“Tuan Muda, di sini ruang makan utama. Silahkan masuk,” ujar Ningsih sambil membuka pintu salah satu dari daun pintu ganda.
“Te-terima kasih, Mbak Ningsih.” Langit melangkah masuk dengan pelan.
Setiba dia di ruang makan, Langit melihat sebuah meja panjang dengan setiap sisinya terdapat lima buah kursi. Dibawahnya terdapat karpet besar berwarna merah dengan corak emas menghiasinya. Dan diatasnya sebuah chandelier besar berwarna putih menerangi ruangan dengan indahnya. Langit mematung sesaat, mengagumi kemegahan ruangan ini dalam diam.
“Kemari, sayang!” Fuji melambaikan tangan, kemudian mendorong kursi di sampingnya agar Langit duduk di sana.
Langit yang tersadar dari kekagumannya, segera menunduk dan menyapa orang tuanya.
“Se-selamat pa-pagi, Om dan Tante.”
“Selamat pagi, Langit!” Fuji membalas dengan riang.
Regi saat ini sedang membaca berita pagi ini lewat tabletnya yang tipis. Setelah menyesap kopi hitamnya, barulah dia membalas sapaan Langit dan menyuruh anak itu untuk duduk.
“Bagaimana tidurmu? nyenyak?” Fuji bertanya sambil mengambilkan satu sendok nasi goreng ke atas piring Langit. “Apa ada yang membuatmu tidak nyaman di kamarmu?” tanya lagi sambil menaruh dua telur mata sapi dan dua buah sosis.
“Ti-tidak, se-semua ba-baik.” Langit mengangguk kecil, sedikit ragu namun akhirnya memegang sendok dan garpu. “Te-terima ka-kasih, dan ma-maaf ka-karena a-aku ke-ketiduran se-semalam.”
“Oh tidak masalah!” Fuji terkekeh pelan, kali ini dia menuangkan segelas jus jeruk di gelas Langit. “Apa kau terbiasa makan nasi dipagi hari? maaf, seharusnya aku bertanya lebih dulu.”
Langit segera menggelengkan kepalanya, “Ka-kami bi-biasa ma-makan nasi di pa-pagi hari!”
“Syukurlah kalau begitu,” Fuji segera tersenyum lagi setelah sempat murung.
Setelah berdoa sebentar, Langit mulai menyendok nasi goreng. Bocah laki-laki itu meniup sebentar karena masih panas sebelum melahapnya. Aroma masakan yang harum dengan bau-bau rempah khas Indonesia. Rasa yang gurih dipadukan dengan manisnya kecap, Langit menelannya dengan perasaan gembira.
“Enak?” tanya Fuji yang ternyata sejak tadi memperhatikan Langit.
“E-enak se-sekali!”
“Ahem!”
Tiba-tiba saja suara deheman dari Regi memotong perbincangan ringan Langit dan Fuji. Mereka berdua segera menoleh ke arah Regi. Pria paruh baya itu terlihat mengerutkan keningnya, memasang wajah marah. Langit buru-buru menelan sisa makanannya dan menunduk takut.
“Tidak baik makan sambil bicara!” tegurnya dengan nada pelan namun tegas.
“Ma-maaf, Om.”
“Ei~ tidak perlu sekaku itu,” ujar Fuji sambil tersenyum riang. “Padahal kita pernah makan sambil saling bergulat.”
Sudut pelipis Regi berkedut pelan, tiba-tiba selebat kenangan lama muncul dan membuatnya kembali terbatuk. Fuji terkekeh setelah puas menggoda suaminya, sementara Langit menatap kedua orang tuanya tidak mengerti.
“O-Om mau mi-minum?” tawar Langit sambil menyodorkan air putih karena batuk Regi tak kunjung reda. “La-lalu Ta-tante, ti-tidak baik se-sedang makan sa-sambil be-berkelahi!” sambungnya lagi menegur dengan tatapan serius.
Fuji kembali terbahak, sementara Regi hampir menyemburkan air minumnya. Sungguh bocah satu ini sama sekali tidak mengerti dibalik makna ‘bergulat’ yang dikatakan Fuji pada Regi.
“Kau benar, tidak baik berkelahi saat makan. Jadi bukankah seharusnya pria tua di sana memberikan contoh yang baik dengan tidak menegur orang yang sedang makan hanya karena cemburu tidak diajak bicara?”
