Yayasan Panti Asuhan Bakung namanya, sebuah bangunan tua dengan dua lantai berwarna coklat kayu, dari atas hingga sisi kanannya tertutupi sulur tanaman merambat. Seluruh ruangan, kamar-kamar serta lorong-lorong selalu bersih dan rapi. Yayasan ini berada di desa yang terletak di salah satu pulau besar Indonesia bagian barat, kalian bisa menyebutnya Desa Tang-urang.
Di samping kanan terdapat pohon rindang, salah satu dahan besar terdapat dua buah ayunan yang terbuat dari tali tambang dan ban mobil bekas. Bangunan itu dikelilingi pagar-pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa dan lebatnya pepohonan. Sebuah pemandangan asri, damai, dan terkesan hangat.
Anak-anak yang tinggal di Yayasan ini tidak mengenal orang tua mereka. Hidup dan tumbuh besar bersama, setiap tahun saudara mereka bertambah, pun juga berkurang. Jika kalian beruntung terlahir dengan mewarisi gen genetik suatu Suku, maka orang-orang kelas menengah akan mengadopsi kalian. Menjadi anak mereka, disekolahkan tinggi-tinggi, dan dibanggakan karena memiliki kekuatan. Sementara jika tidak, biasanya mereka akan merantau ketika menginjak usia dewasa.
“Kali ini aku pasti akan diadopsi orang paling berpengaruh di dunia Antar Suku!”
Nyoman mengomel sambil mencuci piring, busa-busa tampak tinggi, ada satu menempel di hidungnya.
“Aku tidak perlu lagi mencuci piring, atau memasak, atau mencuci baju!”
“Aku ragu ada orang yang mau mengadopsi mu, Nyoman.” Yatna menyahut tanpa menghentikan gerakan tangan yang sedang memotong sayur.
“Siapa yang tahan mendengar mulut bawel mu itu?”
“Apa kau tidak ada cermin di kamarmu, Na?” Nyoman mendengus kasar, tidak terima. “Kalau kau tidak punya, pinjam sana sama Langit!”
Merasa terpanggil, bocah bermata biru yang sedang sibuk menyapu menoleh. Tiba-tiba seorang anak laki-laki berusia lima tahun memeluk kakinya, tertawa renyah. lalu dia menarik celana seperempatnya, kemudian berlari mengambil mangkok dari atas meja. Langit segera menaruh sapu lalu mengejar anak kecil itu.
“Owen! Owen! Owen!” panggil Langit sambil mengejar, hendak mengambil kembali mangkok beling dari tangan Owen.
“Hati-hati,” ucapnya setelah berhasil merebut mangkok beling. Owen tertawa, melompat-lompat lalu berlari lagi mengambil sapu.
“Owen!” Langit berseru lagi.
Nyoman dan Yatna melihat mereka berdua dengan dua ekspresi berbeda. Tertawa gemes dan jengkel.
“Hei, Langit! lebih baik kau ajak mereka bermain di luar. Aku tidak mau harus membereskan kekacauan mereka!” ujar Nyoman bersungut-sungut.
“Tapi hu-hukuman?” tanya Langit setelah berhasil menangkap Owen. Bocah lima tahun itu tertawa renyah di gendongannya.
“SUDAHLAH, BAWA SAJA BOCAH-BOCAH ITU KELUAR!!” teriak Nyoman tidak sabaran.
Yatna mengerutkan kening, dia lalu memukul punggung Nyoman kuat membuat anak laki-laki itu mengaduh dan melotot ke arahnya. gadis kecil tidak takut, malah balas melotot, siap membela temannya.
“Jangan begitu, Nyoman! memang kamu tidak bisa bicara pelan-pelan?” Yatna mulai mengomel, “Aku aduin kamu sama Teh Salsa!”
“Ah! kau ini mainnya aduan saja! memang apa salahku?!”
“Kamu bisa bicara baik-baik. Seperti, ‘Langit, tidak apa-apa, di sini sudah ada aku, Yatna, Bill dan Bong.’ begitu!” Yatna berujar seakan-akan dirinya Nyoman.
