Bab 3. - Panti Asuhan Bag. 3 -

Salsa sekali lagi menaruh telunjuk di depan mulut, memberi isyarat pada anak panti untuk kembali diam. Anak-anak menurut, suasana kembali tenang dan Bibi Tun melanjutkan ucapannya.

“Basuki.”

Remaja laki-laki berusia empat belas tahun dengan rambut keriting, berkulit gelap, mengangguk singkat ketika namanya dipanggil.

“Tio.”

Di samping Basuki, remaja seumurannya dengan kulit kuning langsat, berambut cepak, dan bermata coklat tua mengangkat tangan ketika disebut.

“Nyoman.”

Tidak perlu dilihat pun pastilah tahu siapa pemilik suara teriakan girang itu. Bibi Tun kemudian mengalihkan tatapannya pada anak terakhir.

“Dan Langit,”

Dua pasang mata berbeda warna itu saling tatap. Bocah berusia sepuluh tahun bermata biru tersenyum kecil, mengangguk, menanggapi tatapan tersirat itu. Bibi Tun menghela napas pelan, dadanya terasa sesak, namun dia berusaha tersenyum walau getir.

“Kalian berempat pergilah ke balai desa besok subuh. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk dan kalian kembali sehat walafiat.”

Ketiga anak laki-laki mengangguk mendengarkan, sementar Nyoman masih sibuk ber-yes-yes. Bibi Tun lalu menepuk tangan, seakan menandakan berakhirnya pembicaraan ini. Kemudian dia tersenyum lebar, siap melanjutkan kabar berikutnya.

“Bibi yakin, kabar kedua ini pasti akan sangat menggembirakan.” Wanita itu sengaja menggantung ucapannya supaya perhatian anak-anak tertuju padanya.

“Minggu depan kita akan kedatangan sepasang pasutri yang ingin menambah anggota keluarga mereka.”

“SUNGGUH?!” suara itu berasal dari Nyoman yang sudah berdiri sambil menatap Bibi Tun. “Apakah mereka orang berpengaruh? apakah mereka kaya?”

Bibi Tun tertawa renyah, Yatna sudah menarik ujung baju Nyoman, memaksanya kembali duduk. Suasana ruang makan berubah bising, dan diliputi antusiasme. Anak-anak itu mulai berceloteh, berangan-angan bahwa kali ini mereka akan mendapatkan orang tua yang di impikan sejak lama.

Hampir semua anak tidak sabar bertemu dengan calon orang tua mereka, kecuali Langit.

Bocah itu hanya diam dengan segaris senyum tipis. Sinar matanya terlihat tidak peduli, dia lebih memperhatikan Owen di sampingnya. Mencubit pelan pipi gembil dan terkekeh pelan.

***

Pukul sebelas malam.

Semua lampu sudah dimatikan, anak-anak tertidur pulas di ranjang masing-masing. Namun ada satu kasur kosong dengan selimut tersibak dan hampir jatuh ke lantai. Menuju arah dapur, secercah cahaya remang-remang terlihat. Di meja berbentuk persegi panjang, duduk seorang remaja berambut cepak. Anak laki-laki itu menunduk, menatap pantulan wajahnya di permukaan susu hangat.

“Kak Tio?”

Tio tersentak dan menoleh cepat sebelum dia menghela napas lega setelah tahu siapa yang datang. Dia tersenyum hangat dan menyuruh Langit untuk duduk di sampingnya.

“kenapa kamu belum tidur, Langit? Besok kita harus berangkat pagi-pagi. Atau kamu gugup? jadi tidak bisa tidur?”

Langit menggeleng pelan, “A-aku ha-haus.”

“Ah! kau mau minum susu hangat?” Tio menawarkan gelasnya, dan diterima dengan senang hati oleh Langit.

Bocah itu meniup pelan sebelum menyesapnya dengan hati-hati. Tio tersenyum, gemas melihatnya. Namun sinar matanya kembali meredup. Seakan mampu membaca kegelisahan Tio, Langit berujar pelan.

“Semua akan baik-baik saja, Kak.”

Mendengar perkataan Langit, agaknya membuat hati Tio tenang. Dia mengelus pelan puncak kepala adik kecilnya. Semua orang di yayasan tahu betul, jika Langit sudah bicara jelas tanpa terbata, maka biasanya apa yang dia katakan menjadi kenyataan. Itulah salah satu kemampuan unik yang dimiliki Langit.

“Terima kasih, Langit. Besok, kau harus berada di dekatku, aku akan menjagamu dengan baik.”

“Um! a-aku ju-juga a-akan menjaga, kak Ti-Tio!”

“Nah, sekarang kita harus tidur. Besok adalah hari penting!” Tio segera beranjak dan membawa Langit kembali ke kasurnya.

***

Tepat pukul lima pagi, empat anak laki-laki sudah bersiap menuju balai desa. Bibi Tun, Teh Salsa dan Yatna akan mengantar mereka.Sebenarnya gadis kecil itu sudah dilarang, namun bersikeras untuk ikut karena mencemaskan teman-temannya. Hingga akhirnya Bibi Tun memperbolehkannya dengan helaan napas berat Salsa yang terpaksa setuju.

Sesampainya mereka di balai desa, suasana terlihat ramai. Para wanita sudah memasak sejak subuh, menyiapkan makanan untuk mereka yang akan pergi berburu. Sementara para laki-laki, sibuk menyiapkan senjata mereka. Di bagian sisi kanan balai sudah dipenuhi dengan berbagai macam tombak runcing, pedang, anak panah dan senapan laras panjang.

