Maaf Untuk Nai

"Nai kesana dulu, ya?!" Nairaline beranjak dari duduknya, mengalihkan atensi teman-temannya. 

"Kemana?" Yura mengerut kening. 

"Nai mau samperin Mai, dulu. Yura sama temen-temen lanjut panggang marshmello lagi aja. Nanti Nai balik lagi, cuma sebentar kok!" Nairaline mengangguk, meyakinkan. Melenggang pergi dan mengabaikan dengusan acuh Yura. 

Dengan semangat dia berjalan, namun secara tiba-tiba kaki itu berhenti. Nairaline menatap sweater biru milik Mairaline dalam temaram api unggun. Rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya tatkala melihat saudaranya sendiri kedinginan dengan pakaian hangat yang Nai yakini tidak bisa menghalau dinginnya malam. 

Mairaline menunduk memeluk lutut saat dirasa pakaian hangat miliknya tidak bisa menghalau dinginnya malam. Senyuman kecil mengembang tatkala netranya tidak sengaja menatap saudaranya yang sekarang berjalan menghampirinya. 

Nairaline duduk di samping Mairaline ikut  bertekuk lutut, menatap saudaranya khawatir. "Mai kedinginan?" 

Mai menoleh. "Nggak!" Dia menarik lengan pakaiannya menutupi tangan. 

Diam-diam Nairaline melirik apa yang dilakukan Mairaline. Anak itu menarik sweater biru yang tengah dikenakannya seraya berkata. "Kalo gitu pakai ini lagi aja, Nai nggak dingin kok!" 

"Jangan, nanti Nai sakit. Nai pake aja, Mai nggak apa-apa!" Cegah Mairaline, menarik kembali sweater miliknya ke bawah menutupi tubuh Nairaline dengan sempurna. Tangannya sibuk membenarkan pakaian saudaranya, tanpa menyadari sedari tadi Nai terus menatapnya. 

"Kenapa?" Tatapan mereka bertemu. 

Nairaline malah tersenyum. "Nggak apa-apa. Makasih udah minjemin Nai sweater Mai!" Terharu, Mai tidak dapat menahan senyumannya. "Sama-sama." 

Masih dengan suasana hati yang sama mereka ikut menyanyikan lagu yang dinyanyikan anak-anak lain bersama pembimbing. Nairaline mengambil satu marshmello dan memegangnya seraya bersenandung. Pembicaraan dari anak di sampingnya yang tidak sengaja dia dengar membuatnya terpaku. 

"Nai, kenapa?" Khawatir Mai melihat Nairaline menatap kosong marshmello di tangannya. 

Gelagapan, Nairaline menatap Mai kemudian menatap api unggun di depan mereka. "Mm…!" Nairaline bergumam, tampak berpikir akan setiap kata yang akan diucapkannya.

"Nai kenapa?" Tanya Mai lagi. 

Nairaline menggeleng, malah menyodorkan marshmallow kepada Mairaline. "Nggak, apa-apa. Ini Nai panggang buat Mai, dimakan, ya!" 

Mai mengambil marshmallow di tangan  Nairaline. "Makasih!" 

Nairaline mengangguk. Mairaline masih terus menatap saudaranya lamat. Menerka apa yang sedang dipikirkan saudaranya. 

"Mai!" Nairaline menjilat bibirnya, tampak ragu. Menatap Mai kemudian kembali mengalihkan tatapannya, terus seperti itu. Hingga membuat Mairaline yang melihatnya menjadi resah. "Bilang aja, Nai mau sesuatu?" 

"Kenapa Mama pergi?" Mairaline membisu. Tenggorokannya tercekat, netranya menatap gamang wajah Nairaline di temaram malam. Tidak menyangka saudaranya akan mempertanyakan itu. 

"Mai!" Tatapan mereka bertemu, dalam keputus asa-an.

 "Nai pengen kayak temen-temen yang masih punya Mama. Nai pengen kayak Yura yang kebutuhan campnya disiapin sama Mami-nya. Kayak Ana yang dimasakin Bunda-nya. Nai pengen kayak mereka!" Nairaline berkaca, terlihat putus asa. 

Sakit, Mai bahkan tidak bisa menelan ludahnya sendiri. Dadanya kian sesak seiring detik berjalan. Mairaline tidak bisa menatap mata penuh kesedihan di depannya. Dia tidak bisa. 

"Maaf!" Kata itu terucap. 

Nairaline terpaku, bibirnya mengatup rapat. Kehilangan semua kata yang sudah berada di ujung lidahnya. Dalam temaram menatap saudaranya gamang. 

"Nai, ayo! Katanya kita suruh tidur sekarang, soalnya besok kita mau pendakian alam." 

