Pukul tujuh pagi, rombongan pemuda mulai berangkat menuju hutan barat dari balai desa. Keempat anak dari panti berada di barisan tengah, diapit oleh mereka yang lebih tua dan berpengalaman.
Mereka berjalan melewati jalan setapak, dan sempat mendaki bukit beberapa kali serta menyebrang sungai kecil. Sesekali melintas salah satu pemuda dengan motor tua membawa perlengkapan berat mereka. Ada dua orang menggunakan motor yang akan menaruh lebih dulu perlengkapan kemah mereka.
Nyoman sibuk sekali mengelap senapan anginnya, juga sesekali membidik sana-sini sebelum kepalanya dijitak Basuki. Sudah hampir satu jam mereka berjalan, tanah yang mereka pijak mulai mengendur, basah, membuat sepatu mereka kotor dan terasa berat tiap melangkah.
Tidak jauh dari mereka, terlihat sebuah motor jatuh bersama bawaannya. Segera saja barisan paling depan berlari menghampiri, dua orang pria dewasa membantu mengangkat motor dan merapikan kembali bawaannya.
“Terima kasih,” ujarnya sambil menyeka peluh sebesar biji jagung. “Kalian hati-hati, di depan jalanan pasti semakin licin.”
“Ya, kau juga. Belum lagi pasti banyak semak belukar. Aku yakin pasti sakit sekali wajahmu tertampar terus menerus.” Salah satu temannya menyahut sambil tertawa.
“Itulah kenapa aku tidak mau bawa motor. Tapi sialnya kalah suit sama si Sudrajat.”
Kedua temannya yang lain tertawa sambil menepuk pelan punggungnya. Lalu mereka berpisah, dan rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Saat mereka akhirnya sampai di tempat kemah, Langit dan anak-anak lain bergegas membantu merapikan barang bawaan.
Langit menggunakan parangnya, mulai membersihkan semak belukar di beberapa tempat. Basuki dan Tio sibuk mendirikan tenda dan terpal dengan corak hijau untuk berlindung sekaligus menjadi kamuflase agar tidak ada hewan liar yang menyadari keberadaan mereka.
Sementara itu Nyoman sibuk merakit senapan laras panjang miliknya. Dia menggunakan tripod sebagai penahan dan beberapa kali menyesuaikan tinggi supaya memudahkannya dalam membidik, maupun mengintai mangsa lewat teleskop kecil di senapannya.
Langit menoleh sekeliling, rombongan yang semula ramai kini tersisa hanya empat orang. Tidak ada lagi pemuda desa maupun para tetua, hanya menyisakan mereka anak-anak panti. Merasa janggal, bocah itu pun segera menarik ujung baju Tio.
“Di- di mana yang lain?”
“Berpencar.” Jawab Tio pendek.
Diantara anak lain, Tio memiliki ketajaman mata seperti burung elang. Sejak tadi dia tidak hentinya melihat sekitar, mengintai dengan teropongnya. kalau-kalau satu-dua ekor anak babi masuk ke dalam radar pengawasannya.
“Supaya tidak lama, kita dibagi jadi tiga tim.” Kali ini Basuki yang bicara, “Moga saja kita tidak perlu tidur di hutan.”
“Husshh!!” Nyoman berhus pelan, “kalian semua diam, dong. Ada yang kelihatan, nih!” katanya lagi sambil berbisik.
“Apa? di mana?” Tio ikut berjongkok di samping Nyoman. Matanya yang tajam mulai menyipit ke arah yang ditunjuk.
“Diam…,” hampir saja Nyoman menggeram kesal.
Sekitar 3 km dari tempat mereka saat ini, samar-samar terlihat sesuatu bergerak di antara semak. Sekitar tiga ekor babi hutan dengan ukuran besar bergerak pelan ke arah barat. Tio segera menganalisa target mereka dengan mata elangnya, sebelum dia bergumam pelan.
“Hm…, beratnya sekitar 150 kg, panjang hingga 6 kaki, panjang telinga 150–200 mm, dan tinggi bahunya mungkin 450–700 mm. Dua ekor lainnya untungnya tidak sebesar yang pertama.”
