Seperti sepasang Sepatu

Nairaline menatap hampa makanan di depannya. Gadis kecil itu sama sekali tidak membuka suara sejak mereka pulang. Mai tidak tahu apa penyebab Nai menjadi pendiam seperti itu. 

Setelah pertengkarannya dengan Ana, Nai menjadi lebih pendiam. Saudaranya sama sekali tidak membalas perkataan Ana. Mai takut Nai sakit. 

"Nai, kenapa?" 

"Nai, sakit?" Tanya Mai lagi. Menatap Nai cukup lama sampai akhirnya Nai membuka suaranya. 

"Nai nggak apa-apa." Nairaline menatap Mai kemudian menggeleng. Gadis kecil itu kembali mengaduk-ngaduk makanannya tidak selera. Ada sesuatu yang mengganggu hatinya. 

"Terus Nai kenapa diem?" 

"Nai nggak suka sama Ana." Nairaline menatap Mairaline dengan mata berkaca-kaca. 

Ditengah hening meja makan itu terdengar tangisan Nairaline. Membuat  Mai gelagapan dibuatnya, bila Erald ada Mai tidak akan selamat dari Papa-Nya. 

" Hikss… Nai nggak suka sama Ana!" 

Mai mengeriyat mendengar perkataan Nai. Dia kebingungan, apalagi setelah mendengar perkataan ambigu dari Nairaline selanjutnya. 

"Mai pokoknya jangan main sama Ana lagi. Main sama Nai aja, jangan sama Ana!"

"Kenapa Mai nggak boleh main sama Ana?" 

"Nai nggak suka sama Ana. Ana jahat!"

"Nggak. Ana baik!" Sangkal Mai tidak terima. Ana adalah teman kelas mereka yang paling baik kepadanya. Tentunya pernyataan saudaranya sangat tidak mendasar dalam kewarasan Mairaline. 

"Sama Mai doang, sama Nai nggak!" Nairaline melipat tangan dengan tukik-kan alisnya. 

Mairaline menghela nafas, menatap saudara kembarnya gundah. Teman-teman yang lain juga hanya baik kepada Nai saja. Hanya Ana yang mau berteman dengan anak tuli seperti dirinya. 

"Tapi nanti Mai main sama siapa kalau nggak sama Ana?" Lirih Mai. 

"Sama Nai aja!" Ucap Nairaline pelan, menatap manik saudaranya. 

"Tapi, Nai bilang nggak papa kalau Mai temenan sama Ana kemarin." Protes Mai merasa tidak terima. Pasalnya kemarin Nai baru saja mengatakan dia boleh bermain dengan Ana. 

"Jangan…!" 

"Kenapa? Mai juga mau punya temen kayak Ana." Protes Mai lagi. 

"Nai bilang jangan. Mai sama Nai aja!" Ngotot Nai. 

"Kalau gitu, Nai juga jangan temenan sama Yura!" Putus Mai pinal. 

"Nggak, mau!" Tolak Nai mentah-mentah. Menatap saudaranya tidak suka.

"Kenapa? Kan Yura juga nggak suka sama Mai" Mai mengeriyat. 

"Nggak mau! Nai mau punya temen banyak."

"Iya, Mai juga mau punya temen banyak sama kayak Nai. Mai pengen sama kayak, Nai!" Ucapan putus asa dari Mairaline mengakhiri pembicaraan mereka. 

Nairaline, anak itu menatap pupil saudaranya lamat-lamat. Mereka saling menatap hingga beberapa detik lamanya. Sampai Nai lebih dulu memutuskan pandangan, tanpa kata gadis kecil itu memilih turun meninggalkan saudara kembarnya seorang diri meja makan, menatap hampa kepergiannya.

Mai dalam kesunyian terdiam, menatap makanan yang masih penuh di piringnya. Helaan nafas terdengar. Tanpa memiliki selera lagi Mai beranjak pergi. Saat hendak berjalan melewati kamar Nairaline, dia terdiam. Mai menatap dalam saudaranya yang tengah tertelungkup di atas kasur dari celah-celah pintu yang tidak tertutup rapat. Tangisan itu hendak keluar, anak itu tidak ingin hubungannya dan saudaranya seperti ini. 

Saat Nai menyadari seseorang terdiam di depan kamarnya. Mairaline sudah lebih dulu melangkah pergi dari sana. 

Hari itu, kedua anak kembar saling mengurung diri di kamar mereka masing-masing. Mai merenung seraya menatap foto keluarga kecilnya di atas nakas. 

"Mama, rindu Mai nggak?" Mairaline menelan ludah, Jari jemari jecilnya mengusap foto Relin. "Kalau Mai_ Mai rindu sama Mama." Lanjut Mai lirih. 