Nyoman yang memang sudah bersemangat, semakin tidak terkendali ketika matanya melihat senapan. Matanya berbinar, dan mulai merengek meminta untuk mendapatkan senapan sebagai senjatanya. Teh Salsa sudah mulai naik darah, menyuruh anak laki-laki itu untuk diam sebentar dan mengikuti Bibi Tun bertemu kepala desa.

Seorang pria berkisar umur lima puluh tahunan menghampiri Bibi Tun ketika melihatnya datang. Badannya pendek, sedikit gemuk, dengan rambut tipis yang mulai penuh uban. Dia memakai peci dan baju koko warna putih serta sarung bermotif kotak-kotak hitam putih.

“Kalian sudah datang rupanya, mari masuk.”

“Semoga kami tidak terlambat datang untuk rapat sebelum berburu, Pak Parto.”

Pria itu terkekeh pelan, “Tidak, tentu saja tidak. Kita malah masih ada waktu untuk sarapan bersama. Apa kalian sudah makan anak-anak?” kini mata coklatnya yang mengabu beralih pada anak-anak di belakang Bibi Tun.

keempat anak laki-laki menggeleng bersamaan. Mereka memang sudah diberitahu untuk tidak sarapan karena akan makan bersama di balai desa.

“Nah, kalian bisa ikut makan bersama yang lain. Tidak usah malu-malu, makanlah yang banyak. Baru setelah itu kita berkumpul, yah!” Pak Parto segera mengantar rombongan panti menuju meja panjang di halaman depan.

Bentuknya seperti prasmanan, anak-anak segera mengantri dengan piring di tangan masing-masing. Satu persatu mereka menyendok nasi, lauk pauk, sampai kerupuk barulah mengambil air mineral kemasan gelas.

Langit dan Yatna mengambil makanan secukupnya, berbeda dengan Nyoman yang duduk di sebelah mereka. Anak laki-laki itu meski berbadan kurus, porsi makannya bisa untuk lima orang.

“Aku harap kau tidak menyusahkan yang lain, karena tiba-tiba sakit perut di tengah hutan, Nyoman.” Yatna menyindir halus sambil matanya menatap ngeri pada isi piring yang menggunung.

“Tidak akan!” sahut Nyoman cuek dan sibuk makan.

Selesai makan bersama, para pemuda segera memanggil keempat anak panti untuk memilih senjata mereka. Nyoman sudah lebih dulu lari menghampiri. Matanya berbinar penuh antusias, sementara Langit tampak ragu-ragu melihat-lihat senjata di depannya.

“Ini PCP MONEL?!” seruan itu berasal dari Nyoman ketika dia menunjuk salah satu senapan. “Bukannya ini buatan kediri? wah, ada juga PCP Luger–eh, Luger atau Ruger namanya?--UWOO!! AIRFORCE CONDOR?! apakah ini keluaran Amerika? Ya Tuhan ini buatan lokal?!”

“Hahaha Nyoman benar-benar tahu soal senapan,” Basuki terkekeh pelan, dia lalu mengambil dua tombak panjang dan menimbangnya. Mencoba menggenggamnya dan merasakan apakah pas di tangan atau tidak.

Sementara itu Tio mendekati kumpulan busur panah, dia juga membutuhkan waktu untuk memilih. Dan untuk Langit, anak laki-laki itu jelas tidak begitu tertarik, atau peduli dengan senjata-senjata di depannya. Dia tidak mengerti dan tidak suka dengan senjata.

“Kau tidak mungkin pergi dengan tangan kosong, Langit.” Yatna yang berdiri di sampingnya mengingatkan. “Pilihlah satu, sebagai cadangan jika terjadi sesuatu.”

Langit mengangguk kecil, lalu mengalihkan atensinya pada kumpulan senjata, berusaha memilih.

Setelah setengah jam berlalu, akhirnya keempat anak memilih senjata mereka. Nyoman memilih senapan hitam laras panjang dengan teropong di atasnya, Airforce Condor. Basuki memilih tombak dengan panjang 3 meter, terbuat dari besi dan mata tombak terbuat dari bahan logam. Disisi lain Tio memilih busur panah lunxing M131 yang ideal dan ringan berwarna hitam.

Yatna menatap takjub ketiga temannya, lalu beralih pada Langit yang datang terakhir. Bocah laki-laki itu akhirnya memilih sebilah belati bayonet, mirip parang, dengan warna hijau tua di bagian atasnya.

Nyoman menahan tawa melihatnya, dari segala jenis senjata keren di sini, Langit memilih belati.

“Ya, kau bisa menebas alang-alang selagi kami berburu.” Nyoman mengejeknya sambil menebas udara memperagakan.

Langit hanya senyum malu sementara Yatna memutar bola matanya jengah. Suara Pak Parto terdengar dari depan balai kota, mulai memanggil untuk berkumpul. Sepertinya sudah waktunya rapat strategi sebelum berburu. Keempat anak mulai berlari, ikut berkumpul dan mendengarkan instruksi dari kepala desa.

Mereka akan berangkat sebentar lagi, sebelum matahari kian tinggi. Dengan per orang membawa ransel berisi perbekalan dan alat-alat. Mereka semua akan pergi ke hutan barat karena menurut hasil pengawasan, babi bagong itu hanya akan datang malam hari dan selebihnya berada di hutan. Mereka berencana mendatangi sarangnya, namun sebelum itu akan berusaha mengurangi jumlah babi liar agar tidak mengganggu ketika menjatuhkan raja mereka.

Continue…

Terpopuler

Comments

Arise

Arise

#lokalpride

2023-06-16

1

Arise

Arise

jadi inget kakek2 di masjid 😭🤣

2023-06-16

1

Arise

Arise

biasanya yang kayak gini punya chance paling besar. bhahaha

2023-06-16

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!