Bab. 13 - Janji -

“Langit.”

Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Namun saat ini bocah itu tidak ingin diganggu. Dia lebih ingin menyendiri, mengurung dirinya dikamar, dan berharap apa yang dia dengar hanyalah mimpi.

‘Selamat Langit, kau akan diadopsi oleh keluarga Sanjaya.’

Langit dipanggil ke ruang kerja Bibi Tun tepat selesai makan siang. Wanita paruh baya yang selalu memakai kebaya itu memberitahunya dengan senyum hangat. Berbanding terbalik dengan perasaan Langit, dia merasa disiram air dingin. Dia tidak pernah mengharapkan dirinya diadopsi. Bocah itu sudah puas dengan kehidupannya di Panti Asuhan Bakung.

“Langit, aku masuk ya!”

Tanpa menunggu jawaban, Yatna membuka pintu dan menghampiri Langit. Anak laki-laki itu duduk memandang keluar jendela. Petang mulai datang dengan tirai jingga kemerahan yang indah. Mereka berdua duduk bersisian dan larut dalam keheningan.

“A-aku ti-tidak mengerti,” akhirnya Langit memecahkan keheningan. “A-aku je-jelas bi-bilang ka-kalau Nyoman a-adalah o-orang yang pa-pantas diadopsi. Di-dia pu-punya mimpi da-dan aku me-mendukungnya. Se-semua orang be-begitu, ta-tapi mengapa?”

“Orang dewasa memiliki pemikiran dan pertimbangannya sendiri. Mungkin saja ada sesuatu dalam dirimu yang spesial,” Yatna meresponnya dengan hati-hati. “Kau hanya belum menyadarinya saja, Langit.”

“A-aku ti-tidak peduli, a-aku ha-hanya ingin bersama ya-yang lain. Di sini, be-bersamamu Ya-Yatna.”

Gadis kecil itu kemudian bergeser mendekat, dia menarik pelan kepala Langit dan menaruhnya di pundak.

“Tujuan Panti Asuhan adalah untuk menampung anak-anak seperti kita, dan mencarikan keluarga. Aku juga ingin selalu bersamamu Langit, walau Nyoman menyebalkan, aku juga menyukai hari-hariku dengannya. Tapi kalau boleh jujur, aku tidak ingin berada di sini terlalu lama.”

Langit menarik diri, memandang Yatna tidak mengerti. “Panti Asuhan hanyalah rumah sementara. Aku ingin terbang ke langit luas, melihat dunia, dan merasakan memiliki keluargaku sendiri. Punya ayah yang mengajariku matematika yang susah, ibu yang memeluk dan menciumku sebelum tidur. Tidakkah kau menginginkannya juga, Langit?”

Bocah laki-laki itu terdiam, sejujurnya dia juga menginginkannya. Saat dia pingsan waktu kedatangan pasangan suami istri Sanjaya. Samar-samar dalam tidurnya, Langit merasakan sentuhan lembut dan hangat di kepalanya. Perasaan itu begitu menenangkan, membuatnya nyaman dan aman.

“Apa kau mau berjanji denganku?” tiba-tiba saja Yatna menjulurkan jari kelingkingnya. “Ayo bertemu lagi dimasa depan! Mungkin saja kita menjadi teman sekelas, atau menjadi rekan di tempat kerja. Setelah kita bertemu, ayo kita bercerita panjang lebar tentang hidup yang kita jalani.”

Langit tampak ragu dan hanya memperhatikan jari Yatna. Gemas, akhirnya gadis kecil itu menarik tangan Langit dan mengaitkan kedua jari kelingking mereka.

“Ayo berjanji kita akan bertemu lagi dimasa depan!”

“U-um, a-aku ja-janji!”

Yatna memamerkan senyum tiga jarinya yang indah. Langit segera memeluk Yatna, setelah mendengar perkataan gadis kecil itu. Mendadak dirinya merasa malu, dia bersikap keras kepala, menolak sesuatu yang diinginkan anak-anak lain. Langit semakin memeluk Yatna erat dan berbisik pelan.

