SABUNG SUKU

SABUNG SUKU

Bab 1. - Panti Asuhan Bag. 1 -

Cahaya putih dan kuning dari lampu sorot yang berada di atas langit-langit stadion menyorot ke arah arena seluas lapangan sepak bola. Bangunan berbentuk oval ini memiliki kapasitas hingga mampu menampung 110,000 penonton. Seluruh bangku terisi penuh, dua kubu terbentuk, berpakaian sesuai ciri khas pemain andalan mereka. Di sisi kanan, penonton laki-laki memakai pakaian kaos putih dengan luaran baju koko berwarna merah marun dan hitam, celana komprang tanggung, dan sebuah sabuk hijau melingkar di pinggang..

Ketika seorang pemuda muncul, riuh teriakan dan tepuk tangan terdengar menyambut jawara. Pemuda berusia tiga puluhan dengan rambut hitam ikal, memakai pakaian berwarna hitam, dan kain bermotif batik geometris emas melingkar di pinggang dengan sisa kain menjulur sampai lutut.

Di sisi kiri, pendukung lawan memakai pakaian dengan atasan lengan panjang, bawahan celana selutut berwarna kuning lembut. Sebagian memakai selendang kain tenun yang melingkar di leher. ketika jawara lain muncul, kali ini suara terompet terdengar menyambutnya. Pria berusia dua puluhan dengan rambut cepak hitam, rahang tegas dan mata cemerlang berjalan ke tengah arena. Dia memakai pakaian serupa dengan pendukungnya, hanya warna yang membedakan. Jawara itu berpakaian serba merah, juga memakai ikat kepala bermotif batik Aksara Lontara hitam putih.

“Selamat malam semuanya!”

Seorang pria muda berpakaian serba hitam dengan blangkon batik coklat di kepala, berdiri di antara dua jawara, dia kembali berseru penuh semangat.

“Malam ini malam penentuan. Siapakah yang akan menjadi Wakil Indonesia di Piala Suku Dunia selanjutnya?!”

“Apakah Benyamin dari Suku Betawi?” teriakan di sisi kanan bergemuruh.

“Ataukah Tole dari Suku Toraja?” kali ini sisi kiri yang bersorak.

Pembawa acara tersenyum lebar, dia mengangkat tangan kanan ke atas,

“Tidak usah banyak cakap lagi! Mari kita saksikan bersama-sama!” lalu gestur tangannya membuat garis lurus secara vertikal sebagai tanda dimulainya pertarungan antar suku.

Suara bel panjang menandakan pertandingan dimulai terdengar.

Tole bergerak lebih dulu, cincin perak yang melingkar di telapak tangan bersinar lembut. Sedetik kemudian muncul perisai sepanjang 110 cm, kemudian jawara Toraja menarik tombak besi sepanjang 1 meter dengan ujung besi terdiri dari dua buah bilah bermata dua dari batu permata merah yang tertanam di tengah perisai besi. Kanta dan Bessing Banraga, begitulah orang-orang menyebut senjata dari Sulawesi Selatan.

Kedua tangan itu mengeratkan pegangan pada tombak, sedetik kemudian Tole melakukan serangan. Dia berteriak keras, gerakan tangannya cepat, melakukan teknik tarik-dorong sehingga ujung tombak besi terlihat hilang-muncul dengan cepat dan siap melukai lawan. Meski begitu lawannya tidak gentar, Benyamin berhasil menghindari setiap serangan dengan menghindar ke kanan, ke kiri, melompat, bahkan berguling. Seruan para pendukung terdengar saling sahut menyahut. Membuat stadion semakin panas walau pertarungan baru berjalan lima menit.

Serangan agresif Tole masih terus berlanjut, dia menggunakan ujung tombak untuk melempar pasir, siasat mengecoh lawan sebelum dia bergerak ke sisi lain dan melompat, bersiap menikam lawan. Suara denting senjata beradu terdengar--Tang!--Benyamin akhirnya mengeluarkan senjata setelah sejak tadi bertahan dengan tangan kosong.

Kapak besar sepanjang 90 cm dengan mata menyilang ke arah gagang pegangan berkilau terkena cahaya lampu. Kali ini giliran Benyamin melakukan serangan balasan. Ha! Ha! Ha! Gerakan dengan ayunan kuat beberapa kali menghantam perisai, menimbulkan percikan api dan gelombang udara. Setiap menyerang kekuatan Benyamin terus bertambah. Tole terdesak, tidak mendapat celah untuk mengayunkan tombak. Serangan jawara Betawi memaksanya bertahan dengan Bessing Banraga.

