Awal Dari Kecemburuan

Mairaline melangkah ragu saat gilirannya tiba setelah semua teman-teman kelasnya maju menceritakan anggota keluarga yang mereka gambar.

"Mai gambarnya mana?" Tanya Carra saat Mai hanya membawa tangan kosong.

Mai terdiam, menatap sungkan beberapa pasang mata yang menatapnya lekat. "Maaf, Miss. Buku gambar Mai tadi nggak sengaja sobek!" Mairaline berucap pelan.

Carra sejenak terdiam, tidak lama setelahnya guru muda itu terseyum. "Nggak apa-apa. Sekarang Mai cerita aja, tapi besok harus ada, ya! Biar Miss kasih nilai.

Perkataan Carra membuat pupil caramel Mairaline berbinar, dia mengangguk dengan semangat. "Iya, besok Mai bawa gambarnya!"

"Mai, bisa mulai cerita nya!" Carra mengangguk kembali duduk di mejanya.

"Yang lain diam, ya!" Guru muda itu menempelkan telunjuknya di depan bibir. Menyuruh anak didiknya yang lain diam. Kemudian mengangguk seraya menatap Mai, menyuruh Mai memulai ceritanya.

"Maaf, Mai nggak bawa gambarnya. Mai mau cerita aja, ya!" Mairaline tersenyum tipis, menautkan jari jemarinya saat semua pasang mata menatapnya.

Mai menghembuskan nafas, menekan gugup di dalam hantinya. "Mai punya Papa, Mama, dan Nai!" Mai menatap saudara kembarnya lamat-lamat.

Nafas gadis kecil itu berhembus pelan, semakin meremas tangan menahan gugup. "Nggak punya siapa-siapa lagi, kakek-nenek dari Mama udah nggak ada begitupun dari Papa. Dulu Mai masih tinggal sama Mama, kata Papa kita namanya keluarga kecil, Mai bahagia banget waktu itu. Mai sama Nai sering main bareng, sama Papa-Mama juga. Kita sering pergi piknik."  Tenggorokan Mai tercekat, suaranya semakin memelan di akhir kata.

Mairaline meremas tangan menahan sesak, terdiam cukup lama.

"Mai sayang banget sama Mama, Papa, dan Nai. Sayang banget." Mairaline tersenyum lebar di atas kesedihannya. Gadis kecil itu terdiam menahan tangis.

"Maaf ya, cerita Mai sedikit." cicit Mairaline tercekat.

Carra terdiam, suasana kelas hening dengan Evan yang sedari tadi tidak berhenti menguap, terlihat kentara sekali karena Evan duduk di meja paling depan. Tidak lama kemudian suara tepuk tangan terdengar dari Carra, di ikuti anak didiknya yang lain.

"Nggak apa-apa. Miss udah seneng kok kalau Mai mau kedepan, teman-teman yang lain juga sama." Carra memegang pundak kecil Mai.

"Nah, sekarang Mai bisa kembali ke tempat duduk Mai!"

Mairaline mengangguk, berjalan pelan ke tempat duduknya. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatapnya dengan lekat. Termasuk Ana, teman semeja-Nya.

"Mai!"

"Iya, kenapa?"

"Nanti kita makan bekal, ya? Bunda Ana yang siapin." Bisik Ana tanpa mengalihkan pandangannya ke depan.

"Iya." Angguk Mai membuat seulas senyum tipis.

Mai menatap kedepan, bagaimana anak-anak lain menceritakan mengenai keluarganya? Bagaimana Nai di depan sana menceritakan begitu panjangnya mengenai keluarga mereka? Mengenai Mama yang pergi dan Papa yang begitu menyayangi Nai, dengan saudara tuli sepertinya.

"Nai!?" satu tangan Evan terangkat. Nai menghentikan ceritanya membuat mereka semua mengalihkan tatap kepada Evan.

"Iya, kenapa Evan?" Tanya Carra mewakili.

"Nggak apa-apa, Miss. Evan cuma ngantuk, Nai lama banget ceritanya!" Gerutu Evan masih menguap.

Carra terperangah, dan Nai mengeriyat tidak suka. "Nggak, kok. Nai cerita nya sebentar, Evan aja yang ngantuk!" Nai membela diri.

Kedua alis Evan menukik. "Nggak, Nai lama ceritanya. Evan nggak suka, mending singkat aja kayak Mai."

Mairaline yang namanya di sebut-sebut terdiam, menatap Nai yang merenggut dengan berkaca-kaca. "Nai, kan seneng ceritanya. Evan juga lama ceritanya!" Nairaline melempar kembali bumerang dari Evan.

"Eggak. Evan nggak lama!" Bantah Evan kembali bugar.

"Lama!"

"Nggak!"