“Tidak usah teriak-teriak, memang kau pikir ini di hutan?!”
Nyoman menatap Yatna jeri, lebih tepatnya pada pisau dapur di tangan gadis itu. Dua ancaman sekaligus diberikan membuatnya terdiam. Langit menghela napas pelan, dia lalu mengajak Owen dan juga Opie--anak perempuan yang sejak tadi diam memperhatikan-- untuk pergi ke atas, bermain ayunan.
Langit mulai mendorong ayunan yang terbuat dari tali tambang dan ban mobil. Untungnya siang ini tidak banyak anak-anak bermain di halaman, sebagian sudah tidur siang. Sehingga Owen dan Opie bisa bermain riang tanpa perlu bertengkar dan saling berebut.
“Langit,” Salsa memanggil dari kejauhan.
Dia menghampiri lalu memberikan buku catatan kecil dan pena, sedikit kotor oleh tanah, namun masih bisa digunakan. Itu adalah milik Langit yang direbut Nyoman dan teman-temannya.
“Aku menemukannya saat kembali dari rumah kepala desa.”
Langit segera mengambilnya, tersenyum lebar. “Terima kasih, Teh Salsa.”
Wanita itu balas tersenyum hangat, dia mengusap pelan puncak kepala Langit, juga membersihkan sisa noda tanah yang masih menempel di kerah baju.
“Sudah sore, waktunya kita pulang dan makan malam.”
Wanita muda itu menghentikan ayunan lalu menggendong Opie, sementara Owen menggenggam tangan Langit. Mereka berempat masuk dan mengunci pintu rumah. Sebuah ruangan cukup luas, dengan kesan jadul terasa ketika memasuki ruang tengah. Di tengah ruangan terdapat tiga sofa berwarna putih kusam, dindingnya abu-abu bercorak sulur tipis-tipis. Di beberapa sisi terdapat meja tua dengan kayu jati, juga tanaman hias. Ruangan tengah yang sering dijadikan tempat berkumpul.
Salsa menurunkan Opie, “Kalian pergi duluan ke ruang makan. Teteh perlu menemui Bibi Tun sebelum bergabung.”
Langit mengangguk, dia segera menggandeng Opie dengan tangannya yang bebas. Kemudian mereka bertiga menuju lorong sebelah kanan, menuju ruang makan dan dapur yang digabung menjadi satu ruangan. Salsa segera pergi ke sisi kiri, menuju ruang kantor Direktur Yayasan, Bibi Tun, untuk melapor mengenai hasil rapat yang dihadirinya siang tadi di Aula Desa.
Ruang makan tampak ramai dengan dua puluh anak-anak, sepuluh anak dibawah usia sepuluh tahun, lima anak balita, dan lima remaja. Di tengah-tengah ruangan terdapat tiga meja panjang bersisian, anak-anak saling bantu menyiapkan makan malam. Dari arah dapur, Langit melihat Yatna dan Nyoman sibuk mendorong troli penuh makanan.
“Jika saja yayasan memiliki uang lebih untuk membeli troli canggih dari Ibu Kota.”
Itu suara Nyoman, mulai mengeluh sambil mendorong troli perak ke arah meja panjang. “Aku tidak perlu mendorong troli berat ini, tidak perlu juga menaruh banyak makanan di meja.”
“Kalau semua pakai teknologi, aku yakin anak-anak akan jadi pemalas sepertimu.” Yatna berkomentar, dia mulai menaruh makanan di atas meja.
“Teknologi membuat mudah, segalanya serba instan, bukannya itu bagus? pemalas itu sifat bawaan seseorang, kalau dasarnya malas, ya malas saja! jangan malah mencari pembenaran dan menyalahkan teknologi!”
Langit tertawa pelan mendengar pembelaan Nyoman, dia lalu mendekat dan membantu mereka menata makanan di meja.
