Kemarahan Erald

19:30 WIB

Hari ini masih sama, hari di mana Mbok Minah dan Uprit pergi menemani Mai mengunjungi peristirahatan terakhir Relin.

Senyuman lebar Mai bertahan sampai berjam-jam setelah mereka mengunjungi peristirahatan Relin, meski sisa-sisa air mata masih tampak begitu jelas terpangpang dalam wajah cantik itu. 

Mbok Minah dan beberapa pelayan lainnya tersenyum haru melihat senyuman anak majikan mereka, Mairaline. Sudah satu tahun lamanya senyuman itu kini kembali lagi. 

"Non jangan lupa minum susu nya sebelum tidur!" 

"Iya Mbok." 

Mai dengan cepat menegak habis susu yang disodorkan Mbok Minah, senyuman lebar miliknya sama sekali tidak luput dari mata tua Mbok Minah. Semoga saja senyuman itu bertahan lama. Ya, semoga saja.

"Mbok!" 

"Iya Non."

"Kapan-kapan kita berkunjung ke tempat Mama lagi ya Mbok?" 

Mai menatap penuh harap wajah tua Mbok Minah, tanpa tahu di belakang pintu Erald tengah mengepalkan tangannya, sampai buku jarinya memutih menahan marah.

Jika saja dia tidak ke ruang kerja dan melewati kamar Mairaline mungkin Erald tidak akan pernah mendengar hal mengejutkan itu. Berani sekali anak yang menyebabkan kematian istrinya mengunjungi peristirahatan terakhir Relin.

Erald benar-benar diliputi amarah yang tidak berdasar.

Cklek..

"Papa!" Mata caramel Mai membola menatap takut Erald di pintu kamar. 

"Mbok!" 

Suara dingin Erald begitu menakutkan di telinga Mbok Minah, tubuh gempal itu mau tak mau bergetar di bawah tatapan sang majikan.

"Ma_maaf Tuan. Non_na hanya berkunjung sebentar!" Cicit Mbok Minah menggigil takut membawa tubuh kecil Mai dibalik tubuh gempalnya.

"Keluar!" 

"Tuan_" 

"Saya bilang KELUAR…!" Erald berteriak marah. Mai bergetar ketakutan mendengar kemarahan Papa nya. Mengeratkan pelukannya kepada Mbok Minah, memohon agar Mbok Minah tidak menuruti ucapan Erald.

Kesabaran Erald habis, dengan tarikan kuat pria itu menarik tangan putrinya kuat.

Mai memberontak dengan tak berdaya, memohon belas kasih dari pria di depannya. Mbok Minah menggeleng menatap anak majikannya sesal, tidak ada yang bisa dirinya lakukan selain menuruti kemauan majikannya. Dia tidak berdaya.

"Papa, maaf. Mai salah!" Mai mengepalkan tangan menahan tangis, matanya menatap takut Erald.

"Sudah saya bilang, jangan berkunjung ke tempat peristirahatan istri ku! Dia pergi karena kamu anak sialan!" 

Erald berdesis penuh penekanan, tatapan bencinya lagi dan lagi dia layangkan. Tanpa peduli hati putri kecilnya sakit, tanpa peduli dengan air mata yang sudah tumpah membasahi kedua pipi Mai. 

"Maaf Papa." 

Tenggorokan Mai tercekat, dia hanya bisa meminta maaf. Saat seperti ini Mai berharap alat pendengar nya rusak sehingga tak pernah mendengar kemarahan Papa nya. 

"Jangan meminta maaf anak SIALAN... Maaf mu tidak akan pernah mengembalikan istriku!!" Erald berdesis, tangan nya mengepal penuh amarah. Rahangnya mengerat, giginya bergemulutuk menatap Mai benci. Erald benar-benar membenci putrinya. Putri yang dulu begitu dia sayangi setelah Relin.

Mai menunduk semakin takut, jari jemarinya bertautan, tubuh kecilnya semakin bergetar. Mai benar-benar takut kepada Papa. Kenapa Papa jadi begitu menakutkan, Mama?

"Mama Mai takut." 

Erald mematung, ditatapnya dalam-dalam manik putrinya. Tanpa berkata pria itu menyeret paksa tubuh kecil putrinya. Tangan besar itu seoalah-olah dapat mematahkan tulang belulang kecil putrinya. Dengan tidak berperasaan Erald mendorong Mai, membuat tubuh kecil itu terjerembab di bawah shower. Tubuh Mai kini basah di bawah dinginnya air. Erald sama sekali tidak peduli dengan apa yang dia lakukan. Pikirannya kalut, hatinya sakit berkali-kali sakit saat putrinya menangis dengan manik yang sama persis seperti Relin.

