Bab. 20 - Serikat Nusantara Bag. 2 -

“Haaa…, belum cukup aku dibuat kaget kalau pak Regi datang hari ini.” Salah satu atlet berbisik di kejauhan. “Tiba-tiba mereka melakukan adu tanding, dengan Ano lagi!!”

“Kau tahu yang lebih menarik?”

Orang di sebelah ikut berbisik, lalu menyikut lengan dan menunjuk Langit dengan dagunya. “Lawan tandingnya anak angkat pak Regi.”

“Kau serius?! sejak kapan pak Regi punya anak angkat?”

Temannya mengangkat bahu, “Jangan tanya aku, kebetulan saja aku dengar pembicaraan pak Regi dan pelatih.”

“Menurutmu, siapa yang akan menang?”

Sejenak temannya diam, memasang pose berpikir sambil mengamati Langit di kejauhan. Bocah itu berdiri dengan tenang, postur tubuhnya bagus, berdiri tegak tanpa celah. Namun kita tidak akan bisa mengetahui hasil pertandingan. Terutama jika sama sekali tidak tahu apa yang disembunyikan lawan dibalik lengannya.

“Tuan muda masih bisa terlihat tenang, walau dia tiba-tiba saja disuruh adu tanding. Pasti pengalamannya banyak hingga dia bisa seperti itu.” Endang memberi komentar.

Mendengar komentar Endang, sang ayah hanya bisa tersenyum miring. “Sebenarnya ini kali pertama dia adu tanding dengan jawara.”

Endang hampir tersedak mendengarnya, “Dia belum pernah melawan jawara yang sudah membangkitkan Darah Suku?”

Regi kembali mengangguk, karena itulah dia mengusulkan adu tanding ini. Pertandingan ini bisa menjadi pelajaran bagi putra angkatnya. Agar dia mengerti perbedaan manusia biasa dengan para jawara. Menang atau kalah, Regi tidak memperdulikan hal itu, yang dia harapkan adalah Langit mendapatkan pengalaman.

Ivano adalah bocah berkulit gelap dengan rambut keriting cepak pendek. Matanya hitam cemerlang dengan hidung panjang dan mancung. Anak laki-laki itu mengeluarkan parang kayu dari balik punggung. Langit sempat bertanya-tanya, bagaimana cara dia menyimpan benda itu.

Setelah bunyi gong, tidak sampai 60 detik, Ivano sudah lompat menyerang. Dia mengayunkan parang secara vertikal, serangan mengenai lantai, Langit berhasil menghindar. Tidak memberi kesempatan, parang sudah berayun ke samping membentuk gerakan kurva. Serangan kali ini berhasil melukai pipi kanan Langit.

“Ugh…,” Langit menyeka darah dari luka gores di pipi. ‘Kuat sekali ayunannya!’ batinnya setelah melompat untuk menjaga jarak.

Serangan berikutnya lagi-lagi dilakukan oleh Ivano. Bocah itu memutar pergelangan tangan, mengayunkan parang. Kali ini Langit tidak menghindar, dia menggunakan tangan kiri untuk mencengkram lengan Ivano, lalu menarik ke depan dada dan meninju perut lawan. Ivano terbanting ke belakang dua langkah.

“Aduh, beta punya perut sakit!” keluhnya tiba-tiba.

“Eh, ka-kau baik-baik saja?” alhasil Langit mengendurkan kewaspadaannya dan menatap Ivano cemas.

Hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh Ivano. Dia segera menerjang Langit, mengayunkan parang dengan tangan kanannya, lalu ketika ditangkis, dengan cepat gagang parang berpindah tangan dari kiri ke kanan. Terus seperti itu sehingga ayunan parang menjadi tajam dan membuat Langit kesulitan mendekatinya.

“Aku juga pernah menggunakan parang, tapi tidak tahu ada teknik seperti itu!” Langit bergumam pelan, agak kagum dengan teknik Ivano.

Ivano menarik parang sampai ke sisi perut, lalu mengangkatnya ke atas kepala sebelum sekali lagi menebas Langit. Serangan itu memiliki jarak serangan yang cukup jauh, ayunannya berhasil mengenai pundak Langit dan membanting bocah itu ke lantai.

Endang dan para penonton lain berseru, mereka semua berteriak menyerukan nama Ivano. Sementara Regi diam, memperhatikan bagaimana anak angkatnya akan balas melawan.

“Hufh… hufh…,” deru napas Langit mulai terdengar tidak beraturan. Dia harus memikirkan cara untuk bisa menangkis serangan Ivano.

Selama adu tanding berlangsung, Ivano belum menggunakan kekuatan suku. Dia bertarung hanya menggunakan teknik, dan itu saja sudah menyulitkan Langit. Apakah lebih baik dia menggunakan kesaktian ucapan, menyuruh Ivano untuk menyerah. Atau membuatnya terluka dengan mengutuknya. Tapi Langit merasa apa yang dia lakukan terkesan curang, lebih baik dia menggunakan kartu as-nya terakhir, jika Ivano akhirnya menggunakan kekuatan suku.

Saat Langit sibuk berpikir, Ivano kembali menyerangnya. Tapi kali ini Langit berhasil menangkap lengan Ivano, mengapitnya kuat-kuat di antara dua lengan lalu menarik dan memutar tubuh lawannya ke belakang. Setelah itu Langit memelintir lengan Ivano, membuat bocah itu tersungkur dan parangnya terlempar.

