Senyum lebar Mairaline hilang. Tepat di depannya Erald dan Nai, mereka berdua tengah asik menghabiskan waktu luang antara ayah dan anak.
Maaf Papa, karena melihat bagaimana Papa tertawa bersama Nai. Membuat Mai sadar bahwa Papa memang benar-benar sengaja meninggalkan Mai.
Mata caramel yang penuh kecewa itu menatap nanar pemandangan di depannya. Mairaline mengepalkan tangan, tawa bahagia Papa dan saudara kembarnya tak urung membuat Mai ingin menangis. Alat di telinga itu sekali lagi di matikan sang pemilik. Senyap menyapa Mairaline saat gadis kecil itu berjalan melewati Erald dan Nai.
Erald, pria itu hanya diam dengan mata tajamnya menghunus putrinya yang lain. Membiarkan punggung itu terbakar dibawah tatapannya.
"Papa, Nai lupa!"
Nairaline, hati itu berdenyut sakit menatap saudaranya. Mengapa ia bisa lupa dengan saudaranya sendiri?
"Mai, cape Mama!" Lirih Mairaline menghempaskan tubuhnya di atas kasur berseprai biru laut. Ditatap nya foto besar Relin yang sengaja diletakan disana setelah kepergian sang Mama. Tangisan pilu tak kuasa anak itu bendung. Membuat tembok bercat biru laut itu menjadi saksi bagaimana sesaknya gadis kecil itu menangis.
"Mama, Mai mau ikut Mama aja hiks…!"
Mairaline memeluk boneka pemberian Relin. Dia benar-benar sendirian sekarang, tidak ada yang memeluknya seperti Relin memeluknya. Tidak ada lagi.
16:21 WIB, pintu kamar Mairaline Atmajaya itu berbunyi. Knop pintu di tarik, memperhatikan gadis kecil yang masih mengenakan seragam sekolah.
"Non, nggak mau bangun? Udah sore, Non dari pulang sekolah nggak makan. Bangun yuk! Mbok masakin Non nasi goreng lagi."
"Nggak mau. Mai mau sama Mama!"
"Jangan sama Mama dulu. Non di sini aja nemenin Mbok, kalau udah waktunya Non juga ketemu sama Nyonya."
Mbok Minah membujuk, wanita paruh baya yang juga seorang ibu itu menahan tangis. Tentu, hati Ibu mana yang tidak merasa sakit melihat seorang anak menderita.
"Tapi Mai mau sekarang." Beo Mairaline berkaca-kaca.
"Nggak bisa. Nanti Nyonya juga sedih kalau Non perginya sekarang."
"Sedih? Mama balakan sedih kalau ketemu sama Mai sekarang? Tapi kenapa Mbok?" Ucap Mairaline berputus asa.
"Karena Nyonya mau lihat Non bahagia dulu di sini!" Air mata Mbok Minah berjatuhan. Mengusap sayang kepala anak majikannya.
Mairaline menangis, mengapa sakit sekali?
"Papa, kenapa Mai belum turun? Makanan Nai juga sudah habis." Nairaline manatap lekat anakan tangga.
"Nanti juga turun." Erald berucap acuh.
"Kapan Papa?"
"Nanti sayang. Sekarang kamu makan dulu, anak Papa katanya tadi laper." Erald menyodorkan sendok di depan mulut Nai.
"Nggak." Geleng Nairaline.
Erald diam, tidak mencoba menyuapi Nairaline lagi. Netranya mengelana, rahangnya mengetat menatap Mairaline di anakan tangga dengan Mbok Minah. Pembantunya yang satu itu suka sekali menempel dengan anak tuli itu.
"Cepat! Putriku sudah kelaparan." Ketus Erald menatap Mairaline tak suka.
Mai menunduk, tanpa bersuara gadis kecil itu duduk di hadapan saudaranya. Mengabaikan Erald juga Nai. Demi apapun tubuh itu kaku dibawah tatapan Erald.
"Maaf, Tuan. Saya kebelakang dulu!"
"Jangan lupa bawakan susu untuk Nai!" Perintah Erald.
Mbok Minah mengangguk. Tubuh gempalnya bergerak meninggalkan satu keluarga kecil itu. Keheningan sesaat menyapa, Nairaline menatap gugup Mai, saudarnya.
"Mai kenapa?"
"Nggak papa."
"Mai marah ya, sama Nai?" Tanya Nairaline lagi.
Mairaline menggeleng, menatap nasi goreng di depannya. Mai benar-benar tidak marah kepada Nai dan juga Erald. Hanya saja hatinya tengah dilanda badai pasir yang tak kunjung reda.
Gigi Erald bergemulutuk menahan kesal. "Jawab! Anak saya bertanya." Erald menggeram menatap Mai tajam.