Basuki bersiul pelan usai mendengar analisa Tio yang cepat dan akurat. Nyoman menelan ludahnya gugup, tidak pernah ia sangka akan sebesar itu satu ekornya saja. Bagaimana dengan si raja hutan?
“Kalian berdua takut?” Tanya Basuki sambil menepuk pelan pundak Langit.
Nyoman berdecak pelan, “Gugup mungkin, tapi tidak dengan takut.”
“Se-sedikit,” Langit memilih menjawab jujur.
Basuki menyeringai lebar, “Aku suka keberanianmu, Nyoman. Tapi tidak ada salahnya merasa takut agar lebih waspada.”
“Takut bukan berarti pengecut. Hanya membuat kita jadi lebih sensitif, lebih hati-hati, sehingga kita tidak ceroboh dan malah melukai rekan sendiri.” ujar Tio menimpali.
“Iya, iya. Jadi, kapan kita serang mereka?” tanya Nyoman acuh.
“Dasar bocah bebal satu ini!” Basuki terbahak sambil pura-pura memukul Nyoman.
***
Matahari semakin turun ke ujung cakrawala, mengubah siang menjadi petang. Basuki menoleh ke arah tiga teman pantinya, meminta mereka untuk bersiap. Tio mengambil busur dan anak panah, Nyoman menggenggam senapan laras panjang dengan mata membara, Basuki menghela nafas pelan dan mengeratkan genggaman pada tombak, sementara Langit, bocah itu menatap pantulan dirinya pada belati sebelum memasukkannya ke sarung. Waktu berburu akan dimulai begitu malam tiba.
Keheningan malam kali ini agaknya berbeda. Selain suara binatang malam, gesekan semak belukar lebih sering terdengar. Beberapa hewan mengangkat kepala mereka, telinga bergerak gelisah, sebelum kembali menunduk, sibuk mengendus atau makan rumput.
Beberapa pasang mata mengintai di balik sela semak setinggi pinggang orang dewasa. Mengamati seekor mamalia kecil berkaki empat, sibuk makan diwaktu yang salah. Sedetik kemudian, sesuatu menabraknya keras, membuatnya terpental beberapa meter. Belum sadar dengan apa yang menyeruduknya, sesuatu berbulu hitam kasar, kembali menyerang. Jeritan kecil mamalia malang itu membelah kesunyian malam.
Tidak jauh dari lokasi kejadian penyerangan, seseorang menelan ludah gugup dengan keringat setitik hampir jatuh di ujung dagu.
Saat predator itu lengah, sibuk menikmati makanannya. Sosok yang bersembunyi di balik rerumputan segera melompat dan menyerang. Ujung tombak logam yang runcing meluncur seperti peluru dan menggores tubuh bagian kanan. Jeritan keras terdengar memecah keheningan malam.
Belum selesai, Basuki kembali melakukan serangan. Tombak dia dorong sekuat tenaga ke depan, tepat melubangi bagian sisi kiri babi bagong. Kemudian dia memutar tangannya, mengayunkan tombak ke arah luar hingga membentuk garis lengkung dan menusuknya lagi dari bawah ke atas.
Serangan yang diberikan berulang kali membuat lawannya marah. Dengan tubuhnya yang besar dan tinggi melebihi Basuki, Babi bagong menyerang dengan cara mengayunkan kepalanya dari bawah ke atas berulang kali. Namun serangan itu tidak kena karena Basuki lebih dulu melompat mundur.
Kali ini tiba giliran Langit, setelah temannya mundur, bocah itu muncul dari atas pohon pinus. Dia melompat tepat di atas kepala babi, menusuknya dengan belati, namun sayang, meleset beberapa senti dari titik yang diincar. Langit melompat mundur dua kali, lalu melesat dengan belati di tangan. Bocah bermata biru itu menyerang dua kali, membentuk huruf ‘x’ besar di beberapa badan babi. Kemudian dia melompat kesana kemari, bergerak lincah menghindari sabetan ekor lawannya yang besar dan panjang itu.
