor.
Mobil hitam milik Erald melaju membelah kesunyian malam. Sebelum mobilnya memasuki gerbang kediamannya, Erald menatap lekat rumah mewah di depannya. Helaan nafas terdengar dari pria 34 tahun itu. Satpam rumah Erlad membuka gerbang, membiarkan majikannya melajukan mobilnya melewati gerbang memasuki kediamannya.
Suara derap kaki terdengar berjalan di kegelapan rumah, mata tajam itu melirik jam besar di ruang tamu, 00:38 WIB. Diletakkannya wadah bekal tadi siang di mini bar. Bekal yang Erald makan dengan lahap dari Nairaline. Tanpa tahu bila putrinya yang lain yang menyiapkan itu untuknya.
Ruangan pertama yang didatangi Erlad adalah kamar Nairaline, pelan-pelan Erlad membuka pintu kamar Nairaline. Wajah lelahnya mengeras, rahang kokoh itu mengerat saat mata tajamnya tidak menemukan Nai di tempat tidur. Langkah lebar Erlad ambil, dibukanya dengan kasar kamar bertuliskan nama pemiliknya, Mairaline Atmajaya.
Saklar di samping pintu itu Erlad nyalakan, kamar bernuansa biru laut itu Erlad masuki. Kedua anaknya tertidur saling memeluk.
Beberapa saat Erald mematung menatap kedua putrinya. Sekejap wajah mengeras Erald melembut, bayangan Relin ikut tidur di sana menghantuinya.
"Papa!"
Erald seolah ditarik dari kenyataan saat suara Mai menyapa indra pendengarannya. Mata tajam itu menatap dingin putrinya, dalam hati Erlad mendesah saat bayangan Relin ternyata adalah halusinasinya.
"Tidur!"
Tekan Erlad tanpa melihat Mai yang mematung melihat Papa nya menggendong saudaranya, Nairaline. Membawa tubuh dalam gendongannya keluar dari kamar bernuansa biru laut itu, meninggalkan Mai dalam sejuta keterdiaman-Nya.
9 Juli 2017,
"Papa!"
"Kenapa bangun sayang?" Erald mengelus pelan kepala Mai, menatap putrinya yang selalu terbangun saat dirinya pulang lembur dari kantor.
"Soalnya lampunya papa hidupin." Mai menatap lampu di atap kamarnya. Kemudian mata caramel itu menatap Papanya, Mai senang di elus Erlad.
"Papa, Mai seneng deh kebangun malem terus kepalanya di elus Papa!"
"Kalo gitu, setiap malam Papa bakal ngelus kepala Mai sebelum tidur. Mai mau?"
"Mau. Mai mau banget!" Angguk Mai bersemangat.
"Papa tadi mandi pake air hangat?" Mai menatap sisa-sisa rambut Erald yang masih basah.
"Iya. Kenapa?"
"Soalnya kalo Papa mandi air dingin Mai takut Papa sakit. Mai juga sakit waktu mandi air dingin, Mama suruh Mai mandi pake air hangat biar gak sakit. Papa juga ya, biar gak sakit!"
Erald tersenyum mendengarkan celotehan putrinya di tengah malam. Mai itu persis seperti Relin yang selalu mengkhawatirkannya. Putrinya yang begitu Erlad sayangi.
"Udah. Mai sekarang tidur ya, nanti Mama marah kalau tahu Mai belum tidur."
Iya. Papa juga tidur ya!"
Erald membawa tubuh kecil Mai kedalam pelukannya. Mata tajam itu melembut menatap satu persatu orang-orang yang dicintainya. Relin selalu tertidur di dalam kamar kedua putrinya jika dirinya terpaksa lembur di kantor.
Dulu, dulu sekali Mairaline menganggap hal itu akan sering terjadi tanpa tahu bila dia akan merindukan momen kecil itu.
Dua orang gadis kecil duduk di meja makan tanpa orang dewasa di tengah-tengah mereka. Miraline sesekali mengaduk-ngaduk makanannya tidak berselera.
"Mai… shuttt!" Mai mengangkat alis menatap saudaranya.
"Tadi malem Papa yang pindahin Nai?"
Mai mengangguk, tanpa berniat membuka suaranya. Suasana hati Mai sedang tidak baik pagi itu. Bertambah buruk dengan pertanyaan Nai yang membuat Mai ingin menangis mendengarnya.
"Mai sariawan ya?" Tanya Nai lagi tidak mendapat jawaban.
Nairaline menutup mulut, mengikuti Mai yang menyudahi makanannya. Kedua gadis kecil itu pagi ini diantar supir ke sekolah. Erald rupanya masih sibuk dengan perusahaannya hingga dua minggu kedepan. Membuat Mai dan Nai punya banyak waktu untuk bermain.
"Mai, kenapa diemin Nai?" Bibir Nairaline mengerucut, menatap lekat Mairaline di sampingnya.
"Maaf, Mai lagi gak mood!" Mai menunduk, menghela nafas.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa."
"Senyum dong! Mai jangan sedih, Nai nggak suka!" Nairaline mengerut kening.
"Nggak suka?"
"Iya, nggak suka!"
Mairaline terkekeh, senang sekali rasanya saat Nai tidak suka Mai bersedih. Seperti Mama yang tidak suka Mai bersedih. Sangat mirip.
"Nai kayak Mama deh!"
"Mama?" Nai terpaku. "Beneran?" Bola matanya membesar mencondongkan wajah menatap Mai.
"Mmm… bener, Nai mirip sama Mama." Mai tersenyum menatap Nai yang masih tidak percaya.