“Te-terima ka-kasih, Yatna.”

Gadis kecil itu menepuk pelan punggung sahabat yang sudah seperti saudara baginya. Setitik air mata hampir jatuh di ujung mata, Yatna berusaha untuk tidak menangis. Setiap ada pertemuan, maka ada perpisahan. Begitulah kata-kata yang dia baca di buku. Namun ada perpisahan maka selalu ada pertemuan yang kedua. Karena itu Yatna tidak akan bersedih terlalu lama. Dia harus ikut bergembira demi Langit, dan sekarang mereka berdua telah terikat oleh janji kelingking.

“Pasti, kita pasti akan bertemu lagi!”

*

“Semua sudah selesai dikemas, kita bisa berangkat sekarang, Tuan Regi.”

Pria paruh baya itu mengangguk, setelah berpamitan dengan Bibi Tun dan Salsa, dia lebih dulu masuk ke dalam mobil. Setelah itu barulah disusul Fuji dan Langit masih berdiam diri sejenak menatap keluarga lamanya.

“Selalu jaga kesehatanmu, Langit!”

“Kalau ada waktu mampirlah kemari!”

“Kau harus belajar dengan giat nanti! dan makan teratur!”

Langit mengangguk dengan mata basah, namun tak ada lagi kesedihan di wajahnya. Dia telah memutuskan untuk menerima dan melakukan yang terbaik untuk bisa diterima keluarga Sanjaya. Setelah mengucapkan sepatah dua kata perpisahan, Langit akhirnya masuk. Dia duduk dekat pintu, menurunkan jendela kaca mobil dan melambaikan tangan.

“Hei, Langit!” Nyoman tiba-tiba menghampiri. “Berjanjilah padaku kalau kau akan belajar mengontrol kekuatanmu!”

Manik biru itu mengerjap, sebelum dia mengerti maksudnya. Tak lama kemudian Langit terbelalak. Mungkinkah alasan dia diadopsi adalah kenyataan bahwa dia telah membangkitkan Darah Suku?

“Nyo-Nyoman, ka-kau?!”

Bocah kurus itu segera memotong perkataan Langit, dia mengulurkan tangan yang telah terkepal menjadi tinju. Maniknya terlihat tegas dan membara.

“Sampai ketemu di Piala Suku Dunia, kawan!”

Mobil sedan hitam mulai bergerak meninggalkan pekarangan Yayasan Panti Asuhan Bakung. Langit masih menatap sosok Nyoman yang semakin menjauh. Anak laki-laki yang kerap kali menjahilinya, dan selalu marah-marah. Tidak pernah sekalipun dalam mimpinya, Langit akan mengikat janji dengannya. Air mata kembali jatuh, bocah itu menjulurkan badannya keluar jendela kaca mobil.

“A-ayo be-bertemu di Pi-Piala Suku Dunia!” Langit berusaha berteriak sekeras mungkin, berharap Nyoman mendengarnya.

Kendaraan besi beroda empat semakin menjauh dan hilang dari pandangan. Seluruh penghuni Panti mulai masuk ke dalam. Namun tidak bagi Nyoman dan Yatna yang masih tetap memandang kepergian salah satu keluarga mereka. Nyoman mengepalkan kedua tangannya.

‘Siapa yang lebih pantas untuk diadopsi? tentu saja aku! tapi itu dulu jika kalian datang sebelum kejadian perburuan. Jika aku jadi om dan tante, aku akan memilih Langit karena dia sudah membangkitkan Darah Suku dan kekuatannya cukup mengerikan.’

Masih jelas dalam ingatan Nyoman, bagaimana Langit dengan mudahnya membunuh babi hutan yang besarnya hampir sebesar rumah. Sambil menunjuk, meski dia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Langit. Nyoman yakin, apapun itu pastilah kata-kata mematikan dan berbahaya.

Jika Langit tidak mendapatkan bimbingan, atau seseorang yang mengerti mengenai kekuatannya. Maka membiarkan Langit berada di panti ini sama saja menyimpan bom waktu.

