Suara langkah kaki memenuhi gendang telinga seorang anak. Satu persatu satu dari mereka turun mengikuti instruksi pembimbing. Mairaline mematung, menunggu Nairlaine yang belum apa-apa sudah kepayahan dengan dua tas jinjing miliknya.
"Mai, bantuin Nai!"
Benar, permintaan dari saudaranya tidak bisa Mairaline abaikan mengingat petuah dari Erald. Dengan mirisnya anak itu mengulurkan tangan mengambil alih tas yang lebih kecil dari saudaranya, disaat dia sendiri pun tidak yakin dengan tas jinjing miliknya.
"Makasih, Mai!" Senyum dari Nairaline merekah.
"Iya, sama-sama." Balas Mairaline. Berjalan bersisian di belakang Nairaline menuruni Bus wisata mereka.
Kaki itu berhenti, suara bisik yang ditangkap alat pendengarnya memenuhi gendang telinga Mairaline. Pandangannya mengedar, orang-orang sibuk dengan diri mereka sendiri ketika guru memberikan arahan. Segera, Mairaline menarik untaian rambut guna menutupi alat pendengar miliknya, rasa tidak percaya diri lagi-lagi hadir dalam diri anak itu.
Dia terdiam sejenak, setelah itu meletakan tas jinjing miliknya dan Nai sesaat setelah Carra menyuruh mereka berkumpul. Membagi murid perempuan di bawah naungannya menjadi dua bagian dengan masing-masing sepuluh orang dalam satu tenda.
Entah petaka atau keberuntungan baginya disaat dia dan saudaranya berada dalam tenda terpisah.
"Yeay…! Ana setenda sama Mai." Ana bergerak cepat dengan berdiri di tengah-tengah Nairaline dan Mairaline. Membuat Nairaline mendelik tidak suka.
"Nai juga mau, Miss Carra! Kenapa biarin Ana yang setenda sama Mai?! " Nai melayangkan protesnya.
Carra terdiam dengan pikirannya. Melihat buku catatan miliknya. Iya, seharusnya Nairaline memang satu tenda dengan Mairaline. Tapi, melihat bagaimana kejadian barusan terjadi di depan matanya, mau tidak mau Carra membuat kebijakannya sendiri.
"Nai sayang, Miss Carra udah buat daftarnya dari absensi. Lagi pula sekarang Nai satu meja sama Yura, Nai nggak mau satu tenda sama Yura?" Perkataan Carra membuat Nairaline sejenak terdiam kemuadian berkata.
"Mau. Tapi Nai juga mau satu tenda sama Mai!" Ucap pelan Nairaline.
"Nai jangan sedih. Nanti Nai bisa ke tenda Mai, kalo ada apa-apa Nai bilang sama Mai, aja!" Tepukan pelan Mairaline dipundaknya membuat Nairaline tersenyum. "Iya, tapi Mai jangan deket-deket sama Ana terus!" Bisik Nairaline, lalu menjulurkan lidah kepada Ana. Tentunya dengan balasan delikan dari Ana.
Mairaline yang melihatnya tidak mampu menahan senyum. Segera, tanpa sempat berbicara kepada Nairaline. Sebelah tangannya ditarik Ana menghampiri tenda bermalam mereka. Mai sempat melirik Nairaline, berjalan bersisian dengan Yura dan teman kelasnya yang lain.
"Mai, mau satu tenda sama Nai?" Ana mengangkat dahi, meletakan tasnya bersisian dengan Mairaline. Anak itu kemudian tanpa sungkan duduk berselonjor di dalam tenda beralaskan tikar 4×5 meter seluas tenda.
"Maaf, ya. Ana pegel!" Ucap Ana meringis.
"Nggak apa-apa. Kaki Mai juga pegel!" Deretan gigi kecil Mairaline terlihat. Ikut berselonjor kaki sama seperti Ana.
"Mai seneng?"
"Kenapa?"
"Ana nggak pernah liat Mai senyum kayak gitu!"
Mairaline menelan ludah, pernyataan Ana barusan membuatnya tidak bisa berkata-kata.
"Kenapa diem? Nggak apa-apa kok, Ana seneng Mai senyum kayak gitu. Cantik." Sangkaan Ana melesat jauh, saat dia mengira senyuman yang sudah lama tak tampak itu adalah murni karena rasa tidak percaya diri Mairaline.
"Iya, Mai juga seneng." Senyuman lebar Mairaline merekah, ingatannya masih terus berputar saat Papanya memanggil namanya.
Mendengar itu suara Ana terdengar. "Hehe…!" Tawanya membaur di tengah bisik teman-teman nya yang lain. Sudah puas dengan tawanya, Ana kembali berkata. "Oh, iya. Mai belum jawab pertanyaan Ana yang tadi, loh!"
"Yang mana?"
"Yang tadi. Mai mau sama Nai?"
Mairaline mengatupkan bibir. Kemudian berkata, "Iya. Soalnya Papa suruh Mai jagain Nai!"
Perkataan itu membuat Ana juga mengatupkan bibir, tidak mengerti dengan keluarga dari temannya Mairaline.
"Nggak apa-apa. Mai disini aja sama Ana. Nai bisa dijagain sama Miss Carra, guru yang lain juga banyak, kok!" Usul Ana.
Mai mengangguk membenarkan, sedikit memikirkan perkataan Papanya dan Ana, sampai temannya yang lain berkata.
"Mai, Ana, ayo! Miss Carra suruh kita keluar."
Mai dan Ana bergegas, mereka kembali berkumpul bersama teman-temannya yang lain di tengah-tengah 6 tenda yang melingkar. Dari tempatnya berpijak Mai bisa melihat Nai yang tertawa senang bersama Yura. Tidak memungkiri rasa senang juga hadir dalam dirinya melihat Nai seperti itu.