"Masa? Apa-Nya yang mirip?" Nai mengerut kening.
"Ada."
"Apa Mai?!" Nairaline berseru tak sabar, mengguncang tangan Mairaline.
"Haha… Ada. Nai nggak perlu tahu!" Mai terkekeh melepaskan tangannya. Membuat Nai menggerutu, tanpa henti mengguncang tangan Mairaline.
Dari kaca spion. Uprit, supir kediaman Atmajaya itu tersenyum menatap gurauan kedua anak majikannya. Mereka bergurau bukan karena ingin setiap saat, hanya punya waktu seling saja.
Mai dan Nai bergandeng tangan, berjalan riang memasuki kelas. Kedua anak itu duduk di pojokan, masih asik bergurau satu sama lain. Sampai wali kelas mereka datang, Miss Carra.
"Ayo, ambil kertasnya satu-satu!" Carra memegang kotak berisi kertas yang sudah di lipatnya, dia menyuruh semua anak didiknya mengambil kertas di dalam kotak.
"Kertasnya buat apa Miss?" Si kecil Evan membolak balikan kertas di tangannya, niat hati ingin membuka lipatan kertas itu.
"Jangan dulu dibuka Evan. Biar Miss Carra jelaskan lebih dulu ya!" Cegah Carra, mengurungkan niat si kecil Evan.
"Nah, semuanya udah punya kertas masing-masing?"
"Udah Miss Cara."
"Di dalam kertas itu ada dua angka yang udah Miss tulis, nah kalo angka di kertas kalian sama kaya temen kalian itu yang akan jadi teman semeja kalian. Ngerti?"
"Ngerti, Miss Carra." / "Nggak, Miss Carra."
Carra menghela nafas menatap Evan, anak satu itu memang harus selalu diberi pengertian khusus, dari 26 muridnya yang lain.
"Begini Evan. Kalo di kertas Evan ada nomor 2 terus temen Evan Mai juga no 2 itu artinya kalian jadi teman satu meja. Dan pilih mejanya sesuai nomor yang di dapat ya. Sekarang ngerti?"
"Ngerti, Miss Carra. Tapi Mai itu bukan temen Evan, dia nggak bisa denger Miss Carra. Gimana kalo Evan mau nyontek dan Mai nggak denger panggilan Evan? Kan gak enak!"
Perkataan tak terduga dari Evan menyulut tawa beberapa anak di kelas, kecuali Mai. Dia hanya mampu menatap tawa anak lainnya dengan mata berkaca-kaca. Iya, Mai memang tuli.
Carra berjongkok, mensejajarkan wajahnya dengan Evan. "Mmm… Evan. Kita sesama manusia nggak boleh gitu. Tuhan menciptakan kita sama rata, buat saling menyayangi. Jadi Evan nggak boleh gitu. Mai itu spesial, jadi beda dari yang lain. Evan ngerti."
Evan mengangguk, benar-benar mendengarkan perkataan gurunya. Carra tersenyum, melepaskan kedua tangannya dari bahu Evan.
"Nah, sekarang kalian semua buka kertasnya sama-sama!"
Instruksi Cara membuat kelas seketika heboh saling menyamakan nomor di kertas mereka masing-masing.
Mairaline menunduk menautkan jari jarinya resah, enggan melihat Carra di depan sana menginteruksi apa yang harus mereka lakukan. Mai seperti hitam dari semua warna, dia seolah-olah menjadi zona mendung dari segala kecerian di dalam kelas. Bagaimana bila teman semeja nya nanti tidak mau semeja dengannya seperti Evan? Mai harus bagaimana?
"Miss Carra…!"
"Iya Ana."
"Ini Ana duduknya sama siapa?"
Perkataan Ana membuat Carra mengedarkan pandangannya. Hanya Ana, Mai, dan dua anak lainnya yang sekarang masih berdiri.
"Ana nomor berapa?"
"Lima."
"Kalo Dion sama Dewa nomor berapa?"
"Nomor kita sama Miss Carra. Sembilan." Dion dan Dewa segera memperlihatkan nomor milik mereka. Membuat Cara tersenyum menatap Mai yang masih menunduk.
"Nah, Ana duduknya berarti sama Mai."
"Mai duduk sama Ana, ya!" Carra dengan pelan melepaskan tautan jari jemari Mai yang bertaut resah. Membiarkan Ana mengambil alih tangan itu.
"Ayo Mai." Ana menarik tangan Mai yang masih menunduk.
Carra khawatir Mai mempunyai kekhawatiran yang berlebih atas semua yang tidak mendasar. Mairaline membutuhkan psikolog anak.
"Nah, sekarang kita lanjutin belajar yang kemarin, ya!" Carran
"Iya, Miss Cara!" Jawab anak- anak itu serempak.
Cara mengangguk, melanjutkan tugasnya kembali. Dengan semua anak yang sudah duduk dengan tenang. Termasuk Mairaline dengan teman semeja nya yang baru.
"Mai nggak mau semeja sama Ana?" Tanya Ana melihat Mai yang masih murung menatap lipatan kertas miliknya.
"Mau. Tapi Ana nggak keberatan satu meja sama Mai?" Ragu-ragu Mai menatap lawan bicaranya.
"Kenapa nggak Mau?"
"Mai nggak bisa denger!"
"Mai bisa denger kok, buktinya Mai nyaut omongan Ana!" Ana cekikikan tak jelas menatap wajah memelas Mai.
"Ana bilang Mai tuli?"
"Emang bener kok."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Malesta istara
kerenn, ttp semangat buat lanjutin ceritanyaa
2023-06-22
1