Goresan Hati

"Sekarang Nai sama Ana baikan, ya!" Carra menari tangan Nai dan Ana, menyatukan kedua tangan anak itu. 

Mereka saling menjabat tangan, hanya sebentar dan setelahnya keduanya saling menghempaskan tangan. Menatap tidak suka satu sama lain. 

"Udah ya, sekarang mana surat yang Miss kasih kemarin. Nggak lupa, kan?!" Carra menatap anak didiknya, mereka saling bersahutan dengan semangatnya mengeluarkan surat miliknya masing-masing. Memberikan surat itu pada Carra. 

Mairaline membisu menatap surat di tangannya. Surat yang seharusnya Erald beri tanda tangan itu tidak sedikitpun tergores tinta hitam. Mai bisa merasakan Carra berdiri di dekatnya, alat pendengar miliknya bisa menangkap bagaimana seruan senang saudaranya memberikan surat yang sudah diberi tanda tangan Papa mereka. 

"Mai!" 

Mairaline menatap Carra yang tersenyum menunggu dia memberikan surat ijin seperti teman-temannya yang lain. Dirematnya surat di tangannya pelan. "Surat Mai belum di kasih tanda tangan!" Tenggorokan Mairaline tercekat, gumaman nyaris tidak terdengar itu mengalun. 

Carra terpaku, dia jelas mendengar gumaman pelan itu. Bagaimana netra itu bergerak dengan tidak nyaman nya, dia jelas tahu tatapan jenis apa itu. Dengan masih menatap Mai, Carra mensejajarkan tubuhnya. "Kenapa belum dikasih tanda tangan?" Carra bertanya pelan, mengikuti arah pandang Mairaline yang sekarang menunduk menatap surat di tangannya. 

Mairaline menggeleng, semakin menundukan kepalanya tatkala anak-anak yang lain juga ikut menatapnya. Mairaline tidak suka, dia tidak ingin berdiri dalam situasi seperti ini. Mata caramelnya mulai berkaca-kaca, hatinya semakin gelisah. 

"Mai kenapa? Miss gak keberatan kok, sama surat Mai yang belum dikasih tanda tangan. Nggak apa-apa sayang!" 

"Tapi Mai nggak bisa ikut camp!" Cicit Mairaline menunduk dalam menatap surat di tangannya.   

Carra terdiam, menatap Mairaline lamat-lamat. Bagaimanapun caranya Mairaline juga harus ikut seperti anak didiknya yang lain. 

"Mai bisa bawa suratnya besok pagi. Bisa dikasih tanda tangan sama siapa aja, nggak apa-apa!" Ucap Carra menyakinkan. 

"Beneran?" Mata caramel Mairaline menatap Carra penuh harap. Seperti lilin padam yang kembali menyalakan api. Anak itu kembali menghangat. 

"Iya. Sekarang Mai harus ceria, nggak boleh sedih-sedih. Biar nanti kita seneng-seneng di sana, ya!" Carra mengusap surai lembut Mairaline. Sementara ekor matanya menatap surat izin milik Nairaline di tangannya.  

Mairaline sendiri terdiam menikmati usapan lembut dari guru-Nya. Dia hanya bisa menghela nafas dan tersenyum tipis tatkala Carra kembali ke mejanya serta menyimpan surat izin dari teman-temannya.  

"Mai, kenapa punya Nai dikasih tanda tangan?" 

Mai spontan mendongak menatap Ana. Mai tidak tahu harus mengatakan apa, tidak ada sepatah kata yang keluar dari bibirnya. Sedangkan Ana dengan sabarnya menunggu jawaban dari Mairaline. Anak kecil itu terlalu penasaran. 

Sementara di sisi lain, Nairaline membisu mendengar apa yang Ana tanyakan kepada saudaranya. Hatinya sekarang terperangkap dalam kabut tebal, hanya bisa membuat pertanyaan dengan jawabannya sendiri. 

Hening, ketiga anak itu terdiam dalam pikiran masing-masing. Sampai suara Carra membawa mereka untuk menatap wanita yang menjabat sebagai guru itu. 

"Mmm… Miss Cara lupa, besok kita mau kemana ya…?" 