Evan dan Nai sama-sama kukuh, kedua anak kecil itu mengabaikan semua yang berada di sana. Wali kelas mereka sendiri menatap pertengkaran keduanya santai. Evan memang selalu bermasalah dengan Mai maupun Nai, anak laki-laki yang satu itu selalu ingin benar dan tidak mau kalah.

"Bertengkarnya masih lama?" Carra menatap keduanya bergantian. "Bel-Nya udah bunyi, loh!" Lanjut Carra membuat Evan dan Nai terdiam.

"Nanti, yang belum maju ke depan kita lanjutkan lagi setelah istirahat!" Perkataan Carra membuat anak didiknya serempak mengangguk. "Miss duluan, ya?!" Carra berlalu pergi dari hadapan mereka.

Bllee...!

Nai merenggut saat Evan menjulurkan lidah sebelum melenggang pergi menghampiri anak laki-laki lainnya. Anak berkuncir dua itu kemudian berlalu pergi menghampiri saudaranya.

"Mai, makan apa?" Tanya Nai berdiri di samping meja Mai. Membuat Ana memicing tidak suka.

Sementara Mairaline tersenyum dengan mulut penuh, menggeser duduknya agar Nai bisa duduk di sebelahnya. "Mai makan nasi goreng buatan Bunda-Nya, Ana!"

Nairaline menelan ludah melihat nasi goreng di depannya. "Enak?" Tanya Nai tampak tergiur, membuat Ana mencebik tidak suka.

"Enak. Nai mau?!" Mai menyodorkan sendok, hendak menyuapi Nai. Belum sempat Mai menyodorkan nasi goreng Ana, pemiliknya telah lebih dulu melahap nasi goreng yang disodorkan Mai.

"Enak." Ana mengangguk-ngangguk kepalanya merasa tidak bersalah.

"Mai, kan mau nyuapin Nai. Kenapa Ana yang makan?" Kesal Nai menatap Ana tajam.

Ana tampak tidak bergitu terganggu, dengan santainya anak kecil itu menjawab. "Ini, kan nasi goreng buatan Bunda-Nya Ana. Jadi Ana nggak salah dong karena makan nasi goreng buatan Bunda-Nya Ana!"

Perkataan Ana membuat Nai mencebik kesal. Dan Mai hanya bisa tersenyum tanpa bisa berbuat apa-apa. Ana memang benar nasi goreng nya punya Ana, Mai hanya menumpang makan saja.

"Nai, mending beli makan sendiri aja sama Yura!" Usul Ana mengusir halus Nairaline.

Nai merenggut menatap Ana tajam. "Nggak mau. Nai mau sama Mai, Ana aja yang pergi!" Ucap Nai balik mengusir.

"Nai aja yang pergi! Ini kan, meja Ana sama Mai." Ketus Ana merasa tersingung.

Nai tidak mau kalah, ia merangkul bahu saudaranya.

"Tapi Mai saudara Nai!"

"Temen Ana juga, bllee...!" Ana menjulurkan lidah. Membuat Nai berkaca-kaca, kesal melihat wajah jenaka Ana yang minta ditabok itu.

"Ana jahat!" Seru Nai mengundang pasang mata teman-temannya.

"Enggak. Ana nggak jahat, itu makanan Ana bukan makanan Nai. Terserah Ana dong siapa yang boleh makan!" Ketus Ana membela diri.

Nairaline terdiam, bibirnya merenggut siap menangis saat semua teman kelas mereka menatap Nai seperti seperti tersangka.

"Ana, kasih aja makanan nya. Jangan pelit!" Seru Yura mendelik, berdiri di samping Nairaline.

"Ana nggak pelit, Nai aja yang celimitan...!" Teriak Ana, wajahnya memerah menahan kesal.

"Kenapa Mai boleh, Nai nggak?!" Ucapan Yura membuat Mairaline dan yang lainnya terdiam.

"Itu artinya Mai juga celimitan!" Lanjut Yura membuat suasana semakin panas.

Mairaline menatap sekelikingnya resah, sesekali gadis kecil itu membenarkan letak alat pendengar di telinganya. Mai tidak suka suasana seperti ini.

"Beda, karena Ana yang kasih!"

"Kenapa nggak kasih sama Nai, juga?"

"Ana, nggak suka sama Nai." Cebik Ana membuat Nai menatap lekat Mai yang tengah melihat sekeliling mereka.

Terpopuler

Comments

Sewindu

Sewindu

Iya, nanti aku bikinin di chapter yang mendatang🤗🙏

2023-07-31

1

Fenti

Fenti

bagusnya didepan papa mai dan nai.. ingin tau reaksinya jika ada yang tidak suka anak kesayangannya

2023-07-31

0

Armelia

Armelia

😘😘😘😘

2023-07-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!