Langit memasuki kamar dengan terburu-buru. Dia sudah tidak sabar untuk membaca surat yang dikirimkan Yatna. Bocah itu membuka surat setelah dia duduk di kasur besar dan mulai membaca isinya.
‘Untuk Langit tersayang.’
‘Bagaimana kabarmu setelah melewati latihan neraka? aku harap kamu baik-baik saja dan tidak menyerah. Di sini kami baik-baik saja, makan dengan teratur, belajar bersama dengan Teh Salsa, juga sedikit bertengkar dengan Nyoman. Tidak ada yang berbeda, kecuali ada kabar kalau bulan depan ada pasangan pasutri yang ingin mengadopsi. Berita itu membuat satu panti bersemangat sekali.’
Setelah selesai membacanya, Langit segera duduk di meja belajar. Dia mengambil kertas dan pena, kemudian langsung menulis surat balasan.
‘Untuk Yatna tersayang.’
‘Sepertinya aku sudah gila karena merasa senang melakukan latihan neraka. Tetapi itu semua karena latihan keras yang aku jalani membuahkan hasil. Aku yakin sekali kau akan kaget saat bertemu lagi denganku. Aku harap siapapun yang nantinya diadopsi, mereka dapat bertemu dengan orangtua yang baik. Titip salamku pada Nyoman, semoga dia tidak lupa dengan janjinya padaku.’
Langit melipat surat dan memasukkannya ke dalam amplop. Tidak lupa, dia menyelipkan jepitan rambut berbentuk bunga. Ini adalah hadiah kecil dari Langit saat dia pergi ke Mall Indonesia pertama kali. Untungnya Fuji tidak menolak permintaannya untuk membeli jepitan rambut ini.
Malam semakin larut ketika Langit selesai menulis surat. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bocah bermata biru itu segera berganti baju, lalu naik ke kasur untuk tidur. Besok adalah hari penting, untuk pertama kalinya Langit akan melihat langsung para atlet bela diri. Ini akan menjadi satu langkah kecil menuju janjinya pada Nyoman.
*
Seharusnya ini menjadi hari yang menyenangkan dan mendebarkan. Memang mendebarkan, tapi debaran ini tidak seperti yang Langit harapkan. Padahal dia hanya datang ke Serikat Nusantara untuk melihat para atlet berlatih. Juga mengikuti Regi yang sedang melakukan evaluasi rutin. Tapi mengapa dia jadi berada di tengah-tengah arena, berhadapan dengan seorang bocah seusianya di depan banyak atlet senior?
Dua jam sebelumnya…
Setelah menyelesaikan latihan dan makan pagi, Langit menuruni anak tangga menuju teras rumah. Regi sudah menunggu di depan mobil bersama Bastian. Begitu melihat Langit datang, kepala keluarga Sanjaya segera masuk ke mobil, diikuti anak angkatnya. Bastian menutup pintu mobil, membungkuk sopan melepas kepergian tuan muda dan tuan besar.
Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan menuju Serikat Nusantara. Siang itu jalanan ibukota ramai seperti biasanya, dipenuhi pengendara motor dan mobil berlalu lalang. Terkadang terlihat transjakarta dan juga kereta lewat sesekali. Itu adalah pengalaman pertama Langit melihat banyaknya kendaraan.
Setiba mereka di Serikat Nusantara yang terletak di Tebet Timur. Regi dan Langit keluar dari mobil, melangkah masuk ke dalam bangunan berukuran sedang namun luas. Sepanjang perjalanan banyak orang-orang menyapa sopan. Mereka tidak lain adalah para pegawai Serikat Nusantara.
Langit berjalan di samping Regi, sesekali mencuri pandang bagaimana ayah angkatnya membalas sapaan pegawainya. Mereka semua terlihat ramah, interaksi sang ayah bersama beberapa orang yang jabatannya lebih tinggi di Serikat terlihat akrab. Bocah itu semakin merasa kagum dengan Regi.
“Selamat datang, Pak Regi!” seorang pria paruh baya dengan celana training menyapa.
“Pagi juga, Pak Endang. Bagaimana kabar istri dan anak pertamamu?” Regi membalas jabat tangan sambil tersenyum ramah.
“Berkat perhatian Pak Regi, anak saya lahir dengan selamat dan istri saya kondisinya semakin membaik pasca melahirkan.”
“Turut senang mendengarnya!” Regi menepuk pundak Endang, “Kau harusnya masih memiliki cuti, mengapa buru-buru masuk kerja?”
Endang tersipu malu, “Kekalahan kita dibabak eliminasi Piala Suku Dunia kemarin memberikan dampak besar bagi saya dan tim. Saya ingin melatih anak-anak lebih baik agar mereka bisa lolos dan jadi salah satu pemenang di Turnamen berikutnya!”
Regi mengangguk, tersenyum bangga pada ambisi salah satu pelatih senior di Serikat Nusantara. Dia lalu mendorong pelan punggung Langit, hendak memperkenalkan anaknya.
“Kali ini aku datang tidak sendiri. Langit, perkenalkan dirimu, nak.”
“Selamat siang, Pak Endang. Namaku Langit, senang bertemu dengan Anda.”
Manik coklat Endang bersinar ingin tahu, “Senang bertemu denganmu juga.” balasnya sambil melirik ke arah Regi.
“Dia anak angkatku, kelak Serikat Nusantara akan diteruskan olehnya.” Regi berkata memberi tahu.
