Boneka Yang Hilang

"Mbok nggak boleh pergi!" Mairaline manahan tangis, gadis kecil itu menggenggam erat pakaian yang tengah dikenakan Mbok Minah.

"Maaf Non, Mbok harus pergi. Non baik-baik di sini, belajar yang rajin, nurut sama Tuan. Kalo udah waktunya Mbok sama Non ketemu!" Mbok Minah menangkup kepala Mairaline lalu mencium kepala itu bertubi-tubi. Bagaimana wanita tua ini bisa meninggalkan anak majikannya seorang diri?

"Hiks...Mbok!"

"Yang sabar Non. Non harus kuat, ya!"

Tangisan Mairaline semakin mengeras mendengar ucapan Mbok Minah. Dan malam itu, takdir kembali meninggalkan Mairaline seorang diri. Mbok Minah pergi serta membawa kasih sayangnya.

"Mama, Mai lagi sedih. Mbok Minah dipecat sama Papa!" Mairaline menatap foto Relin di kamarnya. Kesedihan tidak dapat anak itu tutupi tat kala Mbok Minah keluar dari kediaman Atmajaya.

"Mama_apa kabar?" Mai menatap lamat-lamat foto Relin. Berharap sakit di hatinya bisa terobati.

"Mama, hiks... Mai mau sama Mama aja. Mai nggak mau sendirian. Hiks... Mai mau sama Mama!"

Mairaline, anak itu menangis sampai terbawa tidur. Ditengah tamaram nya malam dia memeluk tubuhnya sendiri. Melewati malam untuk menyambut hari yang tidak lagi sama. Karena pagi ini, Mairaline harus terbiasa bangun untuk menyambut hari tanpa Mbok Minah.

"Non, maaf. Mbak nggak bangunin Non!" Nada sesal itu keluar dari Mimin, salah satu pekerja rumah yang selalu menemaninya bersama Mbok Minah.

"Nggak apa-apa Mbak. Papa, nggak marah Mbak disini?!" Tanya Mai takut-takut melirik pintu.

"Nggak. Tuan udah berangkat sama Nona Nai!" Geleng Mimin hati-hati menatap Mairaline. Takut melukai hati yang sudah tidak terbentuk itu.

"Sama Nai, ya?!" Beo Mairaline menatap kosong.

Mimin mengatupkan bibirnya, menahan enyuhan rasa tidak enak dalam hatinya. "Non juga harus siap-siap!" Ucap Mimin tertahan melihat anak majikannya membisu menatap jam di dinding kamar.

" Tapi Mai telat." Lirih Mai mengalihkan tatap kepada Mimin.

06:34 WIB

"Nggak apa-apa. Yang penting Non masuk sekolah, nanti Mang Uprit yang anter, ya!" Bujuk Mimin.

Mairaline membisu tidak lagi berbicara. Anak itu hanya mengangguk dan memperhatikan Mimin saat wanita itu menyiapkan perlengkapan sekolahnya.

07:11 WIB, Mairaline manatap pagar besar di depannya. Entah apa yang sedang di bicarakan Uprit bersama satpam sekolah, yang pasti satpam berusia 45 tahunan itu membuka gerbang secara sukarela. Membuat Mairaline secara gamblang masuk.

"Non, nanti Mamang jemput, ya?!" Ucap Uprit setelah mengantar Mairaline masuk ke dalam.

"Iya." Jawab Mai. Uprit lekas melenggang pergi meninggalkan Mai bersama Carra.

"Ayo, masuk sama Miss!" Ajak Carra melangkah masuk bersama Mairaline di sampingnya.

Mai meremat tali tas dipunggungnya saat semua pasang mata menatapnya. Getaran resah merambat cepat memenuhi hatinya saat satu kalimat keluar dari salah satu teman kelasnya.

"Miss Cara! Mai telat, ya?" Tanya anak bernama Yura, dia duduk dimeja ketiga dari depan sebelum Mai dan Nai.

"Mai nggak sepenuhnya telat kok, belnya aja baru bunyi!" Bela Carra.

"Telat Miss!"

"Iya, Yura. Nggak apa-apa, kalo pelajaran Miss udah dimulai dan Mai baru masuk Mai telat. Ini baru bel, Miss juga baru masuk sama Mai. Jadi nggak apa-apa!"

