Yang Bersalah

"Papa, jangan kayak gitu!" Cicit Nairaline berontak turun dari gendongan Erald. Anak itu hanya bisa menatap saudaranya khawatir saat  anak itu bahkan tidak bisa lepas dari gendongan Erald. Pria itu membawa putrinya dan meninggalkan putrinya yang lain. 

Hari itu, senja telah hilang ditelan waktu. Digantikan malam yang tampak gulita, rembulan bersembunyi dibalik awan tebal tanpa mengintipkan sedikit cahaya-Nya. Membuat kamar remang-remang tanpa cahaya itu semakin ditelan gelap. 

Mairaline menunduk dalam sisa-sisa tangisnya, wajah pucat nan penuh air itu terlihat mengkhawatirkan. Dia sendirian dalam ruang sunyi tanpa kehidupan, dia menangis tanpa bisa mendengar tangisannya sendiri. 

Dalam sunyi itu Mairaline merangkak meraih dekapan hangatnya, dekapan yang hanya seutas selimut tidak bernyawa. Tanpa usapan lirih penuh sayang. Membawa cakrawala tertidur didalam pelukan hangat Mentari. 

6 September 2019, 

"Non mau sarapan apa?" 

Mairaline terpaku, memberikan seulas senyuman tipis atas pertanyaan Mimin. Tangan kecil itu dengan pelan meraih omelet, makanan kesukaan Nairlaine. Hari-hari berikutnya Mairaline harus bisa terbiasa dengan makanan kesukaan saudaranya. 

Dalam diam Mimin hanya bisa memperhatikan, bagaimana anak majikannya mengunyah omelet itu dengan pelan. "Non, nggak apa-apa. Biar Mbak bikinin makanan ya! Mumpung Tuan belum turun." 

"Nggak usah Mbak. Mai udah kenyang." 

Mimin terdiam dengan balasan dari anak majikannya, dia hanya bisa menatap omelet yang telah tandas dari piringnya. Mairaline tidak lagi menunggu Nairaline bersama Papa nya. Tidak untuk hari ini. 

Kepala kecil itu menyandar, menatap pemandangan dibalik kaca mobil. Tatapan kelabu seteduh bayang-bayang nya menatap kendaraan yang berlalu lalang. Mata caramel itu mengelana sampai Mairaline mendamba, dia bisa melihat bagaimana seorang anak kecil tertawa diatas boncengan motor dengan Papa nya. Kapan Mai seperti itu? 

Tanpa bisa dicegah pelupuk matanya menggenang, satu kedipan air mata itu terjatuh. Mairaline menangis dalam bising kendaraan. 

Uprit, supir keluarga Atmajaya itu sesekali menatap kaca spion di dalam mobil, menatap anak majikannya khawatir. "Non!" Uprit memanggil. 

"Mai nggak apa-apa, Mang!" Mairaline mendongak, tersenyum sembari mengusap air matanya. 

Uprit terenyuh, pria berstatus sopir itu hanya bisa menghela nafas. Kembali fokus menatap jalanan di depannya. Sampai mobil yang dikendarai nya berhenti, Uprit terdiam menatap punggung kecil anak majikannya menghilang ditelan bangunan sekolah. 

Mairaline mengeratkan pegangan tasnya menatap teman-temannya di depan pintu kelas. Satu kaki melangkah, seperti hari2 sebelumnya tidak ada yang ingin tahu apa yang terjadi dalam hidup Mairaline. Tanpa bicara dia duduk di sebelah Ana yang tidak melepaskan pandangannya kepada Mairaline.  

"Mai, kenapa?" 

Ana menatap mata sembab Mairaline, menduga-duga sebab temannya menangis. 

"Mai, kenapa nangis?" Tanya Ana lagi. 

Mairaline menggeleng, sesaat kemudian anak itu berkata. "Mai, nggak apa-apa. Ana bawa bekal lagi?!" Mairaline mengelak, mengalihkan atensinya menatap kotak bekal berwarna biru di atas meja. 

"Iya, kata Bunda suruh bawa bekal biar bisa bagi makanan masakan bunda sama temen Ana." Senyuman lebar Ana terparti, anak itu membuka bekal miliknya. Menyodorkan kotak bekal itu di hadapan Mairaline yang sekarang tersenyum melihat makanan dengan bentuk-bentuk menggemaskan. Siapapun pasti ingin memakan makanan buatan Bunda Ana.

"Tapi makannya berdua aja, ya. Jangan sama Nai!"  

Mairaline mengalihkan tatapannya kepada Ana yang tampak serius. 

"Kenapa? Nai kemarin sampe nangis loh!" 

