Aku menggigit sedotan dalam diam mendengarkan cerita seru Hani dan Salma yang asyik berdua. Sesekali mereka menanyakan pendapatku. Tapi karena aku gak begitu mendengarkan, aku hanya menjawab ya, atau tidak.
Yang membuatku tak mengikuti cerita mereka adalah Hani. Sejak tadi aku menunggu dia bercerita tentang bagaimana kak Juna bisa pergi bareng dia, atau sekedar 'izin' saja karena dia udah jalan sama pacarku.
Tapi kayaknya Hani ga akan cerita kesana. Dia menyembunyikan ini. Entah karena takut aku marah atau...
Nggak. Hani gak mungkin ada hati sama kak Juna. Dia kan, suka sama Kai. Bukannya salah satu tujuannya masuk ke kelompok Vita, supaya bisa dekat dengan Kai?
Tapi Hani kan, cantik. Bisa aja kak Juna naksir. Aduh, Ariva, ayolah. Mulai overthinking lagi.
"Gimana, Va? Lo setuju, kan?"
"Hah, apa?"
"Ya ampun, pake ngelamun segala." Salma mencolek lenganku. "Mikirin apa sih? Nyesel udah beli jam mahal?" Salma dan Hani terkikik, membuat wajahku masam.
"Enggak. Ga ada kaitannya kesana."
"Jadi gimana? Lo setuju, nggak?" Tanya Hani.
"Ayo aja gue, mah."
"Oke, cuss!"
Aku mengikuti mereka menyetop taksi, lalu naik bersama-sama.
"Pak, Emerald residence."
Eh? Loh. "Han, kok ke Emres?" Itu kan, komplek panti.
"Iya. Kan tadi ceritanya mau ke rumah lo."
Mata dan bibirku spontan menganga. "Ke rumah gue? Kok lo nggak bilang dulu?"
"Kan tadi lo bilang ayuk aja pas kita tanya. Amnesia, nih." Imbuh Salma pula.
Aaah, bukan gitu. Selama ini aku nggak bilang kan, kalo aku anak panti. Trus ini gimana? Gak mungkin aku pake rumah Arsya, walau ngga ada orang di rumah, tapi kan banyak foto keluarga.
"Eem, gimana kalo kita nonton aja, gue bayarin."
"Lo beneran ngelamun sepanjang waktu ya, Va. Tadi tuh kan, kita udah diskusi. Gue lagi males banget nonton. Pengen main ke rumah lo." Sahut Salma, lalu kembali ia menatap jalanan malam.
Aku gemetar. Jantungku rasanya mau lompat dan lututku lemas seketika. Ini nggak bisa. Aku belum siap memperkenalkan diri sebagai anak panti. Lalu aku harus bagaimana, di saat taksi pun sekarang sudah memasuki komplek perumahan.
"Permisi, boleh turunkan kaca?"
Satpam penjaga di pos mengecek ke dalam, dan aku tersenyum kaku.
"Oh, mbak Ari. Oke, silakan masuk." Kaca mobil kembali dinaikkan. Dan aku menelan ludah dengan susah payah. Nampaknya hari ini memang aku tak bisa mengelak.
"Masuk aja pake ditanyain, ya."
"Biasa, perumahan elit." Sahut Salma.
"Yang mana rumah lo, Va?" Tanya Hani sembari melihat-lihat keluar. Dia tak sabar sepertinya.
"Yang 17M."
"Walah buset, pake nyebutin harga. Saya juga tau mbak, disini rumahnya mahal-mahal dan punya orang kaya semua. Tapi gak perlu pamer harga juga." Celetuk si supir tiba-tiba, membuat Hani dan Salma sontak menatapku.
"Maaf, pak. Maksud saya yang nomor 17M." Ralatku cepat.
"Oalah, maaf mbak, saya salah tangkap." Ucap pak supir sambil cengengesan. Dan itu pula mendapat tawa ngakak lebar dari Salma dan Hani. Lucu, ya. Tapi aku ga bisa ketawa, dilanda rasa takut menghadapi respon Salma dan Hani nanti.
