Bab. 14 - Rumah Baru -

Setelah hampir tiga jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah besar dengan luas tanah beratus-ratus meter. Langit yang melihat dari kaca mobil membuka mulutnya tidak percaya. Gerbang besar dengan tinggi sekitar satu meter terbelah menjadi dua, terbuka lebar. Mobil sedan berjalan pelan memasuki pekarangan rumah yang sisi kanan dan kiri dipenuhi kebun bunga.

Jarak dari gerbang masuk menuju teras rumah sekitar seratus meter. Mobil berhenti tepat di depan teras, beberapa orang berpakaian rapi berjajar siap menyambut kedatangan tuan dan nyonya mereka.

Ajudan mereka lebih dulu keluar dari mobil bersama sopir. Mereka berdua bertugas membukakan pintu. Regi keluar lalu merapikan jas abu-abunya dan mengangguk berterima kasih. Sementara itu Langit dengan hati-hati keluar lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Fuji. Wanita paruh baya itu hampir histeris mendapat perlakuan manis dari anak angkatnya.

“Selamat datang Tuan, Nyonya, dan Tuan Muda!” serempak empat orang yang berbaris di depan mereka membungkuk sopan.

Langit tersentak pelan, kaget dan tidak terbiasa. Fuji berdiri di sampingnya menepuk pelan pundak Langit dan merangkulnya.

“Selamat datang di rumah barumu, Langit!” Fuji tersenyum lebar, dia menarik tangan Langit dan membawanya masuk ke dalam.

“Mohon maaf, Nyonya.” Seorang pria berusia hampir lima puluh tahun dengan rambut yang sudah memutih menghentikan Fuji dan Langit.

“Bolehkan saya meminjam waktu Tuan Muda Langit untuk mengajak beliau berkeliling dan menceritakan sejarah keluarga Sanjaya terlebih dahulu?”

Fuji mengerutkan keningnya, “Apakah tidak bisa diundur saja?”

“Tidak bisa, Nyonya. Ini sudah menjadi tradisi lama keluarga Sanjaya setiap menyambut keluarga baru.” Pria itu tersenyum ramah, “Bukankah Nyonya yang paling mengetahuinya?”

Pelipis Fuji berkedut pelan, kesal karena apa yang dikatakan kepala pelayannya benar. Namun dia juga merasa kasihan pada Langit yang harus mengalami hal serupa ketika dia datang sebagai menantu di keluarga Sanjaya. Karena tidak bisa membantah, akhirnya Fuji melepaskan genggamannya pada Langit dan berjongkok agar tatapan mereka sejajar.

“Aku sudah menyiapkan kamar mu di lantai dua, jika sudah selesai kamu bisa beristirahat dengan nyaman di sana.”

“Ba-baik, ta-tante.”

Fuji yang tadinya hendak beranjak berdiri, tidak jadi dan mengambil kedua tangan Langit. Dia mengusapnya pelan dan menatap sepasang mata biru di depannya dengan tulus.

“Aku ingin sekali masa percobaan cepat selesai. Dengan begitu kamu bisa dengan bangga memperkenalkan dirimu sebagai Langit Sanjaya. Dan tentu saja jika kamu tidak keberatan mau memanggilku Ibu.”

Setelah mengatakan apa yang ingin dia katakan, Fuji segera berdiri. Dia lalu meninggalkan Langit dengan kepala pelayan keluarga Sanjaya. Langit masih diam sambil menatap punggung Fuji yang kian menjauh sebelum hilang di persimpangan koridor.

“Perkenalkan nama saya Bastian, mari ikuti saya, Tuan Muda.”

Langit mengangguk kecil, dia menoleh lagi ke arah perginya Fuji sebelum berlari menyusul Bastian.

*

“Pada tahun 1951, Owi Sanjaya membeli perusahaan rokok yang hampir gulung tikar di Kudus, Jawa Tengah. Lalu pada tahun 1963 perusahaan ini hampir punah karena kebakaran besar yang menghancurkan pabrik perusahaan serta diikuti kematian Tuan Owi Sanjaya.” Bastian berdiri di depan sebuah bingkai foto berukuran besar yang memperlihatkan lukisan seorang pria tua dengan tatapan tajam dan tegas.

Langit menatap lukisan itu dengan kagum. Kakinya kembali bergerak ketika Bastian sudah berpindah tempat untuk menunjukan hal lain padanya.