Merasa puas, Mairaline mengalihkan tatapannya pada pembimbing di depannya. Seorang guru laki-laki menjelaskan tahap pembelajaran pertama adalah mengenal alam di sekitar mereka.
Masing-masing guru membawa sepuluh murid. Nairaline sendiri bersama sembilan temannya yang lain pergi bersama seorang guru perempuan.
Sementara Mairaline, dia ikut bersama Carra ke sisi timur. Pemandangan di depannya membuat anak-anak itu terpana. Pepohonan besar menyambut mereka, gendang telinga Mairaline mendengung saat pepohonan disekitarnya bergerak berirama dengan kicauan burung dimana-mana. Sesekali tawa senang dari anak itu terdengar tatkala Ana dan teman-temannya bermain.
Saat itu, Carra baru melihat bagaimana Mairaline tertawa dan bermain seperti anak sebayanya. Bebas, senang, dan masih belum mengenal kejamnya kehidupan seperti apa.
Melirik jam tangannya, wanita itu lekas berdiri menghampiri sepuluh anak didiknya. Membuat anak-anak itu berhenti bermain, terdiam menatap Carra. "Mainnya udahan, yuk! Udah mau sore, sekalian mandi biar seger."
"Kalo udah mandi, apa lagi Miss?" Tanya seorang anak.
"Nanti Miss kasih tahu. Sekarang ambil baju sama perlengkapan mandinya, ya! Kalo udah mandi jaketnya sekalian dipake biar nggak kedinginan. Nanti malem kita bakar-bakar marshmallow, mau!"
"Mau…!"
Sorak anak-anak itu terdengar, setelahnya mereka terdiam menatap Carra. Membuat wanita itu meringis.
"Kenapa masih diem? Mandinya antri loh!"
Mendengar ucapan Carra, mereka lekas berlarian menuju tenda yang yang tak jauh dari lokasi. Mairaline memelankan langkah mengatur nafasnya seraya duduk di sebelah Ana.
"Hhh… Ana seneng deh!"
"Mai juga seneng. Seneng banget…!" Ucap Mairaline tersenyum lebar.
Ana memaku menatap senyuman lebar Mairaline. Senyuman serta ucapan sepele itu terdengar sangat berarti di telinga Ana. Rasanya, temannya Mairaline sekarang benar-benar bahagia.
Sore itu anak-anak berdiri beberapa baris menunggu antrian. Mai hampir lupa dengan Nai jika saudaranya itu tidak berdiri di sebelahnya bersama Yura.
"Nai!" Panggil Mai.
Nairaline menoleh, senyuman lebar anak itu terpatri. "Nai nggak tahu Mai berdiri di samping Nai."
"Nai bawa perlengkapan mandinya?" Tanya Mairaline mematikan.
"Bawa." Nai mengangkat tas kecil di tangannya. Lalu berkata lagi. "Mai lupa, ya? Papa yang siapin perlengkapan Nai."
Diam. Mairaline hanya mengulas senyum tipis tanpa ingin memperpanjang obrolannya. Nairaline juga sudah tampak tidak berminat lagi, melangkah masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Mai yang kembali termenung.
Pluk…!
Jaket merah muda miliknya terjatuh dari paku yang tertancap di kamar mandi saat Nairaline tidak sengaja menarik pakaian miliknya. Dengan terpongoh-pongoh dia segera mengangkat jaket merah muda yang sudah basah kuyup itu. Rasa gelisah tidak bisa anak itu tampik melihat teman-temannya yang lain sudah berpakaian hangat, dengan tergesa-gesa Nairaline berjalan menghampiri tenda saudaranya.
"Mai!" Panggil Nai saat netranya bergerak kesana kemari mencari Mairaline.
Dari duduknya Ana mendelik tidak suka saat Nairaline melangkah masuk ke dalam tenda. "Ngapain Nai kesini?" Semprot Ana, segera bangkit lalu berdiri di depan Nairaline. Guna mencegah Nairlaine masuk lebih dalam.
Nairaline sendiri tampak tidak peduli, memilih mengedarkan pandangannya mencari Mai.
"Mana Mai?" Tanyanya.
"Ngapain cari Mai?" Alis Ana mengerut tidak suka. Bersiap-siap hendak menarik tangan Nai keluar dari tenda, sampai Mairaline datang dan mengurungkan niat Ana.
"Nai kenapa?" Tanya Mai khawatir.
"Jaket Nai basah." Bibir itu merenggut dengan mata berkaca-kaca, siap menangis.
Mairaline tidak tahu harus berkata apa dengan pengakuan dari saudaranya. Dia hanya bisa termenung mengingat pesan dari Erald, tidak berkata-kata sebelum Nairaline kembali menyadarkannya.
"Mai…!"
"Biasa aja dong, jangan kayak gitu panggilnya!" Sentak Ana kesal mendengar nada panggilan dari Nairaline yang sedikit membentak.
"Pakai punya Mai, aja!" Ucap Mairaline tanpa pikir panjang. Mendapat tatapan protes dari Ana yang merasa tidak terima.
"Beneran?"
"Mai, jangan dikasih sama Nai!" Cegah Ana saat Mairaline membuka kembali sweater biru miliknya, memberikan sweater itu kepada Nairaline.
Senyuman Mai mengembang menatap Nairaline yang telah mengenakan sweater miliknya. Lalu dia berkata.
"Nggak apa-apa. Papa suruh Mai jagain Nai, kalo Nai sakit artinya Mai nggak bener jagain Nai." Ucapan Mairaline mampu membuat Ana tidak bisa berkata-kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Fenti
kapan ayah mai ini sadar
2023-09-03
2
Armelia
Ya ampun, Maiii....!!!😭😭😭
2023-08-21
2