Sekedar Mengiklaskan

"Tuli!"

Langkah Mairaline terhenti, satu kata itu menjadi sarapannya selama beberapa minggu belakangan. Ruang kelas berdiameter 6×8 itu terasa kian sempit hingga deru nafasnya memburu. Mairaline bisa merasakan tatapan itu semakin mengarah kepadanya saat setelah dia duduk di kursinya, tepat disebelah Nairaline.

"Mai, nggak apa-apa?"

Mai menatap Nai, pupil saudaranya meremang khawatir. "Nggak. Mai nggak apa-apa." Mairaline tersenyum, menepuk bahu Nairaline.

"Beneran nggak apa-apa?"

"Iya. Nggak apa-apa!" Angguk Mai yakin, tatkala Nairaline masih menatapnya ragu.

"Nanti pulang sekolah main, yu!"

Ajakan itu membuat Mairlaine meremang, dia terdiam sambil terus menatap Nairaline yang juga tengah menatapnya. Kadua anak itu masih terus terdiam, Mairaline tidak membuka mulut sampai mereka pulang dan kembali kerumah.

"Mai…!" Suara Nai terdengar, pintu coklat dari kayu jati itu terbuka. Memperlihatkan Nai dengan boneka di pelukannya.

"Nai, kenapa kesini?" Pertanyaan panik itu keluar dari mulut Mairaline. Segera tangannya menarik Nairaline masuk dan menutup pintu.

Nai berjalan mendekati ranjang. "Nai mau main sama Mai. Lihat, boneka kelinci punya Nai, cantik-kan?!" Ucap Nairaline duduk diranjang seraya meletakan bonekanya.

Mairaline memaku menghampiri Nairaline. "Cantik!" Ucapnya kemudian menjauhkan permukaan jari jemarinya pada bulu lembut di depannya.

Nairaline tersenyum. "Boneka Mai kemana?"

Pertanyaan itu membuat Mairaline terdiam, menatap pupil binar saudaranya, hingga satu kalimat keluar dari bibirnya.

"Ada. Mai simpen bonekannya."

"Disimpen di mana?"

"Rahasia." Deretan gigi Mairaline terlihat dapat mengundang tawa dari saudaranya.

"Papa, kapan pulang?" Tanya Mai.

"Nggak apa-apa, kok. Papa lagi pergi katanya ada rapat. Pulangnya nanti sore!" Ucap Nai melebarkan senyum.

"Mai takut Papa tahu, ya?!" Tatapan menggoda dari Nairaline menciptakan tatapan kesal dari Mai.

"Jangan ketawa Nai, nggak lucu tahu!" 

"Hehe… maaf. Tapi Nai rindu main sama Mai. Papa kenapa sih nggak ngebolehin Nai main sama Mai?" Nairaline merenggut meminta jawaban yang sama sekali tidak dapat di jawab oleh Mai sendiri.

 "Maaf." 

Hanya satu kata itu yang mampu keluar dari mulut Mairaline. Kedua saudari kembar itu mengeratkan pelukannya. Tuhan memang begitu adil, Mai terlahir dengan ketidak sempurnaan di kedua telinganya. Sementara Nai, terlalu berat menerima semua keras kehidupan yang ada.

Nairaline mengurai pelukan. "Mai, ayo main! Mumpung Papa belum pulang!"

"Main apa? Tapi Mai takut Papa marah." Ucapan lirih seiring berhembusnya nafas itu terdengar putur asa.

Nairaline spontan berkata. "Papa nggak marah. Kebetulan Papa pulangnya entar sore. Nggak bakal tahu!" Nai menggelengkan kepala.

"Bener?" Ragu Mai.

"Iya, pintu nya juga udah di kunci." Angguk Nai yakin, menarik tangan Mai duduk di atas karpet berbulu di kamar Mai.

"Mai... Kejar Nai!" Nairaline berteriak seraya melempar boneka miliknya kepada Mairaline.

"Nai, awas ya!"

Mairaline berlari mengerjar Nairaline. Kedua saudaria itu bermain, membayar semua waktu yang hilang di dalam kamar Mairaline yang sudah seperti kapal pecah. Tertawa, saling mengejar, persis seperti satu tahun yang lalu saat Relin masih ada, dan Erald belum membenci Mairaline.

"Nai seneng deh, main sama Mai." Nairaline menatap saudaranya yang tengah menatap langit-langit kamar.

Kedua gadis kecil itu berbaring di atas karpet setelah kelelahan sehabis aksi saling mengejar mereka.

Mairaline berbalik, menatap saudaranya. "Iya, Mai juga seneng main sama Nai."

Keduanya terdiam, saling menatap dengan pikiran masing-masing. Menyelam dalam lautan satu sama lain.

Terima kasih, karena Nai mau menjadi saudara paling berharga untuk Mai.

"Ayo main boneka lagi!" Nairaline berseru, mengambil boneka miliknya dengan tawa. Menarik Mai mengikutinya dengan tawa yang sama.

"Syuttt…!" 

Mai memegang tangan Nai menyuruh saudaranya berhenti tertawa. Saat Mairaline tengah menatap jendela kamarnya, Nairaline tengah berusaha menghentikan tawanya. Meski masih ada tawa kecil yang kelaur dari bibirnya.

"Kenapa?" Kedua alis Nai menukik, menatap Mai penasaran.