Taksi berhenti, membuat Salma dan Hani diam menatap rumah besar nan mewah tingkat dua berwarna putih dengan papan tulisan Panti Asuhan di depannya. Nomor rumah sesuai yang kusebut pun terpampang jelas disana. Tentu mereka mulai memikirkan ada apa denganku dan Panti ini.
Aku turun setelah membayar, diikuti Salma dan Hani yang tampak kaku di belakang.
"Ayo, masuk."
"I-iya." Mereka mengikutiku. Aku tahu mereka saling sikut, aku bisa melihat dengan ekor mata. Ya sudah, kalau udah begini mau tak mau aku jelaskan aja sekalian.
"Kamarku di lantai dua."
Mereka mengangguk lagi sambil sesekali menatap isi rumah. Ada beberapa anak yang belajar di lantai satu. Lalu aku melambaikan tangan pada mereka yang menyapa.
Aku cepat-cepat menaiki anak tangga dan masuk ke kamar guna melepas foto-fotoku dan Arsya yang menempel di pintu lemari.
Tak lama kemudian, Hani dan Salma masuk ke dalam kamarku.
Entah kenapa suasana jadi canggung.
"Duduk disini, Ma." Aku menawarkan duduk di tepi ranjang saat Hani sudah duduk duluan di kursi belajar tanpa ku suruh.
Kupandang jendela Arsya. Tertutup dan gelap, syukurlah dia pergi sama Papa Arga malam ini.
"Jadi.. ini.."
"Iya. Gue tinggal di panti." Selaku cepat saat Hani hendak berbicara. "Gue tinggal disini udah dari usia 4 tahun."
Salma dan Hani melanjutkan diam. Mungkin mereka merasa bersalah karena udah maksa datang kesini.
"Gue nggak bermaksud nutupin, cuma emang kita gak pernah bahas soal yang beginian, kan."
"Sorry ya, Va. Gue nggak bermaksud.."
Aku tersenyum melihat Salma yang menunduk. "Ngga apa-apa. Kalian kan, temen dekat gue. Lagian ini bukan aib yang mesti gue tutupi."
"I-iya, Va. Bener. Lagian gue gak pernah mikir lo anak panti soalnya lo belajar di sekolah elit, naik taksi pulang pergi. Jadi, gak akan ada juga yang percaya, kan." Ucap Hani dengan meyakinkan aku, kalau ini bukanlah masalah.
Tuh kan, mereka orang baik. Mana mungkin mereka menjauh atau ngehina aku karena anak panti. Selama ini aku aja yang malu, dan gak berani karena nggak sanggup kalau orang-orang memandang aku rendah. Terlebih kalau mereka tahu jendela sebelah adalah kamar Arsya. Bagaimana ya, respon mereka. Apalagi kalau aku bilang, bahwa panti ini milik keluarga Arsya. Apa.. itu akan membuatku semakin rendah?
Tangan Salma menggenggamku. "Va, sorry kalau kita lancang. Seharusnya kita langsung ngerti waktu lo nolak secara gak langsung sama kehadiran kita. Kita minta maaf banget ya, Va."
Aku ikut menggenggam tangannya. "Nggak apapa lagi, kan kalian yang bilang kalo ini perkomplekan elit. Kenapa gue harus malu?"
Salma mengangguk-angguk. Walau wajah mereka terlihat kaku, aku malah lega. Setidaknya teman yang sering main bareng aku udah tahu dan ini membuatku sedikit lebih baik.
...🍭...
Hari ini aku emang nunda buat datang cepat seperti biasa. Ngapain aku buru-buru dateng kalo yang diliat itu Kai.
Tepat saat aku berjalan di lorong, bel berbunyi. Anak-anak bubar dan segera masuk ke kelas saat pelajaran pertama akan dimasuki guru kejam. Ada pula yang santai sepertiku, saat jam pertama bahasa inggris.