"Mama tahu nggak? Di sekolah Mai punya temen, namanya Ana. Dia baik sama Mai, tapi Nai nggak suka sama Ana." Mairakine menggigit bibi saat di rasa tengorokannya tercekat. Lelehan air mata itu tumpah bersama dengan suara tangisnya. Foto ditanganya anak itu dekap erat-erat. 

"Mai harus gimana, Mama?" Pertanyaan pelan tanpa jawaban itu menghilang di dalam kamar bersama isakan tangis dari Mairaline Atmajaya.

"Mbak Marni, Mai kemana?" Nairaline menatap kosong kursi di depannya saat tidak mendapati Mairaline duduk di sana. 

"Non Mai, masih di atas Non." 

"Mai,_nggak makan?" Pertanyaan ragu disertai rasa khawatir itu memenuhi wajah Nairaline. Sesekali melirik anakan tangga. 

"Nggak, Non." 

Nairaline mengangguk pelan. Dalam ketidak seleraan anak itu memakan pelan makanan di depannya. Kesendirian menyelimutinya, Nairaline terpaku atas hening yang tercipta. Beginikah rasanya sendiri? Pertanyaan itu mau tidak mau di pertanyakan hatinya. 

Setelah merenung cukup lama, Nai pada akhirnya tahu apa kesalahannya. Kemarin  Nai berjanji Mai boleh bermain dengan Ana. Dan seperti kata Mama yang tidak boleh mengingkari janji, Nai juga tidak boleh mengingkari janjinya kepada Mai untuk bermain dengan Ana. Karena dia sendiri juga bermain bersama Yura yang tidak menyukai saudaranya. 

"Non, makanannya nggak dihabisin?" Tanya Marni tatkala anak majikannya hendak beranjak pergi. 

Nairaline menatap piring yang masih tersisa makanan bekasnya. "Nggak, Nai kenyang. Nai ke atas dulu, Mbak!" 

Anak itu beranjak pergi, Nairaline berjalan pelan menyusuri pintu-pintu di kediaman Atmajaya. Langkah kaki nya berhenti di depan pintu kamar bertuliskan Mairaline Atmajaya. 

Tarikan nafas terdengar, Nai mengepalkan tangan. 

Tok… tok… tok…!

Ketukan pelan pada permukaan kayu jati itu terdengar ke dalam.  Hening menyapa, tidak ada jawaban dari saudaranya. Ragu, Nairaline menempelkan bibir pada knop pintu.

"Mai. Nai minta maaf!" Suara yang terdengar seperti cicitan itu sampai pada Mairaline. Dan kini terdengar kembali berapi-api saat nama Ana terucap.  

"Nai salah. Mai boleh kok temenan sama Ana. Tapi jangan sering-sering ya, Nai nggak suka. Ana jahat soalnya…!" Nairaline bersungut-sungut. Anak itu belum meredam rasa tidak suka di hati-Nya. 

Clekk… 

"Beneran boleh?" Mai mendongakan kepalanya melewati pintu. Membuat Nai terjingjit kaget saat pintu terbuka tepat di depan wajah-Nya. 

"Hehe… Maaf, ya!" Kekeh Mai membuka lebar pintu kamarnya membiarkan Nai leluasa masuk. 

"Nggak apa-apa." Cengir Nairaline berjalan masuk. 

"Mm… maafin Nai, ya!" Lanjut Nairaline bergerak gelisah. 

"Nggak apa-apa. Nai jangan gitu lagi, ya. Ana itu baik nggak jahat, Mai mau temenan sama Ana." Mai menatap lamat Nairaline. Kedua saudara kembar itu sedang dalam pembicaraan serius. 

"Iya, Nai tahu. Maafin Nai!" Nairaline berkaca-kaca. 

"Maafin Mai juga!" Balas Mauraline memeluk tubuh saudaranya. 

"Mai, nggak mau bertengkar lagi sama Nai kayak tadi!" Lanjut Mairaline seraya menatap dalam foto keluarga kecil mereka di dinding kamar. 

"Nai, juga nggak mau!" Cicit Nairaline mengeratkan pelukannya. 

Mereka berdua memeluk erat. Demi apapun mereka adalah takdir yang dipersatukan tanpa melihat begitu kejamnya dunia. Seperti sepasang sepatu dengan dengan sisi berbeda namun saling mengerti dan melengkapi.

Bahwa Mairaline dan Nairaline harus memahami bukan sekedar hanya tahu arti dari sebuah kehidupan yang sqelama ini diberitahu Relin tentang begitu kejamnya dunia di luar sana. Tanpa tahu hal yang paling indah dan membahagiakan akan menjadi hal yang paling menakutkan dari segala perkara mengenai kejamnya dunia. Keluarga. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!