Mairaline tersenyum lebar sepanjang perjalanan pulang. Dia senang mempunyai teman baik seperti Ana yang mau menerima anak tuli seperti dirinya. Dengan riang Mai berlari mendahului Nai masuk ke dalam rumah.
"Mai…!" Teriak Nai menghentikan langkah kecil Mairaline.
"Hehe, maaf Nai! Mai ninggalin Nai." Mairaline menujukan deretan gigi kecilnya, berlari kecil menghampiri Nairaline.
"Nggak apa-apa. Nanti kita ngegambar sama-sama, ya?!" Nai menarik alis.
"Iya." Angguk Mai dengan suka rela.
Siang itu Nairaline kembali mengerjakan tugas sekolahnya bersama Mairaline. Anak dengan kuncir dua itu tampak se-sekali meminta bantuan saudara kembarnya. Carra menyuruh mereka menggambar seluruh anggota keluarga mereka.
Nairaline terdiam, menatap Mai didepannya, anak itu menghentikan gerakan tangannya pada gambar setengah jadi miliknya. Pensil warna miliknya hanya menggantung dalam genggaman tanpa gerakan. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Nairaline.
"Mai seneng semeja sama Ana?"
Mairaline menghentikan gerakan tangannya, menatap Nai lamat saat pertanyaan itu keluar dari bibir saudarnya.
"Seneng."
Jawaban Mairaline membuat alis Nai menukik tidak suka. Gadis kecil itu tampak tidak senang mendengarnya. Nai melepaskan pensil warna itu dalam genggamannya.
"Kenapa? Jadi Mai nggak seneng lagi semeja sama Nai?" Wajah Nai merenggut.
Mairaline gelagapan mendapat pertanyaan tidak terduga dari saudaranya, gadis kecil itu meletakan alat gambarnya di meja. Menatap Nai sepenuhnya. Mai bukannya tidak senang tidak satu meja lagi dengan saudaranya, dia hanya senang mendapatkan teman baru seperti Ana. Rasanya sudah cukup dengan semua orang yang selalu tidak menerima kehadirannya.
"Nggak gitu. Mai seneng semeja sama Nai, tapi Mai juga senang bisa semeja sama Ana. Mai jadi punya temen baru." Ucap Mai memberi pengertian.
"Teman baru?" Beo Nai mengeriyat.
"Iya!" Mai mengangguk yakin.
Nairaline membisu, dia tidak suka dengan anak yang bernama Ana. Dan sekarang saudaranya malah berteman dengan Ana. "Tapi Mai jangan sering-sering main sama Ana ya?!" Pinta Nai mengerut kening.
"Kenapa?" Spontan Mairaline bertanya.
"Iya, Nai nggak suka sama Ana. Mai kan saudara Nai, jadi harus sama Nai bukan sama Ana!"
Ucapan tidak terduga dari Nai membuat Mai terdiam, setelahnya gadis kecil itu mengangguk dengan senyuman lebarnya. "Iya, Nai saudara dan temen buat Mai."
Perkataan Mai membuat Nai tersenyum sembari memeluk saudara nya. Nai mungkin cemburu Mai mempunyai teman selain dirinya. Iya, Nai yakin dia hanya cemburu kepada Ana. Dan Mai begitu kuat dengan keyakinan-Nya, bahwa permintaan Nai adalah bentuk kasih sayang dari saudaranya.
"Mai, udahan dulu yuk gambarnya. Mendingan kita main, mumpung nggak ada Papa." Nai mengurai pelukan, menatap binar mata caramel Mairaline.
"Nanti, gambar Mai nanggung tinggal sedikit!" Mai melirik gambar yang belum selesai.
"Sekarang aja Mai. Papa nanti keburu pulang!"
"Nggak, tinggal sedikit lagi. Nai juga mendingan selesaikan gambarnya dulu! nanti kita selesainya sama-sama," Putus Mai menggambar kembali bagian yang belum dia gambar.
Nairaline mengerut kening, bibirnya merenggut dengan lipatan tangan di atas dada. "Nggak ah, Nai mau liatin Mai aja!"
"Nggak boleh, nanti Papa marah. Mending gambarnya bareng sama Mai sekarang!" Bujuk Mai.
"Nanti aja kalau udah main." Kukuh Nai.
"Terserah Nai aja deh!" Putus Mai menyerah, membiarkan Nai berdiam diri hanya melihatnya. Keduanya sama-sama terdiam, Mairaline asik menyelesaikan gambarnya dan Nairaline asik melihat kegiatan saudara kembarnya sesekali menguap, anak itu menatap bosan saat saudaranya masih belum selesai.
"Mai, udah belum?"
"Belum. Sedikit lagi," ucap Mai tanpa melihat Nairaline.
"Cepetan Mai, jangan lama-lama!" Kesal Nai.
Mairaline terkekeh seraya mempercepat gambarnya yang sebentar lagi selesai. Sejenak anak itu terdiam. Tangannya bergerak mengusap pelan gambar Erald yang dibuatnya.
"Mai, gambarnya udah?"
Puk… Mairaline menutup buku gambar miliknya. "Iya, udah." Senyuman itu mengembang saat pekikan girang dari saudarnaya terdengar.
"Yeay…!" Nai mengangkat tinggi kedua tangannya. "Kalo gitu sekarang kita main?" Tanya Nairaline antusias.
Mairaline tersenyum seraya mengangguk. "Iya."
"Kalo gitu, kejar Nai!" Tanpa aba-aba Nairaline berlari diiringi tawanya.
