Seminggu semenjak keluar dari rumah sakit, Langit merasa aneh. Tubuhnya benar-benar sehat seperti tidak mengalami keretakan pada tulang iganya. Jangankan merasa sakit saat berbaring, atau bergerak, Langit bahkan baik-baik saja walau sudah berlari sampai berkeringat.
Tidak hanya keanehan yang dialami tubuhnya. Langit juga merasa Nyoman bersikap aneh. Bocah kurus itu tidak mengganggunya, bahkan lebih seperti menjaga jarak darinya, mengawasinya dari kejauhan dan ketika disamperin dan ditanya, maka dia akan menjawab;
“Aku tidak ada urusan denganmu.”
“Kau ini ternyata narsis juga.”
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” seperti itulah kira-kira jawaban Nyoman.
Sama seperti saat ini, Langit sedang menjemur baju ketika merasakan seseorang mengawasinya. Saat manik birunya melirik, dia menemukan sosok Nyoman tengah memandangnya dengan awas dari balik pohon sekitar sepuluh meter darinya.
Langit menghela nafas pelan, mencoba mengacuhkannya. Hari ini dia harus menyelesaikan pekerjaannya supaya bisa menyambut kepulangan Tio. Selama ini Langit tidak bisa menjenguk Tio. Semua mengatakan Tio butuh istirahat total, keadaannya baik-baik saja. Namun sejujurnya hati Langit tidak tenang, karena bagaimanapun ingatan terakhirnya adalah saat Raja Hutan menyerang Basuki dan Tio. Serangan akhir itu sangat fatal, mungkin mengerikan, jika tidak bagaimana bisa Langit tidak ingat kejadian setelah itu.
Pukul dua siang, mobil kepala desa kembali merapat dan berhenti di depan pintu masuk Yayasan Panti Asuhan Bakung. Langit bersama Yatna dan Basuki sudah berdiri di sana, siap menyambut Tio. Yang pertama keluar adalah Juki, anak kepala desa. Pria besar itu membuka pintu belakang, mengeluarkan kursi roda dan barulah membuka pintu samping kemudi.
Saat Langit melihat kursi roda, hatinya mulai kalut. Apakah separah itu? tidak, jangan berpikiran buruk dulu. Mungkin saja kondisi Tio masih lemah, sehingga dia belum bisa berjalan. Saat melihat sosok Tio keluar dari mobil dan duduk di kursi roda, Langit segera menghampiri.
“Se-selamat da-datang, Kak…,” sayangnya Langit tidak sanggup menyelesaikan kata-kata sambutannya.
Manik biru lautnya bergetar dan nafasnya sedikit tercekat saat melihat salah satu kaki Tio tidak ada. Remaja berkulit kuning langsat itu harus merelakan kakinya diamputasi hingga lutut. Kini Tio menjadi penyandang disabilitas, karena itulah dia membutuhkan kursi roda untuk membantunya berjalan.
“Hai semua, aku pulang!” Tio menyapa mereka dengan senyuman lebar.
Basuki adalah yang pertama membalas sapaan Tio, kemudian Yatna, barulah Langit. Butuh banyak usaha bagi bocah bermata biru itu untuk mengontrol dirinya. Tio terlihat biasa saja, begitu juga Basuki, mereka ngobrol sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
Langit berjalan paling belakang, pelan sambil memperhatikan dua punggung remaja di depannya. Mereka berusaha tegar, maka dari itu Langit pun seharusnya menguatkan Tio. Dia tidak seharusnya memasang wajah sedih, sekali lagi Langit menguatkan hatinya.
Anak-anak panti mengelilingi Tio, salah seorang bermata coklat yang memang dekat dengan Tio segera merangkul pundaknya dari belakang.
“Bintang yang ditunggu-tunggu akhirnya pulang, bagaimana kabarmu, bung?”
“Hahaha, seperti yang kau lihat!” Tio mengangkat salah satu kakinya yang buntung.
“Oh–eh, yah…, maksudku kesehatanmu! ya, kondisimu setelah operasi…, uh!”
Tio terkekeh pelan, begitu juga dengan Basuki. Remaja itu menempeleng pelan belakang kepala Tio.
“Kau ini, jangan langsung di ulti begitu!”
“Benar, setidaknya biarkan aku menyiapkan hati lebih dulu!” Anak yang tadi kelabakan merespon Tio akhirnya angkat bicara. “Kau tidak tahu bagaimana jantungku saat ini karena kaget melihat lukamu!”
Tio terbahak, dia lalu mengusap pelan punggung temannya, menghibur. Rakka namanya, dia memang teman sekamar Tio. Anaknya polos dan naif, meski banyak bicara dia selalu butuh waktu untuk menanggapi hal yang sekiranya mengejutkan. Itulah alasan mengapa Tio melakukannya, dia sedang menggoda Rakka.
“Kak Tio, apakah sakit?” Owen bertanya dengan tatapan cemas.
Remaja itu tersenyum hangat dan menggeleng, “Awalnya sakit, tapi sekarang Kak Tio merasa lebih baik!”
“Owen akan bantu Kak Tio! Owen yang akan jaga Kak Tio!”
“Wah, terima kasih jagoan kecil!”
“Kami juga akan menjaga Kak Tio!” beberapa anak serempak bicara, kemudian yang lain ikut berseru.
Manik coklat Tio mau tidak mau mulai basah, matanya panas dan mungkin dia akan menangis. Tidak, dia memang sudah ingin menangis sejak keluar dari rumah sakit. Perasaan takut, sedih, dan kalut sudah bertumpuk dalam hatinya. Ketika dia diberitahu kalau selamanya dia butuh kursi roda untuk berjalan.
