Saat Langit membuka matanya, hal pertama yang dia lihat adalah raut wajah cemas Yatna. Gadis kecil itu duduk di sebelah kasurnya, memegang tangan Langit, dan terus merawatnya walau Salsa maupun Bibi Tun menyuruhnya istirahat. Kedua bahwa Langit terbaring di rumah sakit, bukan di kamar pantinya. Bocah berambut hitam bergelombang itu berusaha bangun, namun malah mengerang tertahan.
“Kau tidak boleh bangun dulu, tulang igamu ada yang retak.” Yatna mendorong pundak Langit pelan untuk menyuruhnya kembali berbaring. “Setelah tim yang diutus kepala desa pulang, banyak sekali orang-orang yang harus mendapatkan perawatan. Kau dan Kak Tio salah satunya yang harus menjalani operasi.”
“Ka-kak Tio, ba-bagaimana ko-kondisinya?”
Sejenak Yatna terdiam, seakan mencari kalimat yang tepat untuk menjawab. Selang beberapa detik gadis kecil itu memilih tersenyum kecil.
“Kak Tio baik-baik saja, dia lebih dulu sadar setelah operasi.”
Langit menghela nafas lega dan berusaha membuat dirinya nyaman. Tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas, berat, dan tidak nyaman untuk berbaring. Sambil menatap plafon rumah sakit, bocah cilik itu berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Langit merasa ingatannya sedikit kabur, dan terpecah.
“Apa kau tidak penasaran berapa tulangmu yang retak?” yatna bertanya dengan nada jahil.
Langit terkekeh pelan, “Berapa?”
“Dua, iga nomor lima dan enam. Kau harusnya lihat wajah Bibi Tun saat mendengarnya.” Yatna menggeleng dengan tatapan sendu, “Beliau sangat mencemaskanmu dan bertanya banyak hal yang tidak aku mengerti.”
Yatna kemudian mencoba menerka dimana letak tulang iga nomor lima dan enam. Langit segera menunjuk bagian yang dia rasakan adalah bekas jahitan. Mudah saja, ketika setiap tangan kanannya terangkat, ada perasaan kencang yang membuatnya mengaduh pelan.
“Tulang yang retak di-uh, apa namanya yah? ah! diimplan pakai titanium jadi tidak perlu operasi pengangkatan lagi. Kalau semua baik saja, hari senin besok kau sudah boleh pulang dan seminggu kemudian cabut benang.” Yatna mencoba menjelaskan sebaik mungkin apa yang sudah dia dengar dari dokter saat bicara dengan Bibi Tun.
Langit mengangguk lemah, tapi sedikit tersenyum. “A-aku jadi pu-punya be-bekas luka yang ke-keren!”
“Tidak lucu, Langit!” namun Yatna sama sekali tidak suka kenyataan itu.
“A-aku se-sedang ti-tidak berca-canda. A-apa Nyo-Nyoman ba-bakal iri de-denganku?”
“Aku seratus persen yakin kalau dia akan menertawakanmu!”
Langit mendengus kesal, namun nyatanya ketika kedua pasang mata itu bertemu, mereka malah tertawa. Hari itu dilalui Langit dengan ditemani Yatna, ngobrol sampai tengah hari. Menikmati makan makanan rumah sakit yang hambar dan menonton acara kartun di televisi. ketika petang hadir di jendela, suara ketukan pintu terdengar.
Bibi Tun dan Salsa muncul dari balik tirai berwarna lemon yang menutup sisi kiri Langit.
“Bagaimana keadaanmu, Langit?” Bibi Tun bertanya seraya duduk di samping kiri dan mengusap pelan kening Langit.
“A-aku me-merasa se-sehat, Bibi Tun.”
Salsa menaruh menaruh beberapa makanan ringan dan buang di nakas sebelah Langit. Dia juga menaruh beberapa baju ganti bersih di laci bagian bawahnya. Setelah itu barulah dia duduk sambil mengamati Langit.
“Malam ini, teh Salsa yang akan menjagamu.”
Langit segera menoleh ke arah Salsa dan tersenyum lebar. “A-apa a-aku boleh de-dengar do-dongeng sebelum ti-tidur?”
“Tentu saja boleh,” Salsa tersenyum hangat. Dia bahkan mengeluarkan sebuah buku dongeng dengan judul Si Pahit Lidah. “Aku sudah bawakan buku kesukaanmu!”
Manik biru Langit berbinar melihat buku kesukaannya. Mungkin lebih tepatnya, buku itu menjadi kesukaannya karena salah satu peninggalan dari orang tuanya beserta gelang yang dia kenakan.
“A-aku sa-sayang teh Salsa!” ucap Langit dengan manisnya.
“Langit tidak sayang Bibi Tun?” tanya wanita paruh baya itu berpura-pura merajuk.
“Langit tidak sayang yatna?” dan bocah cilik itu pun ikut-ikutan.
Bocah bermata biru itu tertawa, “Aku sa-sayang ka-kalian!”
Setelah jam besuk berakhir, Bibi Tun dan Yatna izin pulang. Sementara itu Salsa tetap di samping Langit, menjaganya malam ini. Malam itu tidak banyak yang Langit lakukan selain tidur, entah mengapa dia selalu merasa ngantuk sepanjang hari. Mungkin itu efek dari obat yang dia minum setelah makan.
