Ruang tengah Yayasan Panti Asuhan Bakung siang ini lebih ramai dari biasanya. Salsa sudah sejak pukul sebelas sibuk mengatur anak-anak yang terlalu bersemangat. Namun dia tidak bisa menyalahkan mereka, mengingat hari ini adalah hari penting bagi anak-anak. Mereka akan kedatangan sepasang pasutri dari kota Joekarta untuk mengadopsi salah satu dari puluhan anak-anak panti.
Rencananya anak-anak akan menyambut kedatangan mereka di ruang tengah. Berjajar rapi dengan pakaian bersih dan wangi. Setelah itu mereka akan makan siang bersama, membiarkan suami istri itu berbaur dan berbincang dengan anak-anak.
Setelah itu barulah Salsa akan mengantar mereka berdua ke ruang kerja Bibi Tun. Di sana mereka akan mendengarkan permintaan suami istri tersebut. Mereka juga sudah menyiapkan dokumen mengenai anak-anak panti untuk dicek. Semoga saja hal itu dapat mempermudah sepasang pasutri itu untuk menemukan calon anak mereka.
“Teh Salsa! Teteh! Tetehhhhhh!”
Suara cempreng dan berisik itu jelas milik Nyoman. Setelah sempat beberapa minggu bocah kurus itu tenang. Mengapa harus hari ini tingkah menyebalkannya muncul? Salsa yang sudah lelah mempersiapkan segalanya, segera berbalik badan mencari asal suara Nyoman.
Dari teras, Nyoman berlari tergesa-gesa. Wajahnya pucat dan cemas, sambil menarik-narik ujung baju kebaya Salsa, dia menunjuk ke arah luar.
“Langit, Teh! Langit pingsan di luar!”
“Yang benar kamu?!” manik coklat Salsa membulat kaget.
“Beneran, Teh! itu ada yang bantu bopong Langit di luar.”
Tanpa banyak waktu, Salsa segera berlari menuju ke luar panti. Di teras wanita muda itu melihat Langit yang sedang pingsan dalam pelukan seorang wanita paruh baya. Wanita itu berambut coklat kemerahan dengan mata hitam serta senyum hangat itu menghampiri. Disampingnya berdiri pria paruh baya, rambutnya hitam dengan beberapa uban di bagian kanan kiri dekat pelipis. Matanya tajam dengan rahang tegas dan bentuk tubuh seperti tentara.
“Astaga, Langit!” Salsa segera menghampiri dengan wajah cemas.
Wanita yang memeluk Langit tersenyum tipis. “Tenang saja, anak ini sedang tidur. Aku sempat menggunakan kekuatan pemulihan dan membuatnya rileks. Sepertinya dia terkena panic attack.”
“Pa-Panic attack?” Salsa membeo tidak percaya.
Selama ini Langit tidak pernah menunjukan kalau dia memiliki gangguan mental seperti itu. Anak ini selalu tersenyum, tenang, dan kelihatan lebih dewasa daripada teman-teman seusianya. Mungkinkah ini efek samping setelah kejadian berburu tiga minggu yang lalu?
“Ah! ma-maafkan saya dan terima kasih banyak, Nyonya. Perkenalkan saya Salsa, pengurus panti Bakung. Mari silahkan masuk, ah! biar saya saja yang menggendong Langit.”
Wanita itu menggeleng, senyum hangatnya masih nampak indah. “Biar saya saja yang menggendongnya. Beritahu saja dimana kamarnya.”
“Ta-tapi, Nyonya–”
“Tidak apa-apa, antarkan kami saja, Nona Salsa.” Seorang pria dengan pakaian setelan hitam dan mungkin berumur sekitar tiga puluhan berujar.
Pria itu mungkin adalah pengawal pasutri. Melihat tatapan dari pria tersebut juga dari sepasang suami istri di depannya. Akhirnya Salsa menurut, dia mengantar mereka menuju kamar Langit.
“Apa kau menyukainya, Sayang?” sang suami bertanya sambil memperhatikan istrinya.