"Tapi, Mai kenapa telat?" Tanya Yura.

"Maaf, Mai kesiangan!" Mairlaine menatap semua pasang mata yang menatapnya sampai tatapannya bersitubruk dengan Nai.

"Kok telat sih? Mai nggak bisa denger alarm, ya? Maaf, Yura lupa, Mai kan nggak bisa denger." Pertanyaan itu sontak meluncur, mengundang tawa beberapa anak lain.

Mairaline menggigit bibir menahan tangis, air mata di pelupuk matanya siap tumpah hanya dengan satu kedipan. Segera, sahutan dari anak yang lain terdengar.

"Hukum Miss...!" Teriak salah seorang anak bernama Evan.

Dari mejanya Nairaline hanya bisa membisu, menatap saudaranya dengan rasa bersalah.

Tok__tok__

Mairaline menatap Behind The Ear (BTE) di atas meja, ingatannya berputar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Kesunyian menerpanya saat pintu kamarnya di ketuk-ketuk. Dia sama sekali tidak terusik, senyap kini menemaninya.

Cklek___

Drap...drapp... Suara langkah kaki terdengar dibelakang Mairlaine. Namun anak itu masih belum menyadari sampai bahu dibalik baju tidur itu mendapat tepukan. Membuat sang empu berjinggjit kager.

"Syutt... Ini Nai!" Bisik Nai mengarahkan jari telunjuknya pada bibir.

"Nai?" Mairaline menatap saudara kembarnya tidak percaya.

"Gimana kalau Papa tahu? Nai nggak boleh di sini!" Mai bangkit berdiri menarik Nairaline keluar dari kamarnya.

"Nggak. Nai nggak mau. Papa nggak bakal tahu, Mai!" Kukuh Nairaline menarik tubuhnya sendiri. Tidak membiarkan tubuhnya terbawa.

"Mai nggak mau Papa marah!" Beo Mai pelan.

"Dan Papa nggak bakal tahu Mai."

Mairaline dan Nairaline sama-sama kukuh dengan keinginan mereka sendiri. Mai takut Erald tahu, dan membuat Papa nya benar-benar marah kepadanya. Sedangkan Nairaline, gadis kecil itu terlalu percaya dengan keyakinan nya sendiri.

"Beneran Mai. Papa tadi tidur, Papa nggak akan tahu!" Angguk Nai yakin.

"Papa, tidur? Papa nggak sakit, kan?!" Pertanyaan itu lolos, alis coklat itu mengerut pertanda khawatir. Tidak biasanya Papapnya tidur di jam 8 malam.

"Papa nggak sakit. Papa sehat!"

Mairaline menghembuskan nafas leganya. mendengar jawaban dari Nairalina. Hening, Mai menatap Nairaline menunggu saudaranya yang tampak akan berbicara. "Nai mau minta maaf udah ninggalin Mai."

"Dan lupain Mai." Lanjut Nairaline bercicit.

Mai diam, dia sama sekali tidak marah kepada saudara kembarnya. Nai itu saudara dan teman pertama untuk Mai. Bagaimana Mai bisa marah? Mama juga akan sedih bila Mai marah kepada Nai dan Papa. Mai nggak mau kayak gitu.

"Mai nggak pernah marah sama Nai. Jangan minta maaf kaya gitu!"

"Nggak marah?" yakin Nai.

Mai mengangguk. "Iya, beneran. Tapi janji, Nai jangan tinggalin Mai lagi! Mai sedih."

Nairaline menyambut sodoran jari kelingking Mairaline. Kedua gadis kecil itu berpelukan, bibir mereka tersenyum lebar saling menatap kemudian tetawa di tengah malam itu. Tanpa pernah menyadari mungkin saja Erald tengah berdiri di balik tembok kamar Mairaline.

Nai menepuk dahi. "Aduh, Nai hampir aja lupa. Papa tadi siang beli boneka di Mall untuk Nai. Cantik kan?" Nairaline menunjuk boneka yang ia letakan di depan pintu.

Mai terpaku, menyentuh pelan tangan boneka beruang milik Nai. "Iya, cantik." Tak dapat di pungkiri rasa cemburu kembali menyergap hati kecil Mai. Mai lupa kapan terakhir kali Erald membelikan boneka beruang untuk nya. Rasanya sudah lama sekali.

"Boneka nya empuk, Mai!"

