Obat Untuk Hati Yang Sesak

"Mai, cepetan!" 

  

Tenggorokan Mairaline tercekat, genggaman pada tali tas di punggungnya semakin mengerat. Dia hanya bisa mengulas senyum tipis melihat saudaranya berdiri di sebelah mobil Papa mereka. Tak sampai di situ denyutan sakit di dadanya semakin menjadi tatkala Erald dengan pakaian santainya berjalan melewatinya begitu saja membawa barang bawaan Nairaline ke bagasi mobil. Hanya membiarkan Mairaline berangan-angan saja dengan semua harapan semu miliknya. Andai Papa memperlakukan Mai sama seperti Nai.  

"Mai, ayo! Kita udah telat." Seru Nairaline melambai tangan sebelum masuk ke dalam mobil. Tanpa melihat anggukan Mairaline bahkan satu patah kata dari bibir saudaranya. 

Mai menggigit bibir menahan tangis, dadanya bergemuruh kian sesak. Mimin, pekerja rumah kediaman Atmajaya itu hanya bisa terdiam atas semua perlakuan tidak adil dari seorang Ayah kepada putrinya. 

"Non!" 

Mai terdiam menunggu apa 

yang akan dikatakan wanita di depannya. Sementara Mimin tampak tidak ragu memeluk tubuh kecil yang sempat menegang di dalam pelukannya itu. "Semangat, Non harus semangat! Suratnya udah Mbak kasih tanda tangan Tuan." Mimin mengurai pelukan lalu menyodorkan surat izin milik Mairaline.

"Beneran Mbok!" Mai menatap lekat surat yang kini berada di tangannya. 

"Iya, nanti di sana Non jaga kesehatan. Dengerin kata Ibu guru! Jangan nakal! Mbak udah siapin semua keperluan Non!"  

"Iya, Mai ngerti!" Mai mengusap ujung matanya, memeluk surat izin yang sekarang menjadi sebagian kenangan dalam hidupnya. 

Tittt…!

"Papa!" 

 

Mata Mairaline membola menatap Mimin penuh tanya saat mobil Erald ternyata masih terparkir di pekarangan rumahnya. 

Mimin mengangguk. "Ayo! Tuan udah nungguin, Non!" 

Mai yang pada awalnya berjalan cepat kini semakin memelan saat satu keraguan hinggap dalam pikirannya. "Papa mau nganterin Mai juga?!" Wajah senang itu mengerut, ketidakyakinan di wajahnya tampak lebih kentara. 

"Iya. Tuan mau anterin, Non!" Bisik Mimin membuka pintu mobil, membantu Mairaline masuk di kursi belakang. Mairaline sendiri menggigit bibir menahan senyum melihat Erald dari kaca spion mobil, meski pria yang menjabat sebagai Ayah-Nya itu masih terus mengabaikan-Nya.   

"Mai, kenapa lama?" 

Mai meringis menatap Nairaline, wajah saudaranya itu tampak mengerut kesal. 

"Maaf! Tadi Mai ngambil surat izin dulu dari Mbak."

Erald, pria itu melirik surat di tangan Mairaline dari kaca spion mobil. Memilih untuk tidak peduli.

Nai mengangkat bahu tidak peduli dengan surat di tangan saudaranya. Anak itu lebih peduli apa yang dibawa oleh saudaranya.  "Mai bawa apa aja?" Nai menatap tas jinjing di pangkuan Mairaline. Pikirannya berputar membandingkan barang miliknya dan saudaranya. 

"Mai bawa apa yang dibilang Miss Carra!" 

"Kok, sedikit?"

"Nggak tahu, Mbak Mimin yang siapin."

"Nai banyak. Disiapin Papa!" Seruan senang itu malah membuat Mairaline terdiam. Melirik pria yang menjabat sebagai Ayah itu lamat-lamat. 

"Mai…!" 

"Mai, jangan liat Papa! Dengerin Nai!" Protes Nai. 

Mai mengerjap, dengan gugup mengalihkan pandangannya kepada Nairaline. Dan entah kenapa hatinya menjerit sakit dengan perkataan saudaranya.  "Iya. Maafin, Mai!" 

Nai hendak membuka mulut kembali berbicara saat suara Erald menghentikannya. Dan Mai, semakin terdiam mendengar apa yang dikatakan Erald. 

 "Nai jangan liat kebelakang, nanti kamu mual!" Erald menarik pelan kepala Nairaline, membuat Mai terpaku atas apa yang dilakukan Erald kepada saudaranya kembarnya. 

"Papa, Nai mau ngobrol sama Mai!" Dahi Nairaline mengerut, melayangkan tatapan protesnya. 

