Aku baru sampai di panti. Tadi aku menolak diantar pulang lantaran kak Juna juga agak basah. Tapi dia ga mau aku mengembalikan jeketnya. Katanya, biar aku pakai dulu. Hehe. Manisnya..
"Ari, baru pulang?"
"Eh, iya, kak."
Kak Adit juga baru sampai. Dia keluar dari mobil hitam yang dibelikan bunda untuknya.
"Kok, gak minta jemput sama kakak?" Tanya kak Adit saat melihat bajuku agak basah.
"Nggak ingat, kak. Lagian tadi Ari naik taksi."
"Ya udah, ayo masuk."
Aku dan kak Adit masuk kedalam. Di ruang keluarga, ternyata kak Tari dan Bunda Syahdu duduk disana. Melihatku datang, Bunda menyambutku.
"Ari, ya ampun. Kamu kehujanan, sayang?"
Bunda Syahdu, wanita panutan terbaik bagiku. Dia yang memiliki panti ini. Manusia dermawan dan berhati suci. Dia Mama Arsya yang udah kuanggap Mama sendiri.
"Iya, Bun. Tapi nggak basah banget, kok."
Bunda langsung mengarahkan wajah pada kak Adit dibelakangku.
"Adit. Kamu kenapa gak bareng Ari?"
"Adit juga ga tau, Bun. Ketemu di depan. Ari nggak bilang sama Adit."
"Bun, tadi Ari sama temen. Trus kehujanan. Tapi Ari naik taksi jadi gak sempet basah banget." Kataku meluruskan.
"Temen? Nggak sama Arsya?"
Aku menggeleng pelan. Yah, tadinya emang sama Arsya. Tapi dia udah sama cewenya.
"Ya udah, naik gih. Ada yang mau bunda bilang tapi kamu ganti baju dulu."
"Iya, bun."
Hm.. ada yang mau dibilang? Jarang-jarang nih, Bunda kaya gini. Soal apa, ya? Aku menaiki tangga dengan cepat supaya bisa langsung turun dan dengerin apa yang mau bunda sampaikan.
~
"Ari, sini duduk dekat bunda."
Aku berjalan mendekat dan duduk tepat disebelah bunda. Dia mengelus rambutku dengan lembut. Ada apa, sih. Bunda.. gak kaya biasanya.
"Ri, ada yang mau bunda bilang. Tapi kamu jangan langsung marah atau kesel sama bunda, ya." Ujar kak Tari.
Mataku mengarah pada Bunda yang mulai sendu. Ada apa, sih?
"Ari.. Ari udah berapa lama ya, tinggal sama Bunda." Kata Bunda Syahdu sembari mengusap pundakku.
Aku ga bisa menjawab. Karena pikiranku tengah sibuk menebak, masalah apa yang sekarang muncul.
"12 tahun, kan? Udah lama banget, ya. Dari usia Ari 4 tahun. Ari datang kesini bareng mama dan papa."
Aku langsung memiringkan duduk menghadap Bunda. Aku udah ga bisa nebak. Bunda terlalu bertele-tele.
"Bun, coba bilang sebenarnya ada apa." Kataku langsung.
Bunda Syahdu melirik kak Tari sebentar. Lalu ia menghela napas.
"Ari, tadi bunda dapat telepon dari papa kamu."
Aku langsung berdiri. Siapa papaku? Aku gak punya papa.
"Ari, duduk dulu." Tukas kak Tari.
"Mau apa dia telepon bunda? Setelah lima tahun dia gak kasih kabar ke Ari. Bilang sama dia, Ari gak kenal sama papa Ari."
Kak Tari langsung berdiri dan menenangkanku. Akupun berhasil didudukkannya walau emosiku sudah berada diujung ubun-ubun.
"Sabar, Ri. Kan tadi udah kakak bilang. Jangan marah sama bunda."
Aku gak marah. Aku cuma kesal kalau bahas soal orang tua itu.
"Bukannya Ari yang bilang kangen sama Papa?"
"Itu kan, beberapa tahun yang lalu!" Jawabku cepat. Membuat Bunda kembali menarikku dekat dengannya.
"Dengerin Bunda, Nak. Tadi, memang papa Ari ngubungin Bunda. Dia.. mau bawa Ari ikut dia."
"Ari gak mau bunda!!" Tolakku cepat.
"Iya, oke. Bunda ngerti. Nanti bunda sampaikan, ya. Tapi Ari tenang, ga boleh marah-marah kaya gini." Ucap Bunda Syahdu menenangkanku.
"Ari takut, Bun. Ari gak mau ikut papa tinggal di Rusia. Ari udah seneng disini. Ari gak mau kemana-mana."
"Iya. Bunda tau. Bunda juga sayang sama Ari. Ya udah, nanti Bunda sampekan sama Papa, ya."
Aku mengangguk walau hatiku masih merasa panas. Bisa-bisanya setelah meninggalkan aku di panti ini, dia mau jemput aku lagi saat aku dewasa??