Tiga menit kedepan menjadi pertarungan sengit. Tombak Tole mengeluarkan petir biru, percikannya berkilat tajam, siap menyambar dan memberikan efek stun pada lawannya. Sementar itu Benyamin pun melakukan perlawanan, menggunakan senjatanya Beliung Gigi Gledek. Kapak besar itu terayun, membuat gelombang angin kuat, mementalkan lawannya beberapa meter ke belakang.

Tidak hanya kapak besar yang perlu diawasi, teknik tendangan serta tipuan kecil seperti menjegal kaki lawan pun tidak boleh luput dari pengawasan. Setelah hampir sepuluh menit bertahan, napas salah satu petarung mulai putus-putus. Tole kelelahan setelah sebelumnya dia terus melakukan serangan agresif. Dua kali tubuhnya terbanting mundur dua langkah, lalu berusaha merangsek maju.

“Aduh!”

Tole oleng ketika Benyamin berhasil menjegal kakinya. Dengan kesempatan yang ada, jawara Betawi langsung mengayunkan kapak besar yang terlihat mengerikan di mata lawannya.

Wushh! Buk!

Sebuah pukulan mendarat di pipi, mendorong jatuh seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Tiga orang anak seusianya tertawa melihatnya, dua bocah bertubuh kurus dan satu berbadan gemuk. Anak berkulit gelap, bertubuh kurus berdiri paling depan, menyeringai dengan raut puas.

“Pertandingan selesai dan pemenangnya adalah Nyoman dari Suku Sunda!”

Dia berseru sambil merentangkan kedua tangan dan menerima eluk-eluk dua temannya.

“Nyoman, Si Anak Emas, berhasil mengalahkan pencundang dan menjadi jawara Wakil Indonesia di Piala Suku Dunia!”

Dua temannya kembali bertepuk tangan, bersorak sorai. Sementara itu anak laki-laki yang duduk di tanah segera berdiri, membersihkan sisa tanah di celana, juga debu di rambut hitamnya yang berantakan. Dia mendongak, menatap mereka bertiga dengan sepasang mata biru jernih.

“Sudah?” tanyanya pelan.

Cengiran Nyoman perlahan hilang, matanya melirik sinis, namun tiba-tiba berubah terkejut, dia menunjuk ke atas dan berseru.

“LANGIT BISA BICARA?!” kemudian dia dan teman-temannya terbahak keras.

Anak laki-laki itu berkulit putih kemerahan, kontras sekali dengan tiga temannya yang berkulit gelap. Dia masih tetap diam, menuntut jawaban lewat tatapannya. Sampai akhirnya Nyoman berdecak pelan, mendekat, lalu menusuk dada lawan bicaranya dengan telunjuk.

“Langit tidak bisa bicara. Kalau bisa, dunia pasti kiamat. Jadi tutup mulutmu!”

Bocah bermata biru itu bergeming, kedua tangannya mengepal kuat. Sekilas mata sipitnya melirik buku catatan kecil dan pena yang tergeletak di tanah, tepat di belakang kaki bocah bertubuh gemuk. Itu miliknya, direbut paksa dan dilempar sembarang ketika tiga anak ini memaksanya ikut bermain, menjadi bulan-bulanan Nyoman dan kawannya.

“HEI!”

Teriakan nyaring terdengar dari arah kanan. Seorang anak perempuan berkulit sawo matang, memiliki mata dan rambut hitam kecoklatan, berlari menghampiri, lalu berdiri di depan anak berkulit putih dan menatap galak pada tiga orang lainnya.

“Apa yang kalian lakukan pada Langit?!”

Nyoman mengangkat bahu, “Tidak ada, kami malah berbaik hati mengajak Si Bisu bermain.”

“Langit tidak bisu!” gadis kecil menyergah cepat.

“Berhenti mengusiknya, Nyoman! Apa kau tidak tahu pepatah mengatakan, ‘jangan bangunkan macan yang sedang tidur.’ Bolos pelajaran bahasa membuatmu bodoh!”