"Nai curang,,, ya!" Teriakan Mairaline terdengar, ikut berlari mengejar saudaranya.
Kedua anak itu bermain dengan riangnya di kamar Mairaline, menghabiskan waktu seharian penuh. Memanfaatkan kesibukan Erald di perusahaan-Nya.
Hingga esok pagi datang tanpa mereka sadari. Erald pria itu akan selalu menyempatkan diri mengantar Nairaline dan melihat perkembangan putrinya yang lain sebelum berangkat sekolah sesibuk apapun dia.
"Nai, Kata Marni Nai punya pekerjaan rumah. Mana? Papa pengen lihat!" Erald mengambil tas sekolah Nairaline.
"Ada di tas paling depan, Papa!" Ucap Nai melihat Erald mengaduk-ngaduk tas miliknya.
Erald membuka buku gambar Nairaline, "ini kenapa gambarnya belum selesai?" Tunjuk Erald melihat sebagian gambar tidak diberi warna.
Nai terdiam, matanya membulat melihat gambar miliknya yang belum selesai. Nai lupa, pekerjaan rumahnya belum Nai kerjakan.
"Maaf, Papa. Nai lupa," cicit Nairaline menunduk dalam menatap sepatu putih miliknya.
"Kenapa bisa lupa?" Erald menatap lekat Nairaline.
"Nai kemarin main sama Mai." Jawaban pelan Nairaline nyatanya menyalakan percikan api dalam diri Erald.
Pria itu menghunuskan tatapan tajamnya kepada Mairaline yang sekarang bergetar ketakutan dengan sepatu yang menggantung di sebelah tangannya, belum sempat gadis kecil itu pakai.
"Udah Papa bilang, jangan main sama Mai. Kalau mau main sama Marni!" Tekan Erald di setiap katanya yang mampu meluluhlantakkan putrinya Mairaline.
"Tapi Nai kan pengennya main sama Mai!" Gumam pelan Nairaline.
"Papa bilang… NGGAK, YA NGGAK NAI, jangan ngeyel kamu!!" Marah Erald.
"Dan kamu, jangan membawa pengaruh buruk bagi putriku!" Desis Erald menarik kasar tas sekolah Mairaline. Tanpa sempat melawan, Erald dengan teganya mengoyak buku gambar putrinya. Mai menatap nanar buku gambar miliknya tanpa bisa melakukan apapun.
"PAPA…!"
Mairaline terdiam mendengar teriakan saudaranya. Anak itu hanya mampu mengusap pelan gambar yang dibuatnya kemarin. Sobekan itu tepat mengenai gambarnya sendiri.
"Bukan salah Mai, Papa!"
"NAI…!" Bentak Erald.
"Nai bilang bukan salah Mai, Papa…!" Teriak Nairaline lagi.
"Papa bilang DIAM…! Berangkat sekolah sekarang! Papa nggak mau punya putri pembangkang." Desis Erald meraup wajah lelah seraya berlalu pergi meninggalkan kedua putrinya.
Dengan menahan marah Erald mencengkram setir sampai kuku jarinya memutih. Dikantukkannya kepala itu pada setir, selama beberapa detik pria itu terdiam dengan mata terpejam. Tidak ada yang tahu apa yang sedang pria itu rasakan, Erald tenggelam semakin dalam. Pria itu kesepian dengan rasa sakit kecewa yang semakin tertanam dalam karena tidak mampu mengikhlaskan.
"Mai, maaf!"
"Nggak, apa-apa!" Senyuman lebar dari Mairaline tidak dapat anak itu berikan. Pelan-pelan Mairaline melepaskan pelukan saudara kembarnya. Dalam diam memasang sebelah sepatunya lagi.
"Maafin Nai!" Isak Nairaline berseru, gadis kecil itu berkaca-kaca memegang tangan Mairaline.
"Nggak, apa-apa. Mai nggak, apa-apa!" Mairaline menggeleng, air matanya jatuh saat di memeluk Nairaline.
"Beneran? Tapi, Papa marah sama Nai!"
Mai mengusap pelan air matanya, dna mengurai pelukan. "Papa nggak marah. Kata Mama kalau Papa gitu, Papa lagi capek aja!" Hibur Mai tersenyum tipis. Demi apapun, Mai sadar bahwa saat ini dia sedang berpura-pura baik-baik saja.
"Beneran?"
"Iya. Sekarang kita berangkat aja, ya!" Mai menarik Nai mengikutinya. Mereka berdua duduk bersisian di dalam mobil.
"Mai, gimana kalau Miss Cara marah?"
"Nggak. Nai nanti lanjutin aja ya, gambarnya!"
"Kalo Mai?"
"Mai nanti aja." Gumaman Mai nyaris tidak terdengar, anak itu menatap kendaraan lain yang berlalu lalang dari jendela.
Dari samping Nai terdiam menatap Mai ditemani Uprit yang memandang kedua anak majikannya dari kaca spion mobil.
21 Juli 2019,
Kala itu Mai masih ingat dengan jelas Papa, buku gambar Mai yang sobek memang akan membekas ketika diperbaiki. Tapi Mai memilih tidak memperbaikinya, Mai membuangnya. Karena Mai memilih membuat yang baru dengan membuka lembaran baru dan melupakan yang lalu. Mai tidak ingin mengenang sesuatu yang buruk mengenai Papa dalam ingatan Mai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Nur Hayati
Nai cemburu sama nai😢
2023-06-30
1
Nur Hayati
Sukaaa,,, mai😔
2023-06-30
1