"Papa dingin. Papa maaf, uhuk_uhuk Mai janji hiks Uhuk_" 

Tangis Mai menjadi, menatap Erald penuh permohonan. Satu yang ia yakini, seperti perkataan Mbok Minah bahwa Papa nya sedang marah dan akan kembali membaik. Keyakinan yang hanya akan membawa angan semata baginya.

"DIAM...! karena kamu istri ku pergi. Jika saja kamu tidak tuli, jika saja kamu terlahir dengan sempurna. Istriku masih hidup sekarang!" Nafas Erald memburu. Tatapan dua orang itu sama-sama terluka.

"Dan kerena ini aku harus kehilangan istriku!"

"Aaa…. Papa sakit!" 

Erald menarik paksa alat pendengar di telinga Mairaline. Tidak peduli seberapa keras tangisan putrinya, tidak peduli sebanyak apa luka yang ditorehkan olehnya.

Dilemparkannya alat pendengar milik Mai. Tanpa mau melihat seberapa menderitanya putri kecilnya. Erald berbalik mengunci pintu kamar mandi, membiarkan tubuh itu mati kedinginan.

Mai tergugu, tidak ada lagi suara air dari shower, tidak ada lagi kebisingan berarti di telinganya. Tangan kecilnya menggenggam erat alat pendengar itu dengan tumpahan tangisnya yang semakin keras. Sekarang Mai tahu, tidak akan ada yang mau dengan anak tidak sempurna seperti dirinya. Dan kepergian Ibunya adalah karenanya, semua terjadi karena dirinya tidak sempurna.

"Non, jangan nangis. Tunggu sebentar, Mimin lagi cari kuncinya!"

Panik, Mbok Minah mencoba mendobrak pintu kamar mandi dengan tubuh gempalnya. Mendengar tangisan anak majikannya membuat wanita tua itu diliputi rasa khawatir.

Ucapan penenangnya menjadi angin lalu ditengah-tenah tangisan Mairaline. Melihat Mimin membawa kunci cadangan, tanpa menunggu lagi Mbok Minah membuka pintu itu.

Cklek...

"Non, maafin Mbok…!" Tenggorokan Mbok Minah tercekat melihat betapa mengenaskannya anak majikannya. Air mata wanita paruh baya itu tidak dapat dibendung, meluncur tanpa tahu malu. Direngkuhnya tubuh kecil itu, mereka diam tanpa bisa berkata-kata lagi.

Malam semakin larut, suara bising binatang terdengar di mana-mana. Hanya satu kamar yang tak terganggu dengan semua kebisingan itu. Mairaline, tubuh kecil itu terlunglai lemah, mata karamelnya terpejam. Tidur nya sama sekali tidak terlihat nyenyak, alis terukir itu menyatu, bibir nya tanpa henti memanggil.

"Mama!"

"Badan nya makin panas Mbok, keringat terus keluar dari tubuh Nona!" Mimin menatap khawatir tubuh Mai yang tanpa henti menggigil mengeluarkan keringat dingin.

"Ambil baju ganti lagi Min! Baju Nona tidak boleh basah." 

Mbok Minah berucap tenang, berbeda dengan hati yang penuh rasa gundah tak menentu.  Tangannya tak berhenti mengganti kompresan di dahi anak majikannya. Betapa sakitnya saat bibir kecil pucat itu terus memanggil Ibu nya yang sudah lama pergi.  

"Non, ada Mimin dan Mbok di sini!" 

Mbok Minah menggenggam erat jari jemari Mairaline. Kadua pelayan itu sepanjang malam terjaga di kamar Mairaline. Menemani anak malang itu.

Ke esokan harinya Mai terdiam, hidupnya hampa tak bergairah. Wajahnya pucat seputih mayat, tatapannya sendu. Dia ingin bertemu dengan Mamanya. Mai ingin meminta maaf, karena nya Mamanya harus pergi untuk selamanya. Papa nya memang benar, Mai yang membuat sang Mama pergi meninggalkan mereka semua. 

"Non makan dulu yuk!" 

Mbok Minah mengusap sayang kepala anak majikannya. Pelan-pelan dia memasangkan alat pendengaran yang untungnya masih bisa diperbaiki. Membuat suara bising kini terdengar di kedua telinga kecil Mai. Mengapa Tuhan memberi cobaan begitu berat kepada anak majikannya.  

"Mbok, Mai mau pergi sama Mama." Mai memelas menatap Mbok Minah. 

Tenaganya hilang, tubuhnya lemas tanpa tulang, untuk duduk saja rasanya anak kecil itu harus mengeluarkan semua tenaga. Badannya panas mengeluarkan keringat dingin tanpa henti.

