Sakit Untuk Bahagia

"Mai sakit ya?" Nai menatap wajah pucat saudara kembarnya. Anak itu bahkan tidak bisa menutupi rasa cemas di wajahnya tatkala saudaranya menghela nafas berat. 

Mairaline, gadis kecil itu semalaman hanya menangis menamani sunyi nya malam. Malam saat satu keluarga kecil itu sama-sama terluka. Membuat pagi nya dihiasi dengan lingkar hitam dibawah matanya, dan wajah pucat akibat tidak sempat sarapan. 

Tidak mendapat sahutan sejenak Nairaline terdiam, ikut meletakan kepalanya di meja seperti Mairaline dan menatap wajah saudaranya lamat-lamat. 

"Mai belum makan?" Pertanyaan pelan itu keluar. 

"Nggak." Geleng Mai membuka kelopak matanya, memperlihatkan pupil caramel miliknya. Menatap saudaranya yang tengah merogoh saku rok. 

"Kalo gitu nih uang dari Papa buat jajan!" Nai menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. 

Mairaline menatap lembaran uang sodoran Nairaline. Kemudian mengambilnya. "Makasih, Nai!" 

Nairaline tersenyum. "Sama-sama!" 

"Tapi, Nai heran deh?!" 

"Kenapa?" 

"Mai setiap hari lupa minta uang jajan dari Papa!" 

Hatinya mencelos, bibir kecil itu tersenyum sekedar menanggapi ucapan Nai. Jangankan meminta uang jajan, rasanya berdiri di dekat Papa nya saja sudah membuat Mai takut tiada tara.  

Menyadari perkataannya tidak ditanggapi begitu baik oleh saudaranya, Nairaline berkata. "Kalo Mai lupa nggak apa-apa kok. Kan ada Nai yang ambilin buat Mai, ya kan?" 

Mairaline memperlihatkan deretan giginya  membalas senyuman Nairaline. "Iya. Sekali lagi makasih Nai!" 

"Mai! Ikut Nai ke kantin, yu!" Ajak Nairaline. 

"Nggak. Nai aja!"

"Kenapa, bel nya udah lama bunyi loh?" Nairaline mengerut kening menatap saudaranya lamat. 

Mairaline menggeleng seraya mengedarkan pandangannya menatap kelas yang kosong. 

"Mai di sini aja!" Putus Mai. 

Nairaline menarik tangan saudaranya sampai Mairaline ikut berdiri. "Ayo Mai! Lagian Mai belum pernah ke kantin sama Nai." Bujuk nya menarik tangan Mairaline. 

Mairaline memberontak, dan meski menerima penolakan dari saudaranya Nairaline tanpa berputus asa menarik tangan Mai agar mengikutinya ke kantin sekolah. 

"Jangan. Mai nggak mau!" Geleng Mairaline berusaha melepaskan cekalan tangan Nai. 

"Nggak apa-apa. Ayo!" Ucap Nairaline bersikukuh, karena menurutnya semua akan baik-baik saja.

Dan pada akhirnya Mairaline memilih mengalah, mengikuti langkah kaki dari saudaranya. Sesekali anak itu juga membenarkan alat pendengar miliknya tatkala mereka berpapasan dengan beberapa orang. 

Pupil caramel itu membola, segera bising riuh yang tidak pernah Mairaline alami lagi kini terdengar saat pandangan matanya mengedar menatap ramainya kantin sekolah. Degup jantung yang semakin berpacu membuat permukaan telapak tangannya basah dengan keringat. Mairaline menelan ludah bersamaan dengan rasa resah yang semakin merambat ke dalam hatinya.

"Ayo Mai. Kita duduk di sana!" Nairaline berjalan dengan tangan yang masih menarik Mairaline.

Bisik-bisik dari teman kelasnya terdengar tatkala Mai duduk disebelah Nairaline. Lagi-lagi mengenai telinganya yang tuli.

"Nai, ngapain ajak Mai?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari anak bernama Yura. Membuat mereka yang telah kembali memakan makananya menatap Mairaline lagi.

"Nggak apa-apa Yura. Mai kan saudara Nai!" Balas Nairaline sangsi. 

Yura dibuat terdiam, menatap Mairaline kemudian mendengus acuh dan kembali melanjutkan sesi makannya. Sesekali anak itu melirik Mairaline tidak suka. 

"Mai mau makan apa?" Tanya Nai seperti tidak pernah terjadi apa-apa. 

"Apa aja, samain kaya Nai." Jawaban itu membuat Nairaline mangangguk memesan makanan dengan dua porsi yang sama. 

"Jadi sekarang Mai ikut makan?" 

Seorang anak berkuncir dua yang diketahui bernama Ana mengalihkan penuh atensinya kepada Mai. Membuat Mai bergerak gelisah dalam duduknya. 

Nairaline menatap Mai, merasa saudaranya enggan menjawab dia berinisiatif menjawabnya untuk Mai. 

"Iya. Tadi pagi Mai belum sarapan." 

Jawab Nairaline, hal itu membuat Ana mendengus tidak suka. Kemudian mengalihkan tatapannya kepada Mai dengan wajah lembut. 

