Mairaline menatap nanar pemandangan di depannya. Dia juga ingin pergi bersama Papa dan Nai mengunjungi Relin, Mama nya. Satu tahun tanpa pertemuan membuat Mai berada dalam kobangan rindu.
"Papa, Mai mau ikut!" Mairaline bercicit takut memilin jari jemarinya, tidak kuasa menatap mata tajam Erald.
"Jangan!" Ucapan dingin itu terlontar.
Tanpa berniat menatap putrinya Erald melengos pergi meninggalkan Mai dibalik pintu kediaman Atmajaya dengan Nai di dalam gendongannya.
Hati itu berdenyut sakit, Mairaline hanya bisa menatap sendu pungung lebar Erald yang semakin menjauh. Sampai mobil pria itu ditelan jarak Mairaline masih berdiri dalam rasa sedih miliknya.
"Papa, kenapa Mai nggak ikut?" Tanya Nai masih menatap saudaranya di balik kaca spion. Berdiri kaku menatapnya dan Papa mereka.
"Mai harus belajar."
Spontan ucapan itu mengalihkan tatapan Nairaline. Anak itu menyeriat tidak mengerti.
"Belajar?"
"Iya. Nanti Nai juga akan belajar seperti Mai setelah mengunjungi Mama."
"Nanti, Nai sekolah?"
"Iya."
"Sama Mai?" Pertanyaan itu sekejap membuat Erald terdiam.
"Iya." Jawabnya singkat.
"Papa, kalo gitu nanti kita beli tas nya kembaran ya?"
"Hmm, diem. Papa lagi nyetir!" Ucapan Erald membuat Nai mengurungkan niatnya.
"Iya, Papa." Nai menyandarkan kepalanya ke jendela, tidak mempunyai niat bertanya kepada Papa nya lagi.
Detik dan menit berlalu, Erald berdiri tepat di depan Pemakaman Umum Pondok Indah. Nafas berat berhembus, tenggorokannya tercekat, lagi-lagi hatinya menjadi sesak tiada terkira. Relin nya sudah berpulang ke rumah Tuhan, tanpa sedikit pun berpamitan dengannya.
"Halo sayang!" Beo Erald tercekat. Lama pria itu termenung menatap lamat batu nisan bertuliskan Relin Atmajaya. "Aku bawa Nai kesini. Kamu baik-baik di sana, ya! Dan maaf, aku belum bisa berlapang dada untuk sekedar merelakanmu."
Erald, pria itu bahkan masih merasakan sakitnya setelah satu tahun kepergian Relin. Namun sayangnya Erald lupa, bukan hanya dirinya saja yang terbelenggu dalam duka.
Mairaline, nama yang dulu Erald berikan dengan kasih sayangnya. Ke tulian yang tak berarti apa-apa untuknya. Karena bagi Erald, Mairaline sempurna. Erald seolah lupa bagaimana senangnya ketika Mairaline pertama kali mendengar suaranya. Bayi kecil berumur 10 bulan itu baru bisa mendengar di saat bayi lain nya bisa mendengar suara orang tua nya. Dan kesempurnaan itu sekarang menyakitinya.
Kesempurnaan dalam kesenyapan yang tanpa sadar membawa senyap itu dalam lorong gelap tanpa cahaya. Mairaline terperangkap dalam labirin kesempurnaan yang Erald buat.
Seperti Pluto yang harus puas dengan julukan 'Planet Kerdil' ada namun tak di akui. Maka Mai juga harus puas dengan ramai dalam kesepian yang ia dapat.
"Mama, Mai rindu."
23 Juni 2019,
"Mbok. Ayo, Mai sudah tak sabar!"
Tanpa peduli dengan kehadiran Erald, Mairaline berlari menghampiri Mbok Minah yang menenteng tas belanja. Kemarin Mbok Minah berjanji akan mengantar Mai menemui Mama.
"Kemana?" Suara Erald menghentikan langkah Mai dan Mbok Minah. Sungguh, sekarang Mai takut bila Erald melarangnya.
"Ini Tuan. Nona berniat ikut bersama saya ke pasar." Cicit wanita paruh baya itu mengeratkan genggaman tangan gempalnya pada Mairaline.
Mairaline tidak sedikit pun berani menatap Erald. Papa nya lebih menakutkan dari senyap yang selalu menghantuinya.
"Ke Pasar?!" Nai berseru meninggalkan mainannya menghampiri Erald.
"Papa, Nai juga pengen ke pasar Pa!"
"Nggak. Di pasar banyak debu, Papa tidak mau Nai sakit." Tegas Erald meraup Nairaline dalam dekapannya.
Cemburu? Tentu saja, Mai amat sangat cemburu dengan saudara kembarnya.