Erald tahu tubuh putri kecilnya Mairaline tidak akan pernah mampu menghalau udara dingin. Tubuh kecil itu terlalu rapuh, jika saja Relin ada tubuh kecil itu sudah ada dalam dekapan hangatnya. 

Mbok Minah terisak pelan, air mata turun membasahi pipi keriputnya. Tidak ada yang perlu disalahkan atas semua yang terjadi. Mbok Minah tahu betapa besar Tuan nya mencintai Nyoya nya, Tuan nya saat ini hanya dalam kubangan duka dengan Mairaline putri kecil nya yang sayang nya menjadi pelampiasan emosi Erald. Semua ini hanya tentang tulisan takdir yang terlalu kejam. 

"Kenapa mau pergi sama Nyonya, Non? Non disini aja sama Mbok. Kalo tahu Non sedih, Nyonya juga pasti sedih di atas sana." 

"Mama bakalan sedih?" 

"Iya, Nyonya bakalan sedih." 

"Tapi Mai yang udah bikin Mama pergi Mbok." 

Lelehan air mata lagi-lagi keluar saat mengingat perkataan Papa nya. Sakit di hati Mai masih bertahan sampai sekarang. Dia membenci kenyataan bahwa dia terlahir tuli. 

Mbok Minah tak mampu berkata-kata lagi selama beberapa menit. Membiarkan anak majikannya menangis dengan penuh rasa sesak di dada. 

"Non, semua itu sudah ada takdirnya. Kepergian Nyonya bukan salah Non, Tuhan lebih sayang sama Nyonya." 

"Kalo gitu Tuhan nggak sayang sama Mai?"

"Tuhan juga sayang sama Non, tapi Tuhan lebih sayang sama Nyonya. Tuhan sudah rindu sama Nyonya, makanya Tuhan mengambil Nyonya." 

" Tapi Mai juga rindu sama Mama, Mbok!" Tangisan lemah Mai terdengar, di balik pintu Erald terdiam, berjalan acuh melewati pintu kamar Mairaline. Mengabaikan denyutan resah di dalam hatinya.

"Non harus tegar ya. Nanti Nyonya sedih, Non sayang kan sama nyonya?"

"Iya, Mai sayang Mama." 

"Kalo Non sayang, Non harus senyum, harus semangat belajar biar Nyonya nanti bangga sama Non." 

Mairaline mengangguk, tangan kecil itu mengusap air matanya sendiri. Senyuman kini terparti di wajah kecilnya. Harapan baru tumbuh, keyakinan akan sebuah kebahagian kini ada di genggaman tangan kecilnya. 

"Mana obat Mai? Mai mau sembuh Mbok!" 

"Non harus makan dulu. Setelah itu minum obatnya biar Non bisa sembuh dan bisa masuk sekolah." 

"Masuk sekolah! 

Tatapan Mai berbinar-binar menatap senyuman lebar Mbok Minah. "Iya. Non mau kan sekolah?"

"Mai mau sekolah Mbok."

Saat itu Mbok Minah berdoa, semoga anak majikannya Mairaline tidak pernah memendam sebuah kebencian kepada Erald. Karena hidup dalam kebencian seperti hidup dalam lorong gelap tanpa cahaya.

Pagi itu Nai sibuk mencari saudara kembarnya tanpa tahu saudaranya tengah sakit akibat Erald, Papa mereka. Miris, ikatan persaudaraan yang sangat kuat nyatanya tidak pernah sekuat itu. Nairaline terlalu buta untuk melihat semuanya.

"Papa…!"

"Ada apa teriak-teriak Nai?" 

Nai menghampiri Erald yang tengah membaca koran pagi. Kebiasaan baru Erald setelah kepergian Relin, membaca koran sebelum berangkat kerja. 

"Papa lihat Mai?" Tanya Nai membuat wajah tampan Erald mengeras. "Papa tidak melihatnya. Lebih baik Nai bermain saja di taman bersama Marni!" 

"Nggak. Nai mau main sama Mai!" kukuh Nai keras kepala, persis seperti Relin. 

"Papa bilang jangan. Nurut sama Papa!"

"Kenapa? Nai cuma mau main sama Mai, aja!"

Erald menghela nafas, jika Nai adalah duplikat dirinya secara fisik dan duplikat Relin secara sifat, maka Mai adalah kebalikannya.

Terpopuler

Comments

Fenti

Fenti

kasian mai🤧🤧

2023-07-30

1

Fenti

Fenti

Astaga, sampai kapan membenci anak kandung sendiri😥😥

2023-07-30

1

mom mimu

mom mimu

mampir lagi bawa setangkai 🌹 semangat terus 💪🏻💪🏻💪🏻

2023-07-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!