Mairaline hanya bisa tersenyum, menatap penuh minat saat Nai memeluk boneka beruang kecil itu.

"Ini buat Mai!"

"Buat Mai?" Kaget Mai.

Perkataan Nairaline membuat binar mata Mai terlihat, tak ayal Mairaline merasa senang dengan hal kecil itu. Tidak lama setelahnya gadis kecil itu menggeleng, bersama hilangnya binar di kedua matanya.

"Kenapa? Katanya cantik." Nairaline mengerut heran.

"Nggak papa. Itu Papa belikan buat Nai, bukan buat Mai." Lirih Mairaline sekali lagi menggeleng.

"Tapi Nai minta boneka ini buat Mai. Nai nggak suka beruang, Nai suka kelinci sekarang." Nairaline menggeleng, menunduk lesu menatap boneka ditangannya.

"Papa, nanti marah kalo tahu."

"Nggak. Soal nya Papa nggak tahu!" Seru Nairaline.

Mai termenung, memikirkan apa yang dikatakan Nairaline barusan. Iya, kalau Papa nggak tahu. Papa nggak mungkin marah sama Mai.

"Nai bener." Mairaline berbinar, menyambut boneka pemberian saudara kembaranya.

"Makasih buat boneka nya. Mai suka!" Senang Mai.

"Sama-sama. Nanti kita main boneka lagi kaya dulu, ya!" Nairaline mengangguk meyakinkan Mairaline.

Dua gadis kecil itu berjanji akan bermain boneka lagi seperti dulu. Menyambut hari esok, esok, dan esoknya lagi saat mereka bisa bermain tanpa sepengetahuan Erald.

21:13 WIB, Nairaline keluar dari kamar Mairaline. Satu menit berselang seseorang kembali masuk, membangunkan Mairaline saat ia akan tertidur kembali sambil memeluk boneka beruang itu.

"Papa!" Mai tercekat menatap Erald di depannya.

"Jangan bermain dengan anakku!" Erald berdesis, mengambil boneka beruang itu tanpa sempat Mairaline memeluk bonekanya dengan erat. Dia menyerah tanpa perlawanan.

"Tapi__ Nai yang ngasih boneka nya, Papa!" Cicit Mai menatap lirih boneka beruang di tangan Erald.

Mairaline seperti berada dalam mimpi saat Erald masuk ke kamarnya. Dan mengetahui semuanya. Gadis kecil itu tidak berdaya, Mairaline seperti kelinci ditangan harimau. Berdiam ketakutan dengan gemetar.

"Jangan menyalahkan putriku! Itu semua salah mu. Salah mu yang mau menerima bonekanya." Rahang Erald mengeras, menatap tajam Mairaline.

Pria itu sama sekali tidak peduli dengan putrinya. Mairaline menahan tangis, tubuh itu bergetar. Malam itu benar-benar membawa Mai dalam lorong gelap tanpa cahaya. Jiwanya berdiri diantara rasa sakit dan pengharapan kasih sayang kepada Erald.

"Kenapa Mai yang salah Papa?" Mairaline menatap nanar punggung lebar Erald.

"Karena, istri ku pergi karena mu."

Deg…

Mairaline mematung, hatinya mencelos merasakan sakit. Benar-benar sakit sekali, sampai Mai tidak tahu rasanya seperti apa.

Boleh sekali saja Mai memeluk Papa, untuk memendam sakit?

Tanpa mempedulikan putrinya Erlad pergi membawa boneka beruang itu. Meninggalkan Mairaline dalam tamaramnya malam yang gelap. Membiarkan anak itu menangis ditemani sunyi.

2 Juli 2019,

Nyatanya semua memang salah Mai, Papa. Salah Mai yang terlahir tuli, salah Mai yang tidak pernah sempurna untuk menjadi putri Papa.

Maafin Mai, Papa. Maaf, karena Mai membuat Mama pergi untuk selamanya. Jika Tuhan mengijinkan, Mai ingin bertemu Mama.

Terpopuler

Comments

Allaric Rudi Syahputra

Allaric Rudi Syahputra

othor nya kasih bawang trs nich 😭😭😭
semangat Thor 😍😍🥰

2023-10-02

1

Fenti

Fenti

kok nyesek😭😭

2023-07-31

2

Sewindu

Sewindu

makasih kakak...🥰

2023-06-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!