Fuji melirik suaminya, memberikan tatapan menyeramkan. Pria paruh baya itu berubah kikuk, dia memang tidak bisa menyembunyikan perasaannya di depan sang istri. Mereka sudah bersama selama dua puluh tahun pernikahan, tentu sudah paham dengan tabiat masing-masing.
“Itu…, ahem! selesaikan sarapanmu, kita akan pergi membeli beberapa baju untukmu.”
“Eh, i-itu ti-tidak perlu! a-aku su-sudah membawa ba-bajuku se-sendiri.”
Regi menaruh cangkir kopinya, “Kau perlu baju baru, apa kau punya hobi?”
“Eh, ho-hobi? y-ya a-aku su-suka membaca–”
“Kita sekalian pergi ke Gramedia, beli beberapa buku. Bagaimana dengan musik? ada alat yang bisa kau mainkan?”
“Eh, mu-musik? a-aku bi-bisa be-bermain gi-gitar.”
“Baiklah, masukan list gitar-gitar terbaik dalam daftar, Bastian.”
“Baik, Tuan Besar.”
Langit sama sekali tidak bisa mengikuti alur pembicaraan Regi. Semua terlalu tiba-tiba, mendadak bilang mereka akan pergi belanja baju, lalu tiba-tiba setumpuk daftar apa yang harus dibeli muncul dengan Langit sebagai pusatnya. Isi kepala Langit mendadak penuh, membuat bocah sepuluh tahun itu sampai lupa menghabiskan makan paginya.
*
Setelah selesai makan pagi, benar saja apa yang dikatakan Regi. Mereka bertiga segera naik mobil dan pergi menuju ke salah satu Mall terbesar di Indonesia. Langit memandang takjub pada bangunan megah dan besar di depannya. Bocah itu tidak pernah pergi ke mall, bahkan tidak pernah tahu ada bangunan besar yang menjual segala jenis kebutuhan seperti pasar yang sering dia datangi bersama Yatna.
“A-apa ya-yang a-ada di atas ba-bangunan i-itu?” Langit bertanya ketika saat mereka melewati fly over, dia melihat banyak bangunan di atas mall.
“Itu perumahan, sayang.” Fuji yang menjawab.
“Pe-perumahan di-di atas mall?!”
Sekali lagi Langit dibuat terkejut pagi ini. Matanya tertuju pada puluhan rumah yang berdiri kokoh di atas sebuah mall. Dia berdecak kagum, membayangkan orang-orang yang tinggal di sana pastilah tidak perlu kesulitan untuk membeli sayur. Langit sungguh tidak sabar untuk masuk ke dalam bangunan megah dan melihat apa saja isinya.
Sopir menurunkan keluarga kecil itu tepat di lobby, sebelum pergi untuk mencari tempat parkir. Fuji menggandeng tangan Langit, bersama mereka mulai melangkah memasuki area mall. Seperti yang Regi katakan, mereka terlebih dahulu pergi ke area pakaian anak. Di sana Regi segera mengambil tempat duduk, membuka katalog dan membacanya.
Langit yang tidak tahu harus melakukan apa, akhirnya ikut duduk di samping Regi. Sementara Fuji sudah berkeliling mencari pakaian yang cocok untuknya. Setelah sekitar sepuluh menit, Regi memanggil salah satu pegawai.
“Coba bawakan pakaian dari halaman satu sampai sepuluh ke sini.”
Langit yang mendengar hampir membulatkan kedua matanya. Dia juga tadi sempat curi-curi pandang pada isi katalog yang dibaca Regi. Sehingga dia tahu bahwa satu halaman saja ada sekitar sepuluh macam pakaian. Apakah tidak masalah meminta berpuluh-puluh potong baju hanya untuk Langit coba kenakan?
“Sekalian jika ukurannya pas, langsung kalian bungkus saja.” Regi menambahkan yang membuat Langit hampir tersedak.
“O-om, bu-bukankah i-itu terlalu ba-banyak?”
Regi memiringkan kepalanya, “Ini masih sedikit ketimbang baju yang akan Fuji belikan untukmu.”
Batin Langit berteriak histeris, mau berapa tahun aku selesai mencoba semuanya?!
“Langit, sayang!” Fuji memanggil dari salah satu sudut. “Kemari, sayang! coba pakai yang ini!!”