Mai bisa merasakan tatapan tajam Papa nya. Sangat sesak sekali rasanya di tatap seperti itu. Rasanya masih sama seperti dulu, Mai benar-benar tidak bisa terbiasa dengan tatapan tidak suka Papa kepadanya.
"Mai nggak marah," gugu Mairaline tercekat. Mata caramel itu kembali me-merah menahan tangis.
"Beneran? Kalo gitu, kenapa nggak liat Nai?" Nai memberenggut sedih. Tanpa sadar membuat Papa nya kembali bedecak kesal kepada saudaranya.
"Anak bodoh!"
Mairaline membatu, mau tidak mau gadis kecil itu menatap saudaranya dengan senyuman yang tidak pernah ingin Mai tunjukan.
Hanya beberapa detik saja Erald mematung. Hatinya berdenyut sakit menatap tatapan penuh luka anaknya, Mairaline. Sama persis seperti tatapan mendiang Relin saat merasa kecewa kepadaya. Membuat dada Erald terasa terhimpit batu besar.
"Non, ini puding yang Non minta. Di makan ya!" Mbok Minah meletakan puding coklat di hadapan Mairaline. Dan segelas susu permintaan Erald untuk Nai.
Tanpa perkerja rumah itu sadari, majikannya tengah menahan marah dengan apa yang di lakukan pekerja rumah nya.
"Nai, juga mau Papa! Tapi rasanya yang setroberi." Tunjuk Nai menatap penuh minat Mai yang melahap puding coklat itu dengan lahap.
"Mengapa tidak mengambil untuk Nai juga?"
Tubuh Mbok Minah kaku, "Maaf Tuan, saya nggak buat yang rasa setroberi!" Gugup Mbok Minah.
Erald meradang, pekerja rumah di depannya sudah tidak tahu cangkang. Melihat kepedulian pekerja rumahnya kepada Mai dan mengabaikan Nai membuat Erald merasa tidak terima saat Mairaline tidak benar-benar sendiri.
"Ambil pudingnya!" Titah Erald. Membuat Mairaline berhenti dan menatap Erald takut.
"Tapi, Tuan__"
"Saya bilang ambil!"
"Nona masih memakannya, Tuan." Mbok Minah menggeleng, membuat Erald semakin diliputi rasa marah.
"AMBIL...!!" Bentak Erald membuat mereka semua tersentak kaget.
Mairaline memegang sendoknya kuat, tubuh kecil itu bergetar ketakutan. Papa nya benar-benar menakutkan.
Mbok Minah sendiri segera mengambil puding coklat di hadapan Mairaline. Ketegangan masih menyelimuti meja makan itu setelah Mbok Minah mengambil puding buatannya. Membiarkan meja makan itu di isi keheningan mencekam.
"Detik ini juga, berhenti bekerja di rumahku!"
Perkataan Erald membawa keterkejutan semua orang. Tubuh Mairaline membatu, melihat bagaimana tubuh gempal Mbok Minah bergetar.
"Tapi Tuan, bagaimana dengan Nona Mai?" Gugu Mbok Minah.
"Mairaline?" desis Erald tersenyum miring menatap Mai yang ketakutan melihat senyuman mengerikan dari Papa nya.
"Kamu keberatan?" Desis Erald.
Deru nafas Mai memburu, jari jemarinya bertautan dengan gelisah, mata caramel itu sama sekali tidak bisa menatap Papa nya.
"Jawab, Mairaline!" Tekan Erald.
"Mai__ hhh... Nggak Pa_pa!" Mairaline menggeleng, tubuh itu kian bergetar dengan mata berkaca-kaca.
"Usir wanita tua itu dari kediaman ku…!"
Perkataan Erald membuat semua berjinjit saling menatap. Mbok Minah, wanita paruh baya itu lebih memilih mengejar tuannya, bersimpuh dengan air mata permohonan.
"Tuan, tolong jangan pecat saya!"
Mbok Minah bersimpuh, memohon belas kasihan Erald kepadanya. Melihat bagaimana Mairaline berdiri seorang diri membuat hati wanita tua itu menjerit.
"Tuan, seharusnya Tuan tidak seperti ini. Nona Mai juga anak Tuan…!" Badan gempal Mbok Minah melemas, isakan tangis keluar meratapi kekejaman Erald.
"Lihat, kalian akan bernasib sama sepertinya jika terlalu memanjakan anak tuli itu!" Desis Erald.
Malam itu, Mbok Minah keluar dari kediaman Atmajaya. Meninggalkan Mairaline seorang diri di dalam rumah besar itu, tanpa siapa pun. Karena kekejaman Erald terhadap putrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Dewi Nurlela
suatu saat kau akan menyesal erald tlg menyia nyiakan anakmu
2023-06-22
1
renjana biru
ya allah,, kasian bgt mai😭😭😭
2023-06-21
1