Mai masih menempelkan telunjuk kecilnya di depan mulut, semakin jelas suara mobil Papanya di bawah sana. Ditariknya tangan Nai ke sisi jendela. 

"Ada mobil Papa. Nai cepetan pergi dari sini!" 

Takut. Mai takut Papanya menemukan Nai berada di dalam kamarnya. Kaki Mai tergesa-gesa menarik tubuh saudarinya, secepat mungkin mengeluarkan tubuh Nai di dalam kamarnya.

"Nanti kita main lagi, ya!?" Nairaline menahan pintu, meyakinkan Mairaline.

Mai sama sekali tidak terlalu medengarkan perkataan Nai. Atensinya lebih berpusat pada derap langkah Erald. Persis setelah kata terakhir Nai terdingar di telinganya. 

Mai menatap sangsi Papanya. Apa yang akan Erald lakukan melihat Nai berdiri di depan kamarnya? 

"Nai…!" Air muka Erald terlihat tak mengenakan. Kedua tangan berotot itu segera menarik Nai kedalam pelukannya. 

"Papa!" 

"Udah Papa bilang. Kalo mau main, Nai main aja sama Marni. Jangan sama Mai!" 

Mai diam, mulutnya terkunci untuk sekedar mengeluarkan suara mendengar perkataan keras Papa nya. Dia hanya bisa terdiam dengan tubuh kaku. Karena untuk bernafas saja Mairaline benar-benar kesulitan.

"Nggak. Nai nggak main Papa, Nai cuma nanyain PR aja sama Mai!" Bantah Nairaline, menatap melas Mairaline.

"PR?" Erald menatap Mai.

Mairaline meneguk ludah. "Iya." Meminta maaf dalam hati melihat Erald mengangguk percaya dengan kebohongannya.

"Kalo mau tanya PR sama Marni aja. Jangan sama Mai! Ngerti?"

"Ngerti, Papa." Nai mengangguk, membiarkan tubuhnya di gendong Erald. Meninggalkan Mairaline sendirian di depan pintu kamarnya.

Waktu itu terus terkenang dalam benak Mai. Bagaimana dan bagaimana pun Mai tetap merasa senang akan semua yang terjadi hari itu.

"Papa!"

"Iya."

"Besok berangkat sekolah nya sama Mai juga, ya!?" Nai menatap penuh harap mata hitam pekat Erald.

"Nggak!" Tegas Erald, melihat pekerjaan rumah milik putrinya.

Jika orang lain melihat dengan sekilas mata, maka Erald adalah Ayah terbaik bagi semua putirnya. Tanpa tahu dia juga Ayah terburuk bagi putrinya yang lain.

Nairaline terdiam, hanya menatap Erald. "Kenapa?" Tanya Erald.

Selintas pemikiran hinggap dalam diri Nai. Mempertanyakan semua perubahan yang terjadi di depan matanya. "Papa, kenapa kita nggak sama lagi kayak dulu?"

Erald terdiam, "Karena Mama juga nggak ada sayang. Semuanya memang nggak bisa kayak dulu lagi. Papa nggak bisa." Erald menunduk menatap cincin putih di tangannya.

Nairaline berkaca-kaca, "Tapi Nai bisa. Kenapa Papa nggak?"

"Karena Nai nggak bisa ngerti sama semua yang terjadi. Kenapa Mama pergi? Kenapa Nai sama Mai nggak bisa sama-sama lagi? Nai nggak pernah bisa ngerti sayang!" Suara Erald memelan menahan sesak.

"Kenapa Nai nggak pernah ngerti Pa? Buat Nai ngerti aja!" Putus asa Nai bercucuran air mata, menatap dalam mata hitam Erald.

"Maafin Papa!" Ucap Erald serak, membawa Nai dalam pelukannya. Ayah dan anak itu berpelukan berbagi sedih yang sama.

Mairaline mematung mendengar percakapan Papa dan saudaranya. Nafasnya tercekat, dadanya sesak tiada tara. Tidak ingin menatap sedih di depannya, tubuh kecil itu berbalik meluruh di balik tembok. Bersama dengan tumpahnya air mata.

"Maafin Mai juga, Papa. Maaf... Maafin Mai, hiksss...!" Mairaline memeluk lutut menahan sakit di dadanya.

Malam itu, satu keluarga kecil terjatuh dalam kubangan duka yang sama. Ketiga manusia yang menahan sakit karena tidak mampu mengiklaskan sesuatu yang sejatinya semua itu memang milik Tuhan, yang Tuhan ambil kembali.

Karena manusia terlalu mencintai segenap jiwa, hingga lupa bahwa Tuhan itu maha cemburu.

9 Juli 2019,

Bila maaf Mai bisa membuat Papa sembuh, maka akan Mai katakan beribu-ribu maaf untuk Papa. Maaf karena hadir Mai bukan lagi menjadi anugrah terindah untuk Papa. Anak istimewa seperti Mai, nyatanya dikatakan istimewa karena tidak sama dengan manusia lain. Mai mendengar dari Mama, bahwa kami yang terlahir istimewa adalah anugrah terindah dari Tuhan untuk orang tua. Nyatanya anugrah terindah ini juga membuat petaka bagi orang tua, bahwa anaknya tidak sama dengan anak orang lain.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!