“Kedua anak beliau tidak berputus asa dan mencoba untuk membangun kembali perusahaan. Perjalanan yang mereka tempuh tidaklah singkat, sampai pada pertengahan tahun 1970, perusahaan ini secara resmi mendirikan Research and Development Center untuk mengembangkan produk mereka.”

Keduanya berhenti di depan sebuah miniatur bangunan yang cukup besar. Langit memperhatikannya dengan saksama. Bastian kembali melangkah dan Langit mengikuti, kali ini mereka menuju ke papan besar mirip pohon keluarga.

“Tuan Regi adalah cucu dari mendiang Tuan Besar Budi yang merupakan anak pertama. Dan Tuan Muda Langit adalah calon penerus Tuan Regi. Hal ini menjadikan Tuan adalah generasi ke 5 keluarga Sanjaya.”

Langit mengangguk paham, dia sempat menelan ludah gugup. Sama sekali tidak menyangka latar belakang keluarga angkatnya akan begitu kuat dan sebesar ini.

“Tuan Regi memutuskan untuk mencoba peruntungan didunia olahraga. Beliau membangun Serikat Suku di Joekarta dengan nama Nusantara. Serikat ini adalah tempat bagi mereka yang telah membangkitkan Darah Suku. Nusantara mengumpulkan orang-orang berbakat untuk mencoba menjadi pemenang di Turnamen Piala Suku Dunia.”

Piala Suku Dunia, adalah kompetisi pertarungan yang diikuti oleh tim-tim terbaik dari setiap Serikat Suku di Indonesia. Para tim mengajukan lima orang jawara terkuat sebagai perwakilan dari tiap sukunya. Untuk bertanding melawan jawara dari Serikat Suku lainnya. Sampai babak final dan hanya satu pemenang yang kelak mendapatkan gelar sebagai jawara dan suku terbaik se-indonesia.

Kembali ke Bastian yang menceritakan sejarah keluarga Sanjaya dengan teratur dan terperinci. Butuh waktu sekitar lima jam sampai laki-laki tua itu selesai dengan ceritanya dan memperbolehkan Langit pergi ke kamarnya. Salah seorang pelayan perempuan mengantarnya menuju lantai dua.

“Silahkan beristirahat dengan nyaman, Tuan Muda. Saya akan memanggil anda ketika waktunya makan malam.”

“Te-terima ka-kasih,” Langit berusaha tersenyum sambil melambaikan tangannya.

Setelah pelayan itu undur diri dan menutup pintu, Langit segera merebahkan dirinya di lantai yang dingin. Hari ini terasa panjang dan melelahkan sekali, terutama bagian bersama Bastian. Walau begitu dia sedikit merasa senang, karena Langit dapat mengetahui latar belakang keluarga orangtua angkatnya.

Suara ketukan pintu terdengar, namun tak kunjung ada jawaban. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya pintu terbuka. Fuji muncul dari ambang pintu, dia datang untuk mengajak Langit makan malam bersama.

“Langit, sudah waktunya makan ma– oh, ya ampun.”

Fuji segera menghampiri Langit yang ternyata tertidur di lantai. Wanita paruh baya itu segera menggendong dan menidurkannya di ranjang berukuran king size serta menyelimutinya.

“Anakku pasti kelelahan setelah perjalanan panjang dan ikut bimbingan singkat dari Bastian.” Fuji mengusap pelan kening Langit.

“Mimpi indah, Langit kecilku.”

*

Suara kicauan burung gereja terdengar samar bersama aroma mentari. Langit dalam balutan selimut hangatnya, menggeliat pelan. Rasa hangat membuatnya nyaman dan memaksanya untuk kembali jatuh tertidur. Namun ketukan pintu tak lama terdengar, disusul seseorang membuka pintu dan masuk sebelum dia membuka tirai besar yang menutupi jendela kamar.

“Selamat pagi, Tuan Muda.”

Seorang pelayan muda berusia sekitar dua puluh tahun dengan rambut coklat yang dikuncir dua menyapanya riang. Gadis muda itu membawakan segelas air dingin dengan garnish potongan buah lemon yang segar. Nampan diletakan di atas nakas sementara pelayan itu membuka selimut yang menyelimuti Langit.

“Uh…,” Langit beranjak duduk setengah sadar.

“Saya membawakan minuman untuk Tuan Muda. Silahkan diminum terlebih dahulu sambil saya menyiapkan pakaian.”