"Kenapa Mai nggak sarapan?" Kali ini Ana mencoba tidak menghiraukan Nairaline lagi. 

"Mai kesiangan."

Lagi-lagi Nairaline menjawab pertanyaan Ana. Membuat gadis kecil berkuncir dua itu mendelik. "Ana-kan nanya sama Mai. Bukan sama Nai!" Seruan Ana membuat beberapa teman mereka menatap mereka bertiga.

"Tapi, Mai juga nggak keberatan kalau Nai yang jawab." Ngotot Nairaline tidak terima. 

Ana mendelik. Kedua anak itu saling menatap tidak suka. Mai sendiri hanya bisa menatap keduanya tanpa bisa berbuat apa-apa. 

Bel pulang dengan cepat berbunyi, Mai selalu mendapat giliran terakhir saat berpamitan dengan Miss Carra, mungkin sekarang sudah menjadi kebiasaannya ikut berbaris saat semua temannya sudah berbaris. Salah satu bentuk kepedulian Mai tanpa gadis kecil itu sadari. 

"Mai, mau permen? Kebetulan tadi Miss Carra beli permen kebanyakan." 

Mai menatap wajah cantik dan permen di tangan Carra bergantian, "Beneran buat Mai?" Pertanyaan ragu itu keluar dari bibi Mairaline. Menatap sanksi permen lolipop di depannya. 

"Iya buat Mai. Sekarang Mai kan temen Miss Carra!" Carra mengacak gemas puncak kepala Mai. 

"Hehe.. iya. Mai lupa Miss Carra temen Mai!" Kekeh Mai memperlihatkan barisan gigi kecilnya, senang rasanya mendapat sesuatu dari seorang teman.

"Mai, mau…?!" 

Ucap Carra tertahan saat sebuah suara menginterupsi perkataannya. Seorang Ayah dari kedua anak didiknya.  

"Lelet. Cepat masuk!" Suara tegas Erald membuat Mai menegakan punggung, bergerak gesit menghampiri Erald sebelum berpamitan dengan Carra. 

"Miss. Mai duluan,ya!" 

Carra hanya mengangguk, pupilnya terpaku melihat bagaimana tidak pedulinya pria itu berjalan bersama Nai yang melambai-lambai kepada saudaranya agar lebih cepat. 

Senyuman senang sama sekali tidak surut dari bibir kecil Mairaline. Kaki itu berjalan riang di belakang Erald dan Nai yang saling bergandeng tangan. Hatinya buta, tidak peduli Papa nya berjalan meninggalkannya.   Mairaline hanya peduli bisa pulang bersama Erald mengabaikan segala sakit yang ada hanya demi sedikit kebahagian. 

"Mai, nanti bikin PR-nya sama-sama ya? Jangan lupa!" Nai memutar kepala melihat Mai di belakang. 

"I__" 

"Sama Papa, aja." Cegat Erald membuat Mai hanya bisa menelan ludah menatap pria itu takut. 

"Nggak mau Papa. Izinin sekali saja, Nai nggak main, cuma belajar." Rengek Nai. 

"Diem Nai! Papa pusing, banyak kerjaan di kantor." Sentak Erald, memijat kening. 

"Iya Pa. Makannya Papa izinin Nai!" 

"Terserah!" Ketus Erald. 

Nai menatap Mai yang tengah menatap Papa mereka khawatir. "Pa, kalau Papa pusing minum obat." Ucap Nairaline membuat Mairaline tersenyum dibuatnya. 

Erald mengangguk, mengelus sayang puncak kepala Nai. Sebelum mobil milik nya Erald berhenti di pekarangan rumah. Pria itu masuk setelah membuka pintu untuk Nai. Dia mampir hanya untuk mengambil berkas keperluan rapat. 

"Nai nanti Mai ke kamar Nai, ya!" 

"Jangan lama-lama Mai!" 

Mai mengangguk kemudian berlalu pergi ke dapur. Ada sesuatu yang harus Mai lakukan.

"Mbak!" 

"Non, mau makan?" 

"Nggak. Mai mau Mbak bikinin bekel sama kasih obat pusing buat Papa." 

"Tuan?" 

"Iya Mbak. Cepetan!" Mairaline menatap pekerja rumahnya kesal. Papa bisa pergi sebelum bekalnya siap. Mai tidak mau Papa sakit saat bekerja. 

"Iya, Non." 

"Mbak, nanti bilang aja bekalnya dari Nai!"

"Loh, kenapa Non?" 

Perkataan Mairaline membuat Mimin menatap anak majikan nya tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Bagaimana bisa dia membuat nama baik untuk orang lain?

"Hehe… Soalnya kalau bekalnya dari Mai. Mai takut Papa nggak terima bekalnya."

Terpopuler

Comments

Allaric Rudi Syahputra

Allaric Rudi Syahputra

nyesek Thor,baik banget sich kamu Mai.
tetep semangat up Thor,aq padamu 🥰🥰

2023-10-02

1

Fenti

Fenti

kasian😭

2023-07-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!