"Mama kamu juga udah transfer, tuh. Nanti kakak kirim ke rekening kamu." Ucap kak Tari.
Aku gak mau lagi denger apapun soal kedua orang tuaku. Bagiku mereka cuma sumber uang yang harus mereka kirim ke aku sebagai bentuk tanggung jawab mereka saat ini.
Kuakui, dulu aku sering nangis karena kangen mama dan papa. Aku menolak kiriman mereka baik uang maupun pakaian. Aku lebih suka mereka jemput aku dan tinggal bersama-sama. Bukan ninggalin tanggung jawabnya ke Bunda walau mereka ngasih uang banyak ke panti ini. Tapi sekarang nggak lagi. Aku ga mau ikut sama Mama maupun Papa. Aku benci banget sama mereka. Bencii banget!
...🍭...
Aku masih kepikiran soal tadi. Papa mau jemput aku untuk tinggal sama dia di Rusia? Kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari aku telepon dia nangis-nangis cuma untuk minta dijemput? Saat itu, dia malah sama sekali gak ngunjungin aku. Sekarang, dia mau aku tinggal bareng dia dan istri barunya? Aih. No, Big No!
"Ari. Lo di kamar, kan?"
Suara Arsya. Oh. Dia udah pulang?
Aku mendekati jendela. Arsya udah duduk di bingkai jendelanya.
"Lo ngga apa-apa?"
Aku menarik kursi dan duduk dengan tangan yang melipat di bingkai jendela. "Ngga apa-apa, apanya."
Arsya menatapku beberapa detik. "Gue udah denger dari Bunda. Katanya.. lo mau dijemput bokap lo."
Aku mengangkat bahu. Rada males ngomong sama Arsya sejak tadi dia ngundang Vita.
"Lo beneran gak mau ikut bokap lo ke rusia, kan?"
Alisku mengerut. "Kenapa? Takut gue pergi?"
Arsya mendongak, menatap langit yang mulai berubah menjadi malam.
"Lo kan, pernah janji ga akan pergi kemana, pun." Katanya tanpa menatapku.
"... katanya, mau lulus bareng. Kuliah bareng, pake toga bareng."
Aku mengangkat alis. Ini Arsya lagi kesambet apa?
"Kan, lo udah ada Vita. Ngapain lagi ngarepin gue. Temen lo juga sekarang banyak."
Arsya berdecak. Begitu selalu setiap aku membahas soal Vita.
"Jadi gimana? Lo gak kesana, kan?" Tanya Arsya lagi, mengabaikan ucapanku.
"Yah, ga tau juga. Tergantung gimana nasib gue disini." Jawabku asal.
"Kok lo gitu. Nasib lo aman selama deket sama gue."
"Nggak kebalik?"
Arsya mencebik. "Emang selama ini lo kenapa?"
"Masih nanya gue kenapa? Lo tanya aja fans lo!"
"Itu kan, dulu. Sekarang gue kan, nurut. Lo maunya ga saling kenal di sekolah, ya gue iyain supaya lo nyaman." Katanya dengan wajah juteknya. Membuatku tersenyum melihatnya.
"Sya."
"Hm."
"Kalo gue.. jadian sama seseorang, menurut lo gimana?"
Matanya membulat. "Lo ditembak Juna?"
"Engg.. belom sih, tapi besok dia ngajak gue jalan. Hihii. Seneng banget akhirnya cowok yang gue taksir ngajak gue jalan."
Arsya menarik senyum sebelah sudut bibir. "Selamat, deh."
".. tapi lo serius gak jadi pergi, kan?"
"Astaga itu mulu yang dibahas. Enggak. Gue gak pergi. Mana mungkin gue bisa ninggalin elo yang ngekorin gue mulu."
"Gue gak pernah lagi ngekorin lo, ya!"
Hahaha. Aku sampai tertawa lepas.
"Janji, lo jangan pergi sampe kita selesai sekolah dan kuliah. Setelah itu, gue serahin pilihan ke elo. Tapi sampe kuliah, lo harus tetap jadi sahabat gue." Arsya menjulurkan kelingking kurusnya.
"Iya. Gue janji sama lo. Gue akan tetap disini sampe lo nikah dan punya anak, deh. Biar lo puas." Ucapku sembari menyambut kelingking Arsya. Dia pun tertawa mendengar janjiku.
Ku perhatikan wajah Arsya yang tersenyum itu. Kalo dipikir-pikir, dia gak pernah senyum ya, selama di sekolah. Kayak yang punya banyak masalah hidup banget!
"Eh, ponsel gue."
Aku langsung meraih ponsel diatas meja belajar. Kak Juna, dia meneleponku.
"Kak Juna, aku angkat dulu, yaah." Aku melambaikan tangan dan menutup jendela. Tak ingin perbincanganku bersama kak Juna di dengar oleh Arsya.
...** Bersambung **...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
ega
top
2023-06-05
1
moona
tak kasih bunga aja ya pen soale vote nya buat ayank Manu☺️
2023-06-05
1