Langit mengangguk patuh, masih dengan mata terpejam. Rambut hitamnya yang bergelombang tampak lebih lebat dan berantakan akibat baru bangun tidur. Langit menegak air dingin beberapa kali. Rasa asam yang dingin dari minumannya membuat Langit perlahan terjaga.

Manik biru itu mengerjap beberapa kali, sedetik kemudian tubuhnya membeku. Dia segera turun dari ranjang besarnya, keringat dingin jatuh sebesar biji jagung.

“A-ah! oh ti-tidak! ja-jam be-berapa sekarang?!” tanyanya panik.

Pelayan yang tengah menyiapkan baju segera menjawab, “Pukul enam pagi, Tuan Muda.”

“A-aku ke-ketiduran! a-aku ha-harusnya pe-pergi ma-makan malam bersama!” Langit mengacak rambutnya yang sudah berantakan menjadi lebih kusut.

Bisa-bisanya dia jatuh tertidur, padahal dia sudah ada janji untuk makan malam bersama dengan keluarga angkatnya. Langit tidak yakin harus memasang ekspresi seperti apa untuk menghadapi kekecewaan orangtua barunya. Padahal kesan pertama itu penting, itu adalah hal yang selalu Yatna ingatkan berulang kali padanya. Dan Langit sudah menghancurkan kesempatannya untuk memberikan kesan baik pada keluarga Sanjaya.

“Soal itu, kemarin malam Nyonya yang memerintahkan kami untuk tidak membangunkan Tuan Muda.”

Langit segera menoleh menatap pelayan di depannya.

“Karena Tuan Muda pasti kelelahan setelah perjalanan panjang, jadi tidak ada yang membangunkan Tuan.” Pelayan itu kembali menjelaskan dengan nada ramah. Dia lalu menaruh satu stel pakaian di tepi ranjang. “Baiklah, sekarang waktunya mandi, Tuan Muda. Kita harus segera pergi ke ruang makan untuk sarapan.”

“U-uh, o-oke…, TU-TUNGGU! A-APA YA-YANG KA-KAU LAKUKAN?!” Langit berjengit kaget saat tiba-tiba pelayan itu melepas baju atasnya.

“Eh? tentu saja memandikan Tuan Muda,” jawab pelayan itu.

“A-aku bi-bisa se-sendiri,” Langit buru-buru mengambil handuk untuk menutupi bagian atas tubuhnya. “Bi-bisakah ka-kau keluar? a-aku akan mandi se-sekarang.”

Pelayan muda itu terdiam, benaknya tengah histeris dengan kelakuan manis tuannya. Setelah berdehem pelan, dia kembali tersenyum ramah.

“Maaf sudah mengejutkan Tuan Muda, tetapi sudah tugas Ningsih untuk menyiapkan keperluan Tuan Muda. Tentu saja mulai dari memandikan Tuan Muda Langit.”

Pipi Langit yang putih berubah merah seperti buah tomat yang siap dipetik. Rona merah itu bahkan menyebar hingga ke telinga. Langit buru-buru menggelengkan kepalanya, menolak mentah-mentah hal itu.

“Ti-tidak perlu! a-aku bisa se-sendiri, to-tolong keluar!”

Ningsih yang tidak tega menggoda tuannya lagi akhirnya mengalah. Setelah puas melihat kelucuan dari penerus keluarga Sanjaya dipagi yang cerah ini, Ningsih menutup pintu kamar. Langit yang akhirnya sendirian di kamarnya langsung terduduk di lantai.

Di panti asuhan anak-anak kadang suka mandi bersama, namun tidak pernah campur dengan lawan jenis. Salsa selalu mengajarkan hal yang boleh dan tidak bagi mereka sejak kecil. Karena itu Langit sama sekali tidak sanggup menahan malu jika dia benar-benar harus dimandikan oleh wanita muda seperti Ningsih. Kelihatan bertelanjang dada di depan Yatna saja sudah membuatnya ingin mengubur diri hidup-hidup.

“A-apa se-semua o-orang kaya se-seperti ini?”

Continue…

Terpopuler

Comments

Ayano

Ayano

Seumur hidup mandiin anak bocah, sekarang dia yang dimandiin 🤣🤣🤣

2023-06-09

1

Ayano

Ayano

Wah wah.... the king ya berarti

2023-06-09

1

Ayano

Ayano

Kepala pelayannya lebih berkuasa jiiir

2023-06-09

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!