Melihat untuk pertama kalinya Langit berhasil menghentikan serangan Ivano, gemuruh penonton terdengar riuh. Regi diam-diam mengepalkan tinju, ikut senang atas keberhasilan anak angkatnya.

Ivano memegang pundak dan memutarnya, sedikit ngilu tapi tidak ada cedera serius. Bocah itu berjalan mengambil parang dan memulai lagi dengan kuda-kuda yang kuat. Tangan kanan memegang parang, tangan kiri di taruh di pinggang. Sementara itu Langit yang masih pakai tangan kosong juga menguatkan kuda-kudanya.

“Ale tidak mau pakai senjata?” Ivano bertanya tanpa mengendurkan kewaspadaan.

Langit menggeleng, “Aku ingin belajar bertarung dengan tangan kosong.”

“Baiklah, kalau begitu! jan salahkan beta kalau ale terluka!” selesai bicara, Ivano segera melompat menyerang.

Langit memperhatikan arah gerakan tangan Ivano, karena dari pelajaran yang dia dapatkan sebelumnya. Jika Langit berhasil membaca gerakan tangan, maka dia akan bisa mengunci ataupun melumpuhkan serangan Ivano. Jadi ketika lawannya menghunuskan parang, dengan gerakan cepat dan akurat. Tangan Langit mengunci dan memelintir pergelangan tangan Ivano sebelum menendang ulu hati dan membuatnya jatuh.

“Ugh!” Ivano mengaduh pelan, terkapar di lantai.

Ketika Langit mengira dia berhasil mengalahkan Ivano, tiba-tiba saja sesuatu menyerangnya. Parang kayu yang seharusnya jatuh ke lantai, entah bagaimana caranya melayang di udara dan menyerang Langit.

Serangan aneh dari parang melayang membuat Langit terpaksa mundur beberapa langkah. Sementara itu Ivano berdiri sambil memegang tangannya yang dua kali dipelintir Langit. Dia kembali memasang kuda-kuda, manik hitamnya menoleh ke arah parang melayang, tersenyum malu.

“Beta sebenarnya seng minta Nene tuk bantu. Mar ale berhasil buat beta tersudut, jadilah Nene datang tuk bantu beta.”

Langit lagi-lagi mengerutkan alisnya, dia sulit memahami kata-kata Ivano. Belum sempat dia memahami apa yang terjadi, ada sesosok wanita tua muncul di samping lawannya. Wanita tua dengan kebaya lusuh, memakai topi bundar tua dan badannya bungkuk dengan sebelah kakinya berbentuk kaki kuda. Melihat hal itu wajah Langit berubah seputih kertas.

“Ha-hantu?!” Teriaknya takut.

Suara tawa dari penonton tidak membantu Langit untuk mengerti situasinya saat ini. Akhirnya Endang berbaik hati menjelaskan padanya.

“Bukan hantu, Tuan Muda. Wanita tua itu adalah khodam milik Ivano.”

Langit memiringkan kepalanya tidak mengerti, “Apa itu Khodam, Pak Endang?”

“Khodam sebutan untuk jin pendamping manusia, karena sifatnya dapat menjaga manusia, maka dikategorikan sebagai jin baik. Setiap orang memiliki jenis khodam yang berbeda, bisa berwujud pusaka, ilmu kebatinan, ataupun makhluk halus yang bisa dipanggil. Dan khodam milik Ivano bernama Nene Luhu.”

“Lalu?” Langit bertanya polos, “Apa ini diperbolehkan dalam adu tanding?”

“Hanya para jawara yang bisa memanggil khodam. Karena itu adalah salah satu kesaktian mereka yang telah membangkitkan Darah Suku.”

Baiklah, ini adalah informasi baru yang baru diketahui Langit. Sekarang bocah itu sedikit paham mengapa Regi, ayah angkatnya mengusulkan adu tanding. Jika dia tidak melakukannya, mungkin Langit tidak akan tahu ada berbagai jenis kekuatan tergantung dari suku mereka. Langit juga tidak akan tahu ada banyak teknik bela diri yang bisa dia pelajari.

“Ale suku mana?” Ivano bertanya, setelah Endang selesai menjelaskan.

“Eh, uh… Suku Palembang.” Langit menjawab jujur.

Ivano tersentak kaget, lalu raut wajahnya berubah ngeri. Tidak hanya Ivano, beberapa penonton juga terkesiap. Langit melihat sekitar dengan bingung, apa yang salah dengan suku-nya?

“A-apa, a–apa ale sudah bangkit?” Ivano bertanya takut-takut.

Langit mengangguk, dan suara kaget para penonton kembali terdengar. Endang menoleh ke arah Regi, dari raut wajahnya terlihat dia mempertanyakan kebenaran hal itu. Regi mengangguk, tersenyum bangga sambil menatap anak angkatnya.

“Kau menggunakan kekuatan suku, itu artinya aku juga bisa.” Langit tersenyum miring, siap lancarkan serangan balasan dengan menggunakan kesaktian ucapan khas suku palembang, yaitu si pahit lidah.

Continue…

Terpopuler

Comments

Ayano

Ayano

Wah.... magis ya

2023-06-26

0

Ayano

Ayano

Kamu harus inget latihan yang baru bangun dah mo dijadiin target pembunuhan

Majuu

2023-06-26

0

Ayano

Ayano

Di situ kalo ada item box, kompor aja bisa disimpen keknya ama Ivano

2023-06-26

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!