Tidak terima dikatain, Nyoman mengherdik ketus. “Diamlah, Yatna! dia bicara dengan bahasa isyarat, menulis di catatan kecil, dan bicara hanya sepatah-dua kata! Dia lebih mirip macan ompong!”

Yatna berteriak marah, wajahnya sudah merah padam dan tanpa bisa dicegah gadis itu melayangkan tinjunya. Perkelahian terjadi, kedua bocah beradu jotos, saling menarik kerah baju. Tidak peduli walau teman-temannya berusaha melerai, termasuk Langit yang menarik lengan Yatna, berusaha menghentikannya.

“Sebentar, Langit! aku belum puas jika tidak memukul kepala kosongnya!”

Dengan dua tangan kecilnya, Yatna menarik kasar baju Nyoman lalu menghantamkan kepalanya sehingga dua kening mereka beradu. Itu benturan keras yang menyakitkan.

Nyoman sontak terdiam, dua detik berikutnya wajahnya memerah dan suara tangisan serupa sirine ambulan terdengar memekakan telinga. Perkelahian hebat ini dimenangkan Yatna. Namun apa yang menunggu setelah ini tidaklah menyenangkan. Sesampainya mereka di Yayasan Panti Asuhan, Teteh Salsa sudah berkacak pinggang di depan pintu, menatap mereka satu persatu. Mata coklatnya jernih dan tajam, selalu berhasil membuat anak-anak sontak menunduk.

“kali ini apa yang terjadi?”

Teh Salsa bertanya dengan suara lembut dan tegas. Dia berlutut di depan anak-anak supaya pandangannya setara ketika bicara.

“Aku bisa menebaknya, tapi kalian pastilah tahu bahwa perkataan jujur lebih baik dari apapun.”

“Nyoman mengganggu Langit lagi.” Yatna membuka suara lebih dulu.

“Aku mengajaknya bermain!” dibalas sergahan Nyoman.

Mereka berdua kembali saling tatap, Yatna mendorong kasar Nyoman hingga bocah itu mundur selangkah.

“Kau bukan mengajaknya bermain, tapi merundungnya, menghinanya bisu padahal tidak!”

“Cukup anak-anak!”

Salsa berseru, menghentikan dua anak yang siap bertengkar lagi.

“Nyoman, kamu sudah berjanji tidak akan menghina, atau menjelekan teman-temanmu lagi. Kita ini keluarga, meski tidak sedarah tapi kita tinggal dan tumbuh besar bersama-sama. Apapun kekurangan dan kelebihan mereka, kita akan menerimanya.”

Nyoman kembali menunduk, “Maafkan aku, Teh.”

“Kau tahu harus meminta maaf pada siapa, bukan?” Salsa balas bertanya dan sedikit tersenyum ketika Nyoman mengangguk dan balik kanan.

Anak itu mengulurkan tangan pada Langit yang masih tertunduk sejak tadi.

“Maaf, sudah menghinamu.”

Langit menggelang, tersenyum tipis. “Se-senang kamu me-menyesalinya,” meski terbata dia berujar pelan sambil meraih uluran tangan Nyoman.

“Dan kamu, Yatna.” Kali ini Salsa menunjuk gadis kecil yang tersentak pelan ketika namanya disebut.

“Berapa kali kakak bilang, tidak semua masalah selesai dengan tinju. Kamu ini perempuan, kenapa kepalan tanganmu lebih dulu bicara daripada mulutmu?”

Yatna nyengir lebar, jelas dari tatapan matanya dia tidak mau disalahkan. “Aku sudah bicara lebih dulu, tanya saja Langit. Tapi mulut lemes Nyoman memang mengundang untuk dihajar.”

Nyoman hendak berseru tidak terima, tapi diam saat melihat Salsa melotot. Yatna ikut menunduk, lalu meminta maaf karena membantah. Setelah itu mereka berlima mendapat hukuman membersihkan dapur dan membantu menyiapkan makan malam.

Continue…

Terpopuler

Comments

Tanata✨

Tanata✨

aku baca Nyoman, jadi keinget rapper, Yo Maaan🤣

2023-06-20

1

Tanata✨

Tanata✨

"sementar" -> "sementara"

2023-06-20

1

Tanata✨

Tanata✨

aku berasa nostalgia kalau baca-baca cerita indo model begini😭

2023-06-20

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!