"Nanti. Jangan sekarang! Papa nggak suka Nai ngebantah kayak gitu!" Ucapan Erald membuat Nairaline terdiam. Sesekali melirik Mairaline, melihat apa yang dilakukan  saudaranya itu. 

Mairaline sekali lagi menatap lamat surat izin miliknya. Kehampaan menyeruak dalam dadanya tatkala kembali mengingat siapa yang memberi goresan hitam pada kertas di tangannya. Hembusan lirih berhembus, dia menyerahkan surat itu kepada Carra. Surat yang ditandatangani Mimin tadi malam dengan tanda tangan milik Erald, Papa-Nya.

"Mai! Nai nya kemana?" Carra berjongkok di depan Mairaline. 

"Sama, Papa!" Jawab Mai pelan, menatap Erald yang sedang membenahi keperluan saudaranya. 

"Kenapa gak samperi Papa-nya?" 

"Gak__ mau!" Tenggorokan Mairaline tercekat, tangannya meremas tas jinjing miliknya erat-erat. Menatap nanar tas yang mengabur karena air di pelupuk matanya. 

Masih menjadi lekat saat ingatannya kembali berputar pada waktu yang lalu. Mai tidak suka saat betapa menyedihkannya dirinya di depan semua orang. Mai tidak suka saat Mai harus membawa barang bawaan Mai disaat anak-anak yang lain tidak seperti Mai bahkan saudara Mai sendiri. Mai tidak suka saat Mai menjadi abai di mata Papa. 

"Jangan menangis sayang!" 

"Mai!" 

Mairaline menggeleng, tidak membiarkan siapapun melihat air matanya. Dadanya menjadi lebih sesak saat berton-ton baja kembali ditambahkan dalam hatinya. 

Carra hanya bisa memegang pundak kecil di depannya. Mereka masih dalam posisi yang sama saat deringan speaker dari kepala sekolah terdengar. Dapat Carra dengar Mairaline menghembuskan nafasnya tertahan, mencoba menghentikan air matanya. Dan Carra sangat amat tahu bahwa cara itu tidak akan berhasil. Meski air matamu berhenti itu tidak akan mengurangi rasa sesak di dada, malah sesak itu akan semakin bertambah hingga bernafas pun rasanya akan sulit. 

"Mai, kalo mau nangis. Nangis yang keras sayang!" Carra berucap pelan. "Ini nggak akan bisa sembuh kalo Mai nggak tumpahin semua sakit Mai!" Carra meletakan tangannya di dada Mairaline. Membuat sang empu mendongak menatap pupil di depannya. 

Mairaline tidak mengeluarkan satu kata pun  saat Carra membawa tangan kecilnya mengiringi wanita itu sampai pada barisan kelasnya. Membiarkan mereka berpisah tanpa kata balasan dari Mairaline. Sampai Mai tidak lagi melihat Carra setelah wanita itu masuk ke dalam Bus mereka. 

"Iya, Papa. Nai dengerin!" 

Tubuh Mairaline menegang, alat di telinganya dengan jelas mendengar suara Nairaline di belakangnya. 

"Mai!" 

"Mai, kenapa diem?!" Pertanyaan dari Nairaline sukses membuat tubuh Mai berbalik menatapnya. Pupil caramel itu bertemu dengan tatapan dingin milik Erald. 

"Jawab!" Perintah Erald, membuat Mai memutuskan tatapannya. Berkata dengan pelan "Mai, nggak apa-apa Nai." 

"Mai, nggak cium tangan Papa?" 

Mairaline terpaku, keraguan memenuhi relung hatinya. Matanya kembali berkaca-kaca tatkala Erald bahkan tidak menyodorkan tangannya. Membuat pandangannya menunduk tak kuasa menerima tatapan dari orang-orang yang mulai menatapnya.

"Cepat!" 

Kaget, Mai sontak menatap sodoran tangan Erald. Rasa senang membuncah dalam hatinya, air mata rasanya ingin berjatuhan saking senangnya. 

Rasa dekat merayap cepat dalam hati Mai tatkala dia melakukan kontak fisik dengan  Papanya setelah sekian lama. 

"Makasih, Papa!" Gumaman nyaris tidak terdengar itu sampai pada gendang telinga Erald. Pria itu terdiam saat tangannya disambut kembali oleh tangan yang sempat hilang. 

Kehilangan, Mairaline jelas dapat merasakannya saat tangan Papa nya kini terasa jauh lagi. 

"Mai, Jaga Nairaline disana!" Panggilan kecil itu membuat senyuman haru Mairaline hadir. Hingga lupa apa permintaan Erald sebenarnya. 

Terpopuler

Comments

Fenti

Fenti

kok sedih 😭😭

2023-09-03

3

Armelia

Armelia

Mai❤❤❤❤

2023-08-21

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!