Setelah hampir dua hari terbaring di rumah sakit. Langit mulai merasa bosan. Siang itu sudah berapa kali dia memainkan remote, mencari chanel yang menarik namun berakhir mematikan televisi. Buku dongeng kesayangannya juga tidak seru jika dibaca dua hari berturut-turut.
Bibi Tun, Salsa, dan Yatna tidak bisa sering berkunjung walau malamnya pasti ada yang menjaga Langit. Namun ketika siang, bocah berumur sepuluh tahun itu lebih sering menghabiskan waktunya sendiri.
Langit kembali berbaring, menghela napas kesal. Dia rindu dengan rutinitasnya di panti. Dia suka kesibukan yang dia lakukan bersama anak-anak panti. Dia suka menjaga anak-anak kecil seperti Owen.
“Ce-cepat sembuh, Aku ingin cepat sembuh,” ucapnya berulang kali.
Padahal dokter sebelumnya sudah memberitahukan bahwa proses penyembuhannya sekitar tiga sampai enam minggu. Langit hanya bisa menertawakan harapannya.
Saat Langit hendak beranjak duduk untuk minum, dia dibuat terkejut dengan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia tidak kesulitan untuk duduk? Langit bahkan tidak merasakan tubuhnya lemas dan berat seperti sebelumnya.
“A-aku merasa se-sehat?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Tidak, jangan berpikir yang tidak-tidak. Saat dia sadar dari obat bius setelah operasi, Langit merasa dirinya sehat. Namun kenyataannya tidak, tulang rusuknya retak dan jika dia sembarang bergerak dan malah patah. Maka paru-parunya bisa jadi bolong karena robek. Langit menghela nafas pelan, berharap dokter yang bertugas merawatnya datang lebih cepat untuk melakukan pengecekan.
*
Petang datang lebih cepat dari yang diduga. Langit sudah tidak sabar menunggu hasil pemeriksaan setengah jam yang lalu. Saat pintu diketuk dan dokter Rangga datang menghampiri, Langit sudah duduk tegak penuh antusias.
“Sejujurnya ini sedikit mengherankan,” mulainya sambil membenarkan letak kacamatanya.
Salsa memandangnya heran dan ingin tahu. dokter Rangga lalu melanjutkan hasil pemeriksaannya.
“Hasil pemeriksaan menunjukan bahwa keadaan Dek Langit baik, sangat baik malah. Jadi aku akan meminta suster untuk melepaskan selang oksigen, dan selang infus. Bahkan sejujurnya kau sudah bisa pulang sekarang.”
Raut wajah Langit berubah cerah, begitu juga dengan Salsa yang terlihat lega. Akhirnya setelah dua hari di rumah sakit, Langit bisa pulang. Dia juga ingin sekali mandi karena selama ini tidak bisa pergi ke toilet dan mandi.
Setelah dokter Rangga undur diri, selang waktu seorang suster datang. Dia mematikan alat yang katanya memberikan suntikan anti nyeri terus menerus di bagian bahu Langit. Setelah itu dia juga melepaskan selang oksigen yang ada di hidung Langit. Terakhir adalah selang infus, setelah semua selang dicabut, Langit segera berganti baju dibantu Salsa.
Bocah itu sedikit malu dan meminta Salsa untuk balik badan. Dia bersikeras bahwa dia bisa ganti baju sendiri. Salsa hanya tertawa kecil dan menuruti permintaan Langit. Pukul tujuh malam Langit akhirnya keluar ke parkiran rumah sakit. Di sana sudah ada mobil milik kepala desa dan yang menyetir adalah Juki.
“Senang kau kembali sehat, Langit.” Katanya dengan suara besar.
Langit tidak bisa berhenti tersenyum sejak keluar dari rumah sakit. Oh betapa dia merindukan rumah panti asuhannya. Dan perjalanan yang membutuhkan waktu sekitar setengah jam itu terasa lama bagi Langit.
Setiba mereka di yayasan Panti Asuhan Bakung, Langit loncat dari mobil dan berlari masuk. Saat memasuki ruang tengah, tempat dimana anak-anak panti menghabiskan waktu bersama, suara ramai yang menyerukan nama Langit terdengar riuh.
“A-aku pu-pulang!” seru Langit.
“Kak Langit!”
“Eh, ada Langit!”
“Hore! Langit pulang!”
Langit memperhatikan sekeliling, memeluk satu persatu adik-adik kecilnya. Akhirnya dia pulang, inilah rumahnya, dan Langit tidak bisa tidak senang. Namun ekor matanya menangkap sesuatu, sosok Nyoman yang memandangnya di kejauhan. Tidak seperti dirinya yang biasa, bocah kurus itu melihatnya dengan…, waspada?
Selang bersitatap beberapa detik, Nyoman duluan yang memutuskan kontak mata. Hal itu semakin membuat Langit heran. Seorang Nyoman, yang tidak suka kalah, bahkan soal adu tatap sekalipun malah lebih dulu memalingkan wajah. Ada apa sebenarnya dengan bocah menyebalkan itu?
Continue…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Firenia
mungkin dia takut karena teringat kejadian di hutan ya
2023-06-29
0
Firenia
kamu ngapa ikutan bocah 😂
2023-06-29
0
Firenia
bener ga lucu
2023-06-29
0