"Masa Miss Cara lupa sih. Bunda Evan aja yang lebih tua masih inget tadi pagi!" Mai menatap Evan dengan hati yang masih belum tertata. Dia melihat teman-teman yang lain terkikik atas perkataan Evan. Sedikit menghibur lara-Nya. 

"Evan sayang, Miss Cara tadi cuma pura-pura kok." Niat hati ingin menghidupkan suasana kelas harus kandas karena si kecil Evan. 

"Miss Cara bohong? Pamali, Miss." Evan, anak itu memberi tatapan menyelidik sembari menggoyangkan jari telunjuknya. Membawa tatapan penuh tanya teman-temannya. 

"Evan, dengerin Miss Cara yah!" 

Evan mengangguk polos.  "Iya Miss. Dari tadi Evan dengerin kok!"

Dari tempatnya duduk Mai dapat melihat bagaimana wajah Miss Carra yang menahan kesal atas perbuatan Evan.  "Mmm… Miss Cara nggak bohong. Kita kan emang mau camp. Tadi itu Miss Cara cuma ngetes Evan sama temen-temen, takut kalian lupa. Evan ngerti kan!" Cara tersenyum lebar. 

Evan mengangguk, jelas sekali ia mengerti. Jika gurunya saja memberi penekanan pada kalimatnya dengan cukup jelas. 

"Nah, Miss Cara mau nanya. Persiapannya udah belum?" Ucapan Carra membuat Mairaline dan semua anak di dalam ruangan itu saling menatap satu sama lain.

"Persiapan apa Miss?" Nai mengangkat tangan.

 

"Persiapan buat kalian camp. Kalian kan di sana nginep, otomatis harus ada persiapan!" Jelas Carra mengedarkan pandangannya menatap wajah-wajah bingung dari anak didiknya. Tentu, siapa pun bisa melihat jika anak-anak di hadapannya tidak tahu menahu mengenai ritual sebelum berangkat camp. 

Tanpa menunggu lagi Carra berdiri, tangannya bergerak di atas papan tulis. "Kalian sambil catet yang ditulis Miss, ya!" 

"Iya." Serempak anak menjawab.

"Pertama alat terpenting yang harus kalian bawa jaket tebal, biar kalian gak kedinginan. Kedua alat mandi, gunanya biar kalian gak bau!" Kekeh Cara menutup hidung seraya melirik Evan yang sedari tadi asik menulis. 

Mai ikut tersenyum geli disaat teman-teman yang lain juga menatap Evan.  "Hei! Evan nggak pernah bau, ya!" Sungut Evan tidak terima. 

Cara tersenyum menggoda.  "Miss nggak bilang Evan bau kok!" 

Evan merona, apalagi saat teman-temannya mulai menertawakannya membuat semburan merah itu menjalar ke sekitar telinga. Benar-benar merah.  

"Udah-udah. Evan itu wangi kok. Sekarang kita lanjutin yang tadi ya?" Lerai Cara menengahi. 

Mairaline dan yang lain mengangguk , kembali menulis apa yang diucapkan Carra mengenai apa saja yang harus dibawa untuk camp. Tulisan ala kadar miliknya Mairaline tatap lamat-lamat. 

"Ngerti Miss!" Serempak anak didik Cara. 

Kring…! 

"Kok, udah bel Miss!" Seru Ana kebingungan. 

"Iya, hari ini kalian pulang duluan. Mau nggak?!"

"Mau Miss…!" 

"Kalo gitu kenapa diem? Nggak mau beres-beres!" Ucapan Carra membuat kelas seketika gaduh, bersamaan dengan seorang anak yang sudah berdiri di depan Carra menenteng tas-Nya.

"Miss! Evan pulang, ya!" 

Carra terpaku saat Evan mencium tangannya. Sementara Evan tampak tidak peduli dan melenggang pergi disaat anak-anak lain masih sibuk dengan tas mereka. 

Hari itu, di saat semua anak sibuk bertanya kepada orang tua mereka mengenai camp. Mairaline hanya membisu tanpa suara. Dan di saat para orang tua sibuk memberikan nasihat kepada anaknya. Mairaline hanya terdiam ditemani sunyi. 

