Erald telah kembali setelah mengantar kedua nya menemui kepala sekolah. Pria itu menitipkan salah satu putrinya dengan kasih sayang.
Mairaline, gadis kecil itu berjalan pelan mengikuti wali murid di kelasnya. Mendengar Nai berseru, membuat Mai mendongak, mau tak mau menatap suasana kelas di kelas barunya. Mata caramel itu terpaku, menatap senang anak-anak di kelas barunya. Hati yang tadinya layu kembali bermekaran. Apa dia akan memiliki teman?
Dengan kesenangan yang semakin melingkupi hatinya Mai berjalan bersama Nai di sisinya, kedua bersaudara itu memilih duduk di meja yang tersisa, meja paling pojok dengan Mai yang duduk di dekat jendela.
Sekolah dalam bayangan Mai nyatanya tidak jauh berbeda, dia akan memiliki banyak teman seperti yang dikatakan Mama dulu. Gadis kecil itu menunggu gilirannya melakukan perkenalan dengan senyuman lebar.
Ketika Nai melakukan perkenalan anak-anak lain berseru saling menyahuti. Membuat Mai membayangkan hal serupa saat perkenalannya nanti. Tiba giliran Mai untuk memperkenalkan diri, tak urung rasa gugup melingkupi perasaan gadis kecil itu.
"Halo, aku Mai!" Mai memberanikan diri menatap teman-teman barunya. Melihat bagaimana sebagian anak terdiam membuat Mai menunduk takut. Apa mereka tidak mau berteman dengan anak tuli seperti dirinya?
"Miss!" Seorang anak mengangkat tangan. Mai dibuat gelisah karena nya.
"Iya, Evan. Mau bertanya?"
"Di telinga nya, apa Miss?"
Mairaline menutup mata sejenak, kesedihan melingkupi hatinya lagi dan lagi. Pertanyaan itu selalu muncul kapan pun Mai ada. Mai menghela nafas, menatap Cara di sisinya. Membiarkan guru muda itu menjelaskan mengenai telinganya yang tuli.
"Alat pendengar, Evan."
"Memang Mai nggak bisa denger, Miss?"
"Mai itu istimewa, jadi Evan harus ngerti, ya?!"
"Nggak bisa dengar, kok istimewa? Yang istimewa itu Nai, Miss Carra. Sama-sama kembar kenapa beda?" Sahut salah seorang anak perempuan berambut pirang.
"Karin sayang, nggak boleh gitu ya!"
"Tapi, Karin nggak mau temenan sama anak tuli kayak Mai." Karin menggeleng, membuat anak-anak yang lain ikut mengangguk.
"Iya, Evan juga nggak mau!" Sahut Evan menggeleng.
Mai menunduk, hatinya sakit saat dijatuhkan ke dasar yang paling dalam. Dia terkekeh miris, Mai lupa mereka tidak mau berteman dengannya. Seperti ketika mereka mau berteman dengan Nai. Maaf Nai, sekali lagi Mai merasa cemburu dengan Nai.
"Semuanya dengerin Miss!"
"Nggak papa Miss Carra, Mai mau duduk aja." Mai mengeleng, menarik pelan ujung pakaian Carra. Tangisnya tidak dapat gadis itu tahan lebih lama lagi.
Sejenak, guru muda itu terdiam menatap anak didiknya. Mairaline itu istimewa, dan Carra sama sekali tidak mempunyai pengalaman yang cukup dengan anak istimewa seperti Mai. "Mai nggak papa?"
Mairaline menggeleng, matanya berkaca-kaca . Meski pun enggan, Carra sendiri mencoba menuruti permintaan anak didiknya. "Baik, Mai boleh duduk kembali. Dan untuk semuanya, Miss minta berteman yang baik, ya!"
"Iya Miss...!!"
Mai berjalan pelan diantara seruan anak yang lain. Sengan enggan gadis itu duduk di samping saudaranya.
Hari itu semesta menjadi saksi bisu atas seorang anak bernama Mairaline Atmajaya. Nyatanya, dilahirkan dengan status anak kembar tidak menjadikan mereka sama. Dan hari itu Mai baru menyadari perbedaan besar di antara dia dan Nairaline, saudara kembarnya.
Detik-detik jam berlalu, bel kebanggaan murid JIS berbunyi nyaring 5 menit yang lalu. Semua teman-teman Mai pulang dijemput orang tuanya. Mairaline sendiri sekarang tengah kebingungan, mengelana mencari di mana Erald dan Nai berada.
Bagaikan lilin yang kehilangan cahaya nya dikala sumbunya padam. Mairaline terluntang lantung tidak tentu arah karena kehilangan kompas yang membawanya.