Di balik rerumputan setinggi pinggang orang dewasa, Tio sudah siap dengan tiga anak panah. Mata elangnya sejak tadi mengikuti gerakan Langit dan buruannya. Ketika melihat temannya melompat, hilang dari pandangannya, saat itu juga Tio melepaskan tali busur dan tiga anak panah runcing melesat cepat mengenai punggung babi bagong. Hewan itu roboh dengan suara berdebum kencang.
Serangan terakhir dilakukan oleh Nyoman. Anak laki-laki itu sudah sejak tadi menunggu gilirannya. Dia berada di bukit dengan jarak sekitar 500 meter dari teman-temannya, menunggu. Dan saat melihat binatang besar itu roboh, maka Nyoman tahu bahwa inilah saatnya dia menarik pelatuk.
Suara senapan terdengar nyaring, dua buah peluru melesat cepat menembus tengkorak hingga tembus ke tanah.
Tiga detik yang hening, sebelum helaan napas lega dari Basuki, Tio, dan Langit terdengar. Beda lagi dengan Nyoman yang sudah mengepalkan tinju ke udara dan bersiul riang.
Malam ini, satu babi berhasil dikalahkan oleh tim Basuki.
***
Segaris lurus asap tipis membelah langit malam berbintang. Api unggun kecil dibuat di sebuah bukit tandus, jauh dari lebatnya hutan. Malam masih panjang, namun rasa lapar membuat empat anak laki-laki terjaga. Setelah mengeluarkan perbekalan dan memanaskannya sebentar, Tio membagikannya pada anak-anak lain.
Nyoman masih memasang senyum lebar, makan sambil bersenandung riang. Dan tak tahan untuk memuji dirinya sendiri, dia membuka mulutnya yang masih penuh untuk bicara.
“Kalian semua lihat kehebatanku tadi?” Nyoman membusungkan dada, “Aku selalu tahu kalau aku itu sangat hebat, berbakat, dan sudah pasti, memburu babi bagong adalah hal remeh bagiku!”
“Untuk ukuran bocah kurang gizi sepertimu, hebat juga kau tidak meleset!” Basuki merangkul pundak Nyoman santai. “Aku sudah siap menyerang jika tembakan tadi gagal.”
“Apasih! jangan samakan aku dengan Langit!” Nyoman berusaha melepaskan rangkulan Basuki dan mendelik sengit ke arah anak berambut hitam di seberangnya.
“Kalau tadi dia tidak gagal, kita bisa selesai lebih cepat dan menyusul tim di depan!” Nyoman menunjuk Langit dengan jari telunjuk, terlihat marah. “Seharusnya dia memilih senjata yang lebih kuat. Ah! bukan, memang dia saja yang lemah, tidak berguna!”
“Nyoman,” suara berat Tio terdengar serius. Remaja yang sejak tadi sibuk merapikan peralatan makan tiba-tiba memandangnya dengan tajam. “Jaga bicaramu, tidak baik mengolok teman sendiri. Langit sudah melakukan hal yang dia bisa, tanpa membuat kesalahan fatal dan tidak ada yang terluka hanya karena dia meleset.”
“Benar, kau tidak seharusnya menghina teman sendiri.” Basuki menambahkan.
“Seperti kau tidak baru saja menghinaku dengan mengataiku kurang gizi!” balas Nyoman yang akhirnya bisa melepaskan rangkulan Basuki.
Anak laki-laki itu tidak berani membalas perkataan Tio, karena seluruh anak panti tahu betapa menyeramkannya pria pendiam ini jika sudah marah. Alhasil Nyoman hanya mengerucutkan bibirnya, mengomel pelan sambil menghabiskan makan malamnya.
Continue…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Erarefo Alfin Artharizki
tio dewasa banget
2023-06-12
1
Firenia
kirain babi hutannya dimasak..
2023-06-08
1
Firenia
matanya jauh lebih bagus daripada anak" skrng yg banyak minus 😅
2023-06-08
1