Dalam kamar bernuansa biru laut itu 

Mairaline menjatuhkan kepalanya di atas meja belajar, mata caramelnya menatap lamat surat izin camp dengan mata berkaca-kaca, saat ini Mairaline sungguh kebingungan, anak itu tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan disaat saudaranya sendiri tengah asik bersama Papa mereka. 

"Mama, Mai bingung. Mai mau Mama… Mai mau ada Mama kayak dulu, lagi!" 

Mairaline menelungkupkan kepalanya di antara meja dan tangan. Tangisan mulai keluar dari bibirnya, dia menangis sejadi-jadinya. 

"Hikss… Mama!"  

"Mama…!"

Langkah kaki Mimin terhenti, pekerja rumah Kediaman Atmajaya itu hanya bisa terpaku mendengar tangisan dari dalam. Nona pertama keluarga Atmajaya lagi-lagi menangis di saat saudaranya sendiri tengah tertawa. Miris.  

"Mai mau sama, Mama!" Perkataan Mairaline membuat Mimin lekas membuka pintu. 

"Non, jangan kayak gitu. Non di sini aja, jangan ikut Mama!" Tenggorokannya tercekat, Mimin tidak kuasa menahan tangis saat menatap Mairaline yang tampak menyedihkan. 

"Hikss.. Mai mau sama Mama, Mbak!" 

Tangisan Mairaline semakin keras, tangan kecilnya menyambut uluran tangan Mimin. Memeluk tubuh orang dewasa di depannya erat. Mairaline benar-benar membutuhkan tubuh orang dewasa untuk menumpahkan tangis.

"Iya, nanti. Tapi nggak sekarang, tunggu tuhan jemput Non sama kayak Mama, ya!?" Isak tangis Mimin menderai, tangannya tidak berhenti mengusap lembut kepala Mairaline. 

"Hikss… Kenapa Mai__ uhuk… nggak di jemput sekarang aja, Mbak?" Ucap Mairaline sesegukan menatap Mimin penuh tanya.  

"Karena sekarang Tuhan masih mau lihat Non Mai disini. Nyonya Relin mau Non disini nemenin Papa!" Mimin memeluk tubuh Mairaline erat. Kedua manusia berbeda usia itu saling memeluk. Mairaline tidak kuasa menahan sakit didadanya. 

Beberapa menit berlalu, keduanya masih menangis atas kesedihan Mairaline. Pelan-pelan Mimin mendongakan kepala Mairaline dan mengusap peluh air mata di wajahnya. "Udah, Non jangan nangis lagi! Non kan mau pergi camp, nanti Non bisa flu kalau kelamaan nangis." 

"Tapi, suratnya belum dikasih tanda tangan Mbak!" Ucap Mairaline kembali berderai air mata. 

"Nggak apa-apa. Nanti Mbak kasih tanda tangan, tanda tangan Papanya, Non!" 

Perkataan Mimin membuat pupil Mairaline membulat senang. "Gimana caranya, Mbak?!" 

"Tanda tangannya bisa Mbak tiru!" Mimin terkekeh. Mairaline sesaat terdiam, tapi kemudian anak itu kembali tersenyum dengan bahagia nya.

"Emang bisa?"

Mimin terdiam, tangannya sibuk menarik untaian rambut Mairaline ke belakang. Menguncir kembali rambut yang sempat berantakan itu. Setelahnya siap menjawab pertanyaan Mairaline. 

"Bisa, percaya sama Mbak. Sekarang kita siapin kebutuhan camp-Non, yuk!" 

"Iya." 

"Non punya catetan?" 

"Ini." Mai memberikan buku dengan tokoh princes Ariel miliknya. Tangan mimin terulur, kemudian menelisik tulisan dari anak berusia 7 tahun di depannya. 

Hari itu, Mairaline menghabiskan waktunya menyiapkan kebutuhan camp bersama Mimin, pekerja rumah kediaman Atmajaya. Disaat anak yang lain menyiapkan kebutuhan camp mereka bersama orang tuanya. 

Terpopuler

Comments

Fenti

Fenti

ya ampun, mata bengkak nih pas pagi

2023-07-31

2

Armelia

Armelia

Sad nya kena banget😭

2023-07-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!