"Misi, permisi, cantik." Zaki melewatiku dari sisi kiri diantara kerumunan anak-anak. Lalu dibelakangnya ada Danu. Jika sudah berdua, pasti ada bosnya, kan.
Arsya, dia berjalan cepat melewatiku dari sisi kanan. Tak lupa ia menoleh padaku sebentar dengan wajah datar, lalu memberi kedipan mata kiri dan langsung berlari.
Cih. Dasar. Tapi lucu juga wkwkwk.
Aku sampai menggelengkan kepala dan langsung menaiki anak tangga.
Aku pikir Kai akan duduk di dekat jendela. Aku kaget saat masuk ternyata dia duduk di sisi lorong.
Pandanganku menebar, mencari siapa saja yang kukenal. Ternyata teman sekelasku dulu hanya 3 orang yang ada disini.
Tak!
Aku meletakkan paperbag tepat di depan Kai. Matanya melirik keatas.
"Baju lo. Udah gue cuci."
Aku memutar dari belakang tubuhnya dan duduk di dekat jendela. Tak mau melihat kearah Kai sedikitpun, aku langsung menghadap jendela yang terbuka.
"Hai. Ariva, kan?"
Eh. Siapa ini yang sebangku dengan Hajoon. Aku ga pernah liat.
Dia memutar tubuh lalu mengulurkan tangan. "Aku Karin, tahun lalu sekelas Kai dan Hajoon juga."
Yang disebut namanya ikut menoleh. Hajoon, seperti biasa, si wajah ramah itu ikut memutar tubuh ke belakang.
Wah, cewek ini sih, cantik banget. Ngalahin Vita. Tapi kok, ga pernah keliatan masa.
Aku menyambut uluran tangannya. "Ari-"
"Pabo." Sela Kai.
Aku menoleh dengan berdengkus.
"Namanya Pabo alias pembuat onar." Sambung Kai dengan wajah masa bodonya itu.
"Jangan dengerin, Va. Kai emang gitu kalo sama cewe cantik." Sahut Karin dengan senyuman.
"Apa? Hahaha." Kai tertawa lebar. "Cantik? Cantik dari mana?" Ucapnya disela tawa, yang malah membuatku semakin tak suka padanya.
"Awas naksir loh, Kai." Tukas Karin.
Spontan tawa Kai terhenti dan malah Hajoon yang tertawa lebar. Dia kesal dan menimpuk Hajoon dengan buku.
"Morning."
Tawa Hajoon terhenti. Dia dan Karin mengubah posisi duduk kedepan.
Kai tertawa lirih, entah karena apa. Lalu dia berucap. "As a brainless student, i know this girl would not understand what the teacher's saying during the lesson." (Karena dia murid bodoh, gue tau dia bakalan gak paham sama omongan guru bahasa inggris)
Hajoon kembali terkikik. Ia menoleh sekilas ke belakang, sementara Karin melirik Kai dengan gelengan kepala.
"As a boy and a brainy student, you should shut your fuckin' mouth up throughout the lesson." Balasku tajam. (Sebagai cowok dan murid pinter, lu tuh mendingan tutup mulut busuk lu selama pelajaran berlangsung)
Kini giliran Karin yang terkikik lalu mengulurkan tangan ke belakang untuk memberi tos, dan aku menyambutnya dengan seringai.
Jangan kira aku sebodoh itu, Kai. Hh😏
TBC
Hai,.Makasih Vote nya yaaahh💃💃💃
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
S.Syahadah
wakwakwak thor cerita kamu ini bikin aku inget lagi sama ulah dy dulu kek gitu, usil jail dan ngangenin hehe
2023-08-02
1
Onti Titi
peenn, gue kirain dari awal cerita si kai sama hajoon itu kakak kelasnya ariva
2023-06-28
2
rose red
makasih thor sdh crazy up😊
2023-06-23
1