“Ki-kita perlu uang banyak untuk membeli tek-teknologi. Aku ti-tidak tega dengan Bibi Tun.”
“Wah, lihat! Langit bicara lebih dari dua suku kata.” Nyoman tersenyum miring, kemudian mengadu ketika kepalanya dikeplak Yatna.
“Benar kata Langit, beruntung Bibi Tun adalah orang yang bijak dan bertanggung jawab. Apa kau tidak baca berita? tidak sedikit pemilik panti asuhan korupsi dana santunan anak panti. Membiarkan anak-anak kelaparan, dan tidak mendapat kehidupan yang layak. Berbeda dengan kita yang masih hidup di tempat bagus seperti ini, makan tiga kali sehari, memakai pakaian bersih, bahkan bisa belajar baca dan berhitung. Kita harus banyak-banyak bersyukur, Nyoman.”
Yatna berbalik setelah menaruh makanan, dia menyeringai lebar. “Kalau kau ingin lebih banyak teknologi, maka rajinlah membantu di sawah supaya hasil panen kita melimpah dan mendapat uang banyak.”
“Aku tidak suka kotor-kotoran!” Nyoman menggeleng ngeri membayangkan tubuhnya dipenuhi lumpur.
“Setelah aku diadopsi orang kaya dan menjadi jawara, aku pastikan akan menjadi donatur terbesar bagi yayasan ini.”
Yatna memutar bola matanya jengah, “Ya, ya, karena itu kau harus bersakit-sakit dahulu sebelum bersenang-senang kemudian. Bekerjalah di sawah sambil menunggu orang tua angkat mu datang.”
Nyoman melotot kesal, dia berteriak marah. Yatna dan Langit menutup telinga sambil tertawa renyah. Ketika Salsa muncul bersama seorang wanita tua dengan kebaya sederhana berwarna coklat. Ruang makan yang semula riuh berubah senyap. Lalu serempak mereka menyapa dua wanita penting di panti.
“Selamat sore, Bibi Tun, Teh Salsa!”
Bibi Tun tersenyum cerah, gurat wajahnya hangat dan tampak masih muda meski garis-garis halus di sekitar mata jelas terlihat. Dia melambaikan tangan, memberi gesture pada anak-anak untuk duduk. Anak-anak panti segera menurut, selang satu menit, mereka sudah duduk rapi mengelilingi meja makan.
“Sebelum kita menikmati makan malam hari ini, ada dua hal yang perlu Bibi sampaikan pada kalian semua.” Bibi Tun terdiam sejenak, agaknya berita ini cukup enggan dia sampaikan.
“Pertama, ada kabar kalau seekor babi bagong yang sudah bermutasi telah menghancurkan beberapa lahan. Sampai binatang itu berhasil dikalahkan, kalian dilarang pergi terlalu jauh dari rumah, tidak ada yang boleh pergi ke hutan barat, meski itu hanya perbatasannya.”
Suara anak-anak yang terkejut, juga cemas mulai membuat ruang makan berubah bising. Saling berbisik mengutarakan kecemasan dan ketakutan mereka. Salsa segera berusaha menenangkan anak-anak.
“Kepala desa meminta pemuda-pemuda desa berkumpul untuk memburu binatang itu, dan beliau juga meminta beberapa dari anak-anak panti dengan kekuatan turut membantu.”
Perkataan terakhir Bibi Tun semakin membuat riuh ruang makan. Beberapa diantaranya tampak antusias, sebagian lagi cemas, dan juga takut. Nyoman tersenyum lebar, bahkan sudah mengepalkan tangannya. Yatna terlihat tidak tenang dan melirik Langit, bocah bermata biru itu tampak tenang memperhatikan Bibi Tun.
Continue…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Life is just an illusion🥲
jadi keinget film tapi lupa judulnya 🤔
2023-08-21
0
Life is just an illusion🥲
dunia antar suku
2023-08-21
0
Tanata✨
Nyoman ini harus di kasih paham dulu baru bisa nurut😂
2023-06-23
1