“Aku tidak menyangka, kau menerimanya dengan lapang dada.” Yatna akhirnya membuka suara setelah keduanya larut dalam pikiran masing-masing. “Seorang Nyoman tidak tantrum, sungguh kejadian bersejarah!”

“Oh diamlah kepala jenong!” Nyoman memaki kesal.

“Kau bilang sesuatu, bocah kurang gizi?!”

“Wah, ternyata bukan keningmu saja yang seperti landasan pesawat. Telingamu tidak berfungsi!”

“Kau ngajak ribut, ya?! maju sini!” Yatna menarik lengan bajunya sampai ke siku.

“Takut banget, loh! Teh Salsa~” Nyoman tiba-tiba sudah berlari masuk ke dalam panti meninggalkan Yatna yang mukanya sudah merah padam menahan emosi.

“Hei! kemari kau bocah kurus!”

*

Selama diperjalanan, Langit lebih banyak melihat keluar jendela. Memperhatikan jalanan yang lengang, pasar yang ramai, dan beberapa kebun jagung yang lebat dan tinggi. Di dalam mobil tidak banyak perbincangan terjadi, Regi sibuk dengan tabletnya.

“Apa kamu lapar, Langit?” tanya Fuji yang duduk disamping.

“E-eh, uh…, ti-tidak a-aku–”

Sayangnya suara keras terdengar dari perut Langit, menghianatinya. Bocah itu memegang perut dengan wajah merah padam, malu. Fuji terkekeh ringan, dia lalu mengusap kepala Langit dengan lembut.

“Kau tidak perlu menahan diri, mulai sekarang kita adalah keluarga.” Fuji lalu menepuk pundak ajudan di depannya. “Mampir dulu ke fast food, ya.”

“Baik, Nyonya.”

“Pesan yang banyak,” sambung Regi tanpa melepaskan tatapannya dari layar.

Fuji yang mendengar suaminya tersenyum tipis, lalu dia merangkul lengan Regi. Sang pria tidak menolak, dia bahkan sempat memberikan kecupan singkat di kening istrinya. Langit yang diam-diam memperhatikan merasa terenyuh, juga agak malu melihat interaksi orangtua angkatnya.

Mobil sedan segera berbelok sedikit ke kiri, menepi sebelum masuk ke area restoran fast food. Mereka tidak berhenti, justru memutar menuju bagian drive thru. Setelah sekitar lima menit memesan, mereka menuju kasir untuk bayar dan menunggu makanan mereka jadi.

Manik biru Langit berbinar melihat banyak makanan di depannya. Baru kali ini dia melihat hamburger dalam berbagai jenis. Selama ini di panti mereka jarang menikmati makanan fast food, dikarenakan harganya yang lumayan mahal. Fuji membuka salah satu burger, lalu menyodorkannya pada Langit, ingin menyuapinya.

“Ini namanya burger cheese. Ayo buka mulutmu, aaaah~”

Pipi putih Langit kembali memerah, dia ingin menolak. Tapi siapa yang tega mengecewakan Fuji yang melihatnya dengan tatapan antusias dan penuh sayang. Akhirnya Langit membuka mulut, pipi gembilnya semakin bulat ketika menggigit burger dan mengunyahnya.

“Astaga, lucu sekali, sayang lihatlah! Langit sungguh menggemaskan!” Fuji menarik lengan Regi, meminta suaminya melihat ke arah bocah bermata biru yang sibuk mengunyah burger.

“Hm, bersihkan mulutmu dengan tisu.” Lengan panjangnya bergerak untuk membersihkan saus yang menempel di sudut bibir Langit.

Langit yang tidak biasa menerima perlakukan manis dari orang asing itu hanya bisa menunduk dengan semburat merah di pipi.

“Te-terima ka-kasih…”

Continue…

Terpopuler

Comments

AGDHA LY

AGDHA LY

ambil aja ka, tapi bayar sendiri 😃

2023-06-07

0

Ayano

Ayano

Boleh minta gak?

2023-06-07

1

Ayano

Ayano

Wew.... janji rival cuy

2023-06-07

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!