Sang istri diam sejenak sambil memandang wajah Langit yang tertidur. “Dia seperti merpati, aku hampir mengira dia akan terbang bebas ke langit.”
“Kau tahu tujuan kita datang kemari,” ujar suaminya mengingatkan. “Kita butuh pewaris yang memiliki kemungkinan membangkitkan Darah Suku.”
“Kita bisa mengadopsi dua orang,” sang istri terkekeh pelan.
Sang suami menatapnya tidak suka namun tidak membantah. Setelah mereka sampai di depan pintu kamar Langit. Salsa membukanya, dan merapikan tempat tidur yang terletak di bagian ujung dekat jendela.
Dengan hati-hati wanita paruh baya itu menidurkan Langit. Tangannya yang lentik menarik selimut dan menyelimuti bocah berambut hitam itu. Sejenak dia terdiam, duduk di pinggir ranjang, lalu mengusap pelan rambut Langit dan mencium keningnya. Saat hendak beranjak, ekor matanya tertarik pada sebuah buku dongeng di samping bantal.
“Si Pahit Lidah?” gumamnya, “Bahkan selera kita pun sama, Nak.”
“Tuan dan Nyonya, mari saya antarkan menuju ruang tengah.” Salsa berujar sambil menunduk singkat dan mengarahkan tangannya ke arah pintu keluar.
Mereka pun pergi meninggalkan kamar, membiarkan Langit tidur. Salsa mengantar menuju ke ruang tengah dimana anak-anak sudah berjajar rapi siap menyambut. Ketika pasutri itu sampai, suara ramai terdengar serempak.
“Selamat siang, Om dan Tante di Panti Asuhan Bakung!”
Wanita paruh baya itu yang lebih dulu membalas sapaan anak-anak. Dia tersenyum ramah bahkan sudah berlutut untuk memeluk anak paling kecil di panti, yaitu Owen.
“Halo anak-anak, bagaimana kabar kalian semua?”
“Baik Tante!” jawab anak-anak serempak.
“Kalau kalian tidak keberatan, bagaimana kalau kita makan siang bersama?” Wanita itu kembali bertanya dengan nada ramah.
Mereka semua menuju ruang makan, dimana terdapat tiga meja panjang yang sudah disatukan menjadi satu meja besar dan luas. Di atasnya sudah tersedia banyak jenis makanan yang telah disiapkan anak-anak panti untuk menyambut pasutri tersebut.
“Ayo anak-anak duduk dengan rapi!” Salsa berseru dan tanpa banyak keributan, mereka semua segera mengambil tempat dengan rapi.
“Anak-anak di sini pintar semua, yah!” puji wanita paruh baya itu. “Oh, Maaf terlambat memperkenalkan diri. Nama Tante, Fuji dan ini Om Regi. Salam kenal semuanya!”
“Salam kenal juga Tante Fuji dan Om Regi!”
Setelah acara perkenalan singkat, mereka semua menikmati makan siang sambil mengobrol ringan. Walau sebenarnya yang lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak adalah Fuji. Suaminya, Regi lebih memilih diam walau sesekali menjawab pertanyaan anak panti. Sementara itu ajudan mereka berdiri sigap di dengan pintu dapur.
Usai mengobrol, Fuji meminta izin pada anak-anak untuk undur diri. Sudah saatnya mereka bertemu dengan Direktur Yayasan. Bibi Tun juga kebetulan baru saja pulang dari balai desa dan berada di kantornya sekarang.
Bibi Tun, Salsa, Fuji dan Regi duduk saling berhadapan di ruang kantor Bibi Tun. Di atas meja sudah terdapat beberapa berkas yang berisi profil setiap anak-anak di panti.
Regi membaca berkas itu dengan teliti dan serius. Ini adalah bagian penting mengapa dia jauh-jauh datang ke bagian barat dan pelosok desa seperti ini. Semua itu dia lakukan untuk menemukan anak yang akan menjadi pewarisnya. Sementara istrinya hanya melihat-lihat sekilas dan mengomentari beberapa anak yang menurutnya menggemaskan. Setelah hampir dua puluh menit, akhirnya