"Tapi Mai boleh Papa. Kenapa Nai tidak?" Beo Nai mendongak dengan mata berkaca-kaca.
"Karena Papa sayang Nai. Papa tidak mau Nai sakit. Dan Mai, Papa merasa tidak keberatan."
"Beneran?"
"Iya." Angguk Erald.
Perkataan Papa nya membuat Nai tersenyum tanpa menyadari saudara kembarnya sendiri tengah tercekat mendengar kata-kata Papa mereka. Pertanyaan yang mendatangkan badai di dalam hati Mai.
"Tuan__"
"Pergi saja." Acuh Erald memotong ucapan Mbok Minah tak peduli. Pria itu pergi meninggalkan putrinya bersama putrinya yang lain dengan luka menganga.
Jujur saja, Mai senang saat Papa nya mengijinkannya. Tapi, Mai juga tidak senang saat Papa nya mengijinkannya.
"Non nggak papa, kan?" khawatir Mbok Minah.
"Tidak Papa Mbok. Ayo kita pergi! Mai sudah tak sabar."
Mairaline berjalan meninggalkan Mbok Minah. Senyuman kecil anak itu begitu cantik, namun sayang. Luka tetaplah luka yang tak bisa ditutupi begitu saja. Wanita paruh baya itu tahu anak majikannya tidak baik-baik saja. Anak kecil itu terluka, dan dirinya hanya wanita tua yang bekerja sebagai pembantu tanpa kuasa di tangannya. Dirinya tidak berdaya.
Mairaline menatap kosong gedung-gedung tinggi di balik jendela mobilnya. Dulu, Mama selalu mengenalkan seisi dunia tanpa pernah lelah saat Mai tidak memahaminya. Tapi, mengapa harus pergi saat Mai sudah mengenal dunia yang sebenarnya, Ma? Mengapa meninggalkan Mai seorang diri di sini, Mama?
Tuhan, jangan ajarkan Mai cara untuk melupakan. Biarkan ingatan ini mengenang bagaimana sakitnya, karena Mai ingin selalu mengingat Mama, Tuhan.
"Sudah sampai Non!"
"Sudah sampai?"
"Iya Non, kita sudah sampai. Prit kamu tunggu disini ya, Mbok gak akan lama."
Mai dan Mbok Minah meninggalkan supir keluarga Atmajaya di sana. Semilar angin menyapu wajah Mai, hatinya berdesir menatap gundukan tanah jauh di depan sana. Mai tahu itu tempat peristirahatan Mama nya.
"Mbok, itu rumah baru Mama!"
"Iya Non!" Angguk Mbok Minah, setelahnya hanya terdiam menatap anak majikannya. Biarkan anak majikannya meluapkan rindu. Rindu kepada sosok seorang Ibu yang tak lagi bersamanya.
Mai berjongkok di depan batu nisan bertahtakan nama Relin Atmajaya. Hatinya kian sesak bagaikan bendungan tua yang siap roboh kapan saja. Mai rindu, sungguh rindu. Satu tangannya terulur menyentuh batu nisan bertahtakan nama Relin. Terasa hangat, seolah-olah Mama nya masih ada bersamanya. Memeluk tubuh ringkihnya sekali lagi.
Tuhan, sungguh Mai merindukan Mama.
Mai menggigit bibir, bendungan tua itu sudah roboh tak tersisa mengeluarkan air derasnya. Mai menangis sekuat-kuat nya.
"Mama, Mai rindu. Hiks… Mai benar-benar rindu Mama. Mama apa kabar? Apa Mama baik-baik aja? Apa Mama juga rindu sama Mai? Kalo rindu, Mai pengen ikut Mama karena Mai juga rindu sama Mama." Cucuran air mata membasahi wajah cantik duplikat Relin itu. Mai menangis dalam sesak tiada tara.
Tangan kecil itu tak pernah melepaskan pelukannya dari batu nisan sang Mama. Tuhan, kenapa ambil Mama aja?Kenapa nggak ambil Mai juga?
Untuk Mama
Mama, kau pergi ditelan kenangan
Menyisakan duka tak terbatas dalam relung
Menjadikan raga tak terisi tanpa jiwa
Andai sang takdir sedikit saja mengalah
Mungkin Mama masih di sini menemani sunyi
Namun, apa yang dikatakan beras pada nasi?
Semuanya tak akan kembali menjadi sama
Seperti Mama, yang tidak akan kembali maupun raga dan jiwanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Matthias Von Herhardt
aku nangisss... aku cengeng...
2023-09-24
2
Sewindu
Iya, makasih Kakak❤🙏
2023-08-14
3
@Naraa_Chi
*Mai
2023-08-01
2