Tiba-tiba Yura memanggil, menarik tangan Nairaline mengikutinya. Tidak peduli apakah kedua saudara itu masih berbicara. Pergi meninggalkan Mairaline seorang diri. 

Hembusan nafas terdengar, decakan lirih menemani suara dari hewan malam. Mai meremas kuat dadanya saat sesak tidak kunjung hilang. Bahkan tatapannya enggan menatap Ana yang sekarang terduduk di samping, entah dari kapan. 

"Mai, kenapa?" Tatap Ana khawatir, memegang pundak Mairaline. 

"Nggak apa-apa Ana, Mai baik-baik aja. Ana dari kapan disini?" Mairaline mencoba tersenyum. 

"Barusan. Ayo, kita dipanggil sama Miss Carra!" Ana menarik tangan Mairaline berjalan bersisian, sesekali melirik Mai dari ekor matanya. Merasa Mai tidak terlalu berminat membuka mulut, Ana kembali berbicara. 

"Kita disuruh tidur. Padahal Ana masih mau bakar marshmello lagi, loh!" Ana mencebik. Mai tersenyum tipis sekedar menanggapi. "Mai beneran nggak apa-apa?" Tanya Ana memastikan.

Mai menatap pupil Ana. "Beneran. Mai nggak apa-apa." Mai menggeleng, dan Ana lagi-lagi masih ingin bertanya. "Terus, Mai ngapain duduk sendirian di sana? Nggak takut?" 

"Nggak." Lagi, gelengan pelan Mairaline berikan. 

Ana mengurungkan niat hendak berbicara saat Carra terlebih dulu berbicara di depan mereka. Masih tidak fokus, sesekali melirik Mairaline dari ekor matanya yang tampak fokus menatap guru di depan mereka. 

"Langsung tidur, ya! Miss Carra baru pergi kalau kalian semua udah tidur!" Itu yang dapat Ana ingat dalam kepalanya selama Carra berbicara. Melihat guru muda itu sibuk berkeliling memeriksa mereka, membuat Ana lebih leluasa mengikuti Mairaline dimulai dari masuk ke tenda mereka sampai persiapan tidurnya, tidak sekalipun Ana berpaling. Mai mengambil kaos kaki baru dan memakainya, Ana juga melakukan hal yang sama. Akibat terlalu fokus, Ana sampai lupa memakai kaos kaki sebelah kiri miliknya saat Mairaline merebahkan dirinya di atas tikar berbusa. Cepat-cepat Ana menyelesaikan kegiatannya dan ikut merebahkan diri di samping Mairaline. Mengesampingkan badannya menatap Mai. 

"Mai, udah ngantuk?" Bisik Ana seraya melirik Carra yang tengah sibuk dengan salah satu teman mereka. Takut guru itu melihatnya. 

"Iya." Jawab pelan Mairaline. 

Ana terdiam, menatap langit-langit tenda. Beberapa menit berlalu, dia kembali menatap Mairaline lagi saat merasa kantuk tidak kunjung datang. 

"Mai, udah tidur? Bisik Ana. Menarik selimut menutupi tangan Mairaline. "Mai nggak kedinginan?" 

"Ana…!" Bisikan Ana kali ini mendapat teguran dari Carra. Ana tidak tahu jika wali kelasnya masih belum keluar. 

"Yang lain udah pada tidur loh!" Ana memperlihatkan deretan giginya, menarik selimut sampai bawah dagunya. "Iya, Miss. Ana tidur!" 

Carra menarik nafas, menatap anak didiknya. Saat merasa semua sudah tertidur, Carra menutup pintu tenda, tanpa tahu jika masih ada satu anak yang belum tertidur.

Dia Mairaline, anak itu menangis dalam tamaram malam. Mairaline meremas dadanya, semakin ingatannya berputar mengingat perkataan saudaranya, semakin kencang pula denyutan di dadanya. Mai ingin lupa, dia ingin abai tapi rasanya sulit sekali?

Semua memang salahnya, salah Mai yang terlahir tuli. Salah Mai karena membuat saudaranya tidak lagi merasakan kasih sayang seorang Ibu. Bagaimana bisa Mai mengatakan kepada Nairaline bahwa Mai penyebab utama Mama mereka pergi? 

"Maaf." Mairaline membekap mulut menahan isak tangis. Hatinya benar-benar sakit sekali.

7 September 2019,

Malam itu Mai bener-bener takut. Karena kepergian Mama adalah karena anak tuli seperti Mai. Maaf, karena Mai, Nai tidak lagi merasakan kasih sayang Mama. Maaf... Tolong, jangan benci Mai.

Terpopuler

Comments

Fenti

Fenti

beruntung mai punya sahabat seperti ana

2023-09-16

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!