Endang mengangguk paham, dia membungkuk sopan. “Kalau begitu, mohon bantuannya Tuan Muda.”
“Saya juga, mohon bantuannya.” Langit sudah tidak lagi merasa canggung jika seseorang membungkuk hormat dan memanggilnya tuan muda.
Ketika mereka bertiga hendak membahas perkembangan atlet. Tiba-tiba dari arah pintu masuk, muncul seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Anak itu berkulit gelap, rambutnya keriting dengan gaya cepak pendek. Hal menarik dari kedatangannya adalah bagaimana bocah itu berjalan. Langkah sempoyongan samping menabrak barang dan orang yang dia temui berkali-kali.
Endang sepertinya sudah hafal betul dengan kelakuan anak itu, karena dia segera berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala. Pria paruh baya itu lalu meminta salah satu rekannya untuk membantu bocah yang sudah terjungkal ke lantai dan tidak bisa bangun itu untuk berdiri.
“Masih sama saja dia, belum berubah juga walau sudah hampir setahun di sini.” Regi tersenyum tipis menatap anak kecil yang sedang digopoh. “Ivano!” panggilnya kemudian.
Anak laki-laki itu mengangkat kepalanya, manik hitamnya beradu tatap sebelum bersinar riang. Bocah itu segera melepaskan tangan salah satu seniornya dan berlari ke arah Regi walau sempoyongan.
“Lama seng jumpa, Pak Regi!”
Regi mengangguk singkat, “Lama seng jumpa, ale baru datang?”
“Beta mau datang pagi-pagi, mar beta punya kepala sakit sekali!” Ivano memegang kepalanya sambil beralasan.
Endang yang berdiri di samping Ivano berdecak pelan, “Siapa yang suruh ale minum?! sudah beta bilang berhenti, ale masih saja seng hiraukan!”
Langit memperhatikan interaksi mereka dalam diam, jujur saja dia separuh tidak mengerti. Baru kali ini bocah itu mendengar percakapan dengan bahasa daerah. Walau pengetahuannya sedikit, setidaknya Langit tahu bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa daerah Ambon. Bahasa dari bagian timur Indonesia, Suku Ambon adalah suku terbesar di Maluku yang mendiami wilayah Ambon dan sekitar.
“Ose siapa?” tiba-tiba saja perhatian Ivano beralih pada Langit.
Endang segera menempeleng kepala Ivano lebih dulu, “Harusnya ale kasih nama dulu baru bertanya!”
Ivano mengaduh pelan, mengusap belakang kepalanya yang sebenarnya tidak sakit. DIa hanya suka membuat Endang naik darah.
“Beta punya nama Ivano Nafali, beta orang Ambon.”
“Namaku Langit, senang berkenalan denganmu, Ivano.”
“Ale bisa panggil beta, Ano. Orang sini biasa panggil beta begitu, ale anak baru?”
Kali ini Endang yang menjawab, “Langit adalah anak Pak Regi, jadi ale jang talalu mongo-mongo!”
Langit segera menarik pelan ujung baju Regi, “Apa artinya, Om?” tanyanya sambil berbisik pelan.
“Artinya, kamu jangan terlalu ceroboh.” Langit mengangguk paham, lalu perhatian Regi kembali pada Ivano dan Endang.
“Mumpung ada Ivano, bagaimana kalau Langit adu tanding dengannya?”
Perkataan tiba-tiba dari Regi membuat tiga kepala menatapnya serempak. Langit membulatkan matanya lucu, dia belum pernah adu tanding semenjak dilatih Yohan. Sementara itu Endang merasa murid didiknya belum layak untuk jadi teman latihan Langit.
“Beta sih tidak masalah, mar beta punya kepala sedang sakit.” Ivano kembali mengaduh pelan, “Beta mau izin pulang sebenarnya.”
“Sayang sekali, padahal aku sudah siapkan uang jajan buat pemenangnya.” kata Regi, lesu dan hendak menaruh kembali dompetnya yang entah sejak kapan dia keluarkan.
“kalau dipikir-pikir lagi, beta seng sakit kepala. Kapanpun beta siap!”
“Baguslah. Jadi, bagaimana denganmu, Langit?” Regi bertanya, memalingkan wajah ke arah putranya.
“Aku juga siap!”
Langit sebenarnya masih tidak yakin, namun dia juga ingin tahu sejauh mana perkembangannya setelah berlatih. Maka diterimalah usulan Regi dan akhirnya dua anak berusia sepuluh tahun itu berdiri berhadapan di arena. Banyak atlet-atlet senior dan pelatih mengelilingi luar arena untuk menonton.
“Ale jan marah, ale kalah demi beta kali ini aja, ya!” Ano tersenyum lebar, sambil memasang raut memelas. “Nanti beta traktir minum!”
Langit mengerutkan kening, mencoba mengerti kata-kata Ivano. Namun belum sempat dia menjawab, suara gong tanda mulai terdengar nyaring.
Continue…
1. Ale/Ose: Kamu
2. Beta: Saya
3. Seng: Tidak
4. Mar: Tapi
5. Jan: Jangan
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Ayano
Aku berasa kek yang ngomong
Ada logatnya wak 😅
2023-06-22
0
Ayano
Udah punya bibit unggul nya ini
2023-06-22
0
Ayano
Gak papa. Gila sekarang. Kalo dah kelar latihan langsung op kok
2023-06-22
0