“Ba-baik, Tante!” Langit melompat dari duduknya dan berlari menghampiri Fuji.
Seharusnya jika Langit ada kesempatan, dia lebih baik pura-pura sakit perut. Kesalahan terbesarnya adalah menghiraukan kata-kata Regi sebelumnya. Bahwa apa yang dibelikan Regi masihlah sedikit ketimbang Fuji. Selama hampir tiga jam, Langit seperti boneka manekin yang sedang diajak bermain. Sibuk didandani, dari satu stel baju ke setelan berikutnya.
Dari satu kantong belanjaan, menjadi tumpukan. Manik biru Langit menatap ngeri melihat banyaknya pakaian yang dibeli Fuji. Namun tidak memiliki tenaga untuk bicara karena sudah lelah duluan setelah berapa kali berganti baju.
“Baiklah, selanjutnya kita ke Gramedia!” seru Fuji penuh semangat.
Langit ingin sekali menyeret kakinya, tapi lututnya pegal karena kelamaan berdiri. Tiba-tiba tangannya digandeng dan kali ini adalah Regi. Pria paruh baya itu berdehem pelan, menaruh salah satu tangannya ke kantong celana.
“Apa yang biasanya kamu baca?”
“Uh…, pe-pemberdayaan ma-masyarakat.”
Regi segera menoleh ke arah Langit, keningnya berkerut kasar. “Bukan buku dongeng ataupun komik?”
“Uh.., a-aku juga su-suka itu. Ta-tapi a-aku ingin me-memiliki wawasan ya-yang luas.”
Pemuda paruh baya itu mengangguk paham, dia melepaskan gandengannya untuk menepuk kepala Langit.
“Kau bisa bebas memilih buku apapun yang kau suka. Entah untuk menambah wawasan atau sekadar mengisi waktu luang.”
“Te-terima ka-kasih, Om!”
Setelah menyelesaikan pembayaran, keluarga Sanjaya menuju lantai dua Mall. Di sana ada area buku yang sangat luas dan memiliki koleksi buku paling lengkap. Tidak hanya buku, mereka juga menjual peralatan sekolah, elektronik, sampai alat musik. Langit berkeliling, sibuk melihat-lihat sambil mengambil buku yang menurutnya menarik.
Sementara itu, Regi berada di area alat musik. Pria paruh baya itu sedang melihat jenis-jenis gitar mulai dari yang akustik sampai gitar listrik. Dan Fuji, wanita paruh baya itu berada di area peralatan sekolah, dia sibuk memilih buku, alat tulis yang menurutnya lucu.
Setelah hampir satu jam, mereka bertiga akhirnya berkumpul lagi untuk membayar barang-barang mereka. Langit tidak menyangka, ternyata banyak juga buku yang menarik perhatiannya. Bocah itu sedikit takut, kalau-kalau Regi dan Fuji kesal karena dia membeli terlalu banyak buku.
“Kau bisa menaruh bukumu di sini dan mengambil lagi buku lainnya.” itulah perkataan Regi saat Langit dengan malu-malu menaruh hampir sepuluh buku di atas meja kasir.
“Ti-tidak, Om. I-ini sa-saja yang La-Langit ma-mau!”
“Kau yakin?”
Langit buru-buru mengangguk, dia tidak enak jika mengambil buku lagi. Ini pertama kalinya Langit bisa membeli buku lebih dari satu. Dan hal itu sudah cukup puas bagi bocah berdarah palembang ini.
“Baiklah, lalu bagaimana dengan gitar ini?” Regi menyerahkan Langit sebuah gitar akustik berukuran sedang yang cukup untuk dimainkan anak-anak.
Langit menerimanya dengan hati-hati bercampur gembira. Ini akan menjadi gitar pertamanya, indah sekali!
“Te-terima kasih, Om! i-ini ba-bagus sekali!”
Regi berdehem pelan sambil memalingkan wajahnya. “Baguslah kalau kau suka.”
Continue…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Ayano
Hmm... 5 taun lah
Kalo bajunya lebih dari kamar kamu ya... 7 tahun lah
2023-06-11
1
Ayano
Rumah di atas mall buat yang gajinya monimal 50 juta ya 😓
2023-06-11
1
Ayano
Mantap jiwa
Cembur gak diajak ngomong tuh beneran ada ternyata
2023-06-11
1