Selama ini Tio menikmati hari-harinya menjadi orang tertua kedua setelah Basuki. Dia suka membantu anak-anak lain, ketika mereka berlari memanggil namanya, mencarinya ketika kesulitan. Tio merasa dia dibutuhkan, dan ketika kakinya terluka, bahkan sampai diamputasi, masihkah dia pantas berada di panti asuhan?
Masih pantaskah dia menjadi yang tertua? mampukah dia mengayomi anak-anak lain? itu adalah tanggung jawab sekaligus kebanggan Tio selama ini. Tapi bodoh sekali dia memikirkan hal itu.
Lihatlah, teman-teman sepanti, sahabat karibnya, semua orang menyambutnya dengan hangat. Mereka tidak mencelanya, mereka tidak mengatakan bahwa dirinya tidak berguna.
“Terima kasih semua!” Tio kali ini benar-benar tersenyum lebar dari lubuk hatinya.
*
Yatna mengetuk pintu kamar laki-laki, namun tidak ada suara yang menyahut. Sekali lagi gadis kecil itu mengetuk pintu.
“Langit, apa kau tidak ikut makan?”
“...”
“Apa kau sakit?”
“...”
“Kalau kau tidak juga membuka pintu, maka aku akan masuk!”
Setelah sedikit mengancam, akhirnya pintu di depannya terbuka. Sosok anak kecil dengan rambut hitam berantakan dan kusut muncul. Dia memakai selimut berwarna coklat, dan bagian bawah matanya agak bengkak dan merah.
“Kau menangis?” Yatna mengerutkan kening, terlihat marah. “Siapa yang mengganggumu? Ck, pasti ini ulang si bocah kurus itu! tenang saja aku akan memberikan Nyoman pelajaran dengan tijuku!”
Langit buru-buru menarik kepalan tangan Yatna. Dia menggeleng kuat-kuat dan menariknya untuk masuk ke dalam kamar. Langit berjalan gontai menuju ranjangnya, duduk bersila sambil berselimut seperti menjadi buntalan bantal. Yatna harus menahan diri untuk tidak tertawa melihat kelucuan di depan mata.
“Apa yang membuatmu sedih?”
Hening sejenak, sepertinya Langit masih enggan untuk cerita. Yatna yang sudah mengetahui tabiat temannya itu diam menunggu. Sekitar hampir dua puluh menit, ruangan itu hening tanpa ada yang berbicara. Sesekali memang terdengar isak kecil dari Langit. Bocah itu masih mengunci mulutnya, sibuk menyeka air mata yang tidak kunjung mereda.
Yatna mengulurkan tangan, mengusap pelan punggung kecil temannya. Mencoba memberikan ketenangan agar Langit merasa lebih baik. Setelah beberapa kali cegukan, akhirnya Langit memutuskan mengutarakan pemikiran kalutnya.
“A-aku ti-tidak be-berani me-mengha-hadapi Kak Tio,” ungkapnya pelan.
Sejenak Yatna terdiam, menyimak sambil memikirkan maksud dari perkataan sahabatnya. Keterbatasan Langit membuat Yatna belajar untuk lebih memahami ekspresi seseorang dan sekitarnya. Sebelumnya gadis kecil itu memang sudah mendengar garis besar apa yang terjadi di tempat berburu.
Nyoman adalah saksi terjadinya tragedi yang menimpa Basuki, Tio, dan Langit. Si Raja Hutan yang dikira sudah mati, ternyata merangkak ke atas parit dan menyerang Basuki dan Tio. Sebelum monster itu menyerang Langit, tiba-tiba saja oleng, jatuh dan mati. Begitulah yang dikatakan Nyoman.
“Kau tahu, itu bukan salahmu.” Yatna yang sudah mengambil kesimpulan segera berujar pelan.
Ia mengambil tangan Langit kemudian mengusapnya pelan. Yatna berharap suhu tubuhnya yang hangat mampu menetralkan tubuh Langit yang dingin.
“Sebenarnya aku sudah tidak setuju dengan keputusan kepala desa meminta kalian ikut berburu. Lebih anehnya lagi, mengapa para orang dewasa berada di garis belakang sementara menyuruh kalian untuk maju.”
Gadis kecil itu sudah berapa kali menanyakan alasannya pada Bibi Tun. Namun perempuan paruh baya yang sudah dianggap ibu sendiri selalu menjawabnya dengan kalimat sulit.
“Se-sebenarnya i-itu ka-karena ka-kami se-sedikit berbeda.”
Mendengar pengakuan itu, Yatna mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?”
Langit menggaruk keningnya, perasaannya yang semula sedih kini berubah bingung. Ini bukanlah hal yang harus dirahasiakan, hanya saja tidak pernah ada hal yang mengharuskannya untuk membicarakan hal tersebut.
“Ka-kau i-ingat ka-kalau se-setiap se-setahun sekali, Bibi Tun me-melakukan pe-pemeriksaan ke-kesehatan?”
Yatna mengangguk sebagai jawaban.
“Se-setahun yang lalu, ha-hasil pe-pemeriksaanku a-adalah a-aku me-memiliki kemungkinan u-untuk me-me-membangkitkan Darah Su-suku.” Langit menghela napas pelan, “Kak Basuki, Kak Ti-Tio dan Nyoman, me-mereka se-semua memiliki ke-kemungkinan i-itu.”
Continue…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Erarefo Alfin Artharizki
walah ada yg di tumbalin nih kayanya
2023-06-23
1
Ayano
Nah itu. Itu mencurigakan. Kek sengaja ditumbalin
2023-05-29
1
Ayano
Nyaris copot
2023-05-29
1