Di mana Papa dan Nai?
Apa Papa melupakan Mai? Atau mungkin Papa sengaja melupakan Mai.
"Mairaline, kenapa belum pulang sayang?"
Benak Carra bertanya-tanya melihat Mairaline duduk sendirian di pos sekolah. Kenapa anak itu masih di sini, di saat semuanya sudah pulang bahkan saudara kembarnya, Nairaline.
"Mai lagi nunggu jemputan." Mairaline tercekat, mata caramelnya tidak berani menatap Carra. Dia lebih suka menatap sepatu putihnya.
"Mau Miss anterin pulang?" Tanya Carra ikut menatap sepatu putih Mairaline.
"Nggak!"
Carra berdehem, sedikit membenarkan posisinya. "Kalo Nai kemana?"
"Nggak tahu!" Mai menggeleng, membuat Carra diam membisu di posisinya.
Mai, anak kecil itu mulai menumpahkan air matanya, menangis dalam diam. Pertanyaan-pertanyaan mulai meraja rela dikepalanya. Apa Papa benar-benar melupakan Mai? Apa Nai juga melupakan Mai? Kenapa meningalkan Mai sendirian di sini?
Carra menepuk-nepuk punggung Mai. Bermaksud membuat anak didiknya sedikit tenang disela-sela tangisan nya. "Miss anterin Mai pulang, ya?!"
Mairaline terdiam mengusap air matanya. "Miss mau anterin Mai?" Tanya Mai ragu.
Cara terpaku menatap mata caramel Mairaline, mata yang indah namun juga menyedihkan. Mata yang penuh dengan kesedihan.
Cara berdehem, memasang senyum lebarnya. "Mau. Miss mau anterin Mai. Ayo Miss anterin Mai pulang!" Cara mengulurkan tangan.
Mai menatap lekat tangan yang lebih besar darinya. Mau bagaimana pun keadaannya hati Mai menghangat. Mai senang masih ada yang peduli dengannya.
"Rumah kamu di mana?"
"Di jalan Santika."
Carra mengangguk, mengemudikan mobil miliknya membelah kemacetan Ibu kota.
Lucu, orang asing mau repot-repot mengantarnya pulang. Sementara Erald sendiri selaku Papa nya meninggalkan dia seorang diri di tengah ramai yang tak di kenalnya.
"Makasih Miss Cara!" Ucap Mai tulus.
Cara melirik Mai, " Sama-sama. Kalo butuh apa-apa hubungin Miss aja. Jangan sungkan, ya!"
Mairaline tersenyum, membiarkan Carra kembali mengemudikan mobilnya dengan tenang. Guru barunya seperti teman.
Dan berbicara mengenai teman, Mai sama sekali tidak mempunyai teman baru di hari pertama nya sekolah. Dia sendirian, dikucilkan dari keramain.
"Rumah Mai yang ini?" Carra menatap pagar tinggi di depannya.
"Miss Cara mau temenan sama Mai?"
Spontan Mairaline bertanya, melirik Kediaman Atmajaya. Jari jermari kecil itu memilin resah jari jemarinya. Tatapan mata caramelnya tidak bisa diam di satu tempat.
Carra terpaku, bukan karena permintaan Mairaline. Wanita muda itu sekiranya menyadari, bahwa gadis di depannya tengah menerima trauma kecil.
"Kalo Miss nggak mau, nggak papa!" Mai mengambil pemikirannya sendiri, melihat bagaimana keterdiaman Carra dengan pertanyaannya.
Dipegangnya bahu kecil Mai. "Kenapa? Miss Carra mau kok temenan sama Mai."
Mairaline ternyuh, gadis malang itu tersenyum dengan air mata di pelupuk mata caramelnya. "Beneran?!"
"Iya bener. Miss seneng bisa temenan sama anak manis kayak Mai." Carra mengangguk semangat. "Nah kita udah jadi temen. Sekarang Mai masuk ke dalem, ya! Miss liatin dari sini."
Mairalen mengangguk, rasa senang meraja rela di dalam hatinya. "Makasih Miss. Mai masuk dulu ya?" Mai mencium punggung tangan Carra. Tangan kecil nya tidak berhenti melambai-lambai setelah turun dari mobil Toyota itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
mom mimu
mampir lagi bawa setangkai 🌹 biar tambah semangat kak, lanjut lagi 💪🏻💪🏻💪🏻
2023-08-04
2
Sewindu
Kan emang sad😭
2023-07-31
1
Fenti
kak novel nya membuat aku sedih😭😭
2023-07-30
1