"Nggak apa-apa. Ana nggak suka sama Nai aja." Ana berucap santai menatap julid Nai yang baru saja tiba. Mairaline juga mengalihkan tatap mengikuti kemana mata Ana memandang. 

"Mai, kenapa nggak nunggu Nai? Mai nggak apa-apakan?" Deretan pertanyaan itu sejenak membuat Mai terdiam memilin kata atas pertanyaan saudaranya. 

"Nai kan berangkat sama Papa. Mang Uprit juga udah nungguin Mai. Dan Mai, nggak apa-apa. Nai jangan khawatir!" Jawaban lugas dari Mairaline membuat Nai tanpa sadar menghela nafas lega. Anak itu kini mengalihkan tatapannya pada bekal yang Ana bawa. Menatap penuh minat makanan dengan bentuk menggemaskan itu. 

Ana memicing melihat kemana tatapan mata Niaraline berada. "Ini buat Mai." Ucap Ana menarik kotak bekal miliknya. 

Nai menukik tidak suka. Merasa tersinggung atas apa yang Ana lakukan. "Siapa yang mau makanan jelek punya Ana!"  Kata itu keluar tanpa bisa Miaraline cegah. 

Mendengar perkataan itu Mai spontan menatap Ana yang kini tampak marah. Teman-teman mereka yang tadinya asik bermain kini menatap pertengkaran Ana dan Nai seperti orang-orang yang tengah menonton film horor. 

"Ini buatan Bunda Anaaa…!" Jerit Ana menggebu-gebu menatap Nairaline tajam. 

Hati Nairaline sejenak berdegup takut, namun mengingat perkataan Ana membuat rasa kesalnya naik kembali ke ubun-ubun. Dan kembali berkata dengan kata yang kembali membuat Ana marah. 

"Iya, tapi jelek!" 

"Nggak apa-apa. Daripada Nai nggak dibuatin makanan sama Bunda Nai!" Balas Ana tanpa berpikir, membuat Nairaline terdiam begitu pula dengan Mai yang sekarang tengah terpaku menatap Ana. 

Nairaline menelan ludah, "Dulu_ Nai suka dibuatin, kok!" Ucap Nairaline tercekat.  

"Sama, Mama!" Lanjutnya pelan seraya menatap Mairaline lamat-lamat.

"Mana? Kenapa sekarang nggak?" Ucapan frontal dari Ana membuat suasana kelas hening. Carra, seorang wali kelas yang baru saja tiba itu terdiam menatap anak-anak didiknya. 

"Ini kenapa?" Tanya Carra menatap satu persatu anak didiknya. 

Nairaline tidak bisa menahan gejolak hatinya disaat Mairaline sendiri terdiam setelah wali kelas mereka datang.

 

"Ana jahat!" Adu Nairaline dengan mata berkaca-kaca. Tangan kecilnya menunjuk Ana yang tampak tidak terima atas tuduhan Nairaline. 

"Nggak, Nai bohong Miss Carra. Nai ngatain makanan buatan Bunda Ana jelek!" Sangkal Ana menghunuskan matanya tajam. Kobaran api terlihat menyala-nyala di dalam pupil matanya. 

Carra menghela nafas memegang bahu kecil Nairaline. "Nai kenapa bilang gitu?" Suara pelan Carra melambai, Nairaline menatap guru di depannya. 

"Soal nya Ana bilang makanan-Nya cuma buat Mai. Padahal Nai nggak minta, Ana pelit!" Alih-alih menangis Nairaline malah memeletkan lidah kepada Ana. Membuat Ana mendelik julid. 

"Emang buat Mai!" Sungut Ana memberikan kotak bekalnya kepada Mairaline yang sedari tadi terdiam. 

"Tapi Nai nggak minta!" 

"Terus kenapa Nai natap makanan buatan Bunda Ana lama. Kayak Nai pengen!" Sarkas Ana membuat Nairaline terdiam.

Membuat Carra dapat mengerti apa yang terjadi, guru muda itu memegang bahu Nai dan Ana bersamaan. 

"Udah-udah. Sekarang Nai sama Ana cerita dari awal aja! Nanti Miss dengerin cerita dari kalian berdua." Ucapan Carra membuat mereka mengangguk.

Setelah mendengarkan cerita yang sebenarnya, guru muda itu dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Pada intinya tidak ada yang dapat disalahkan atas apa yang terjadi pagi itu. Namun pemikiran dari seorang anak tidaklah sama dengan orang dewasa. 

Terpopuler

Comments

Armelia

Armelia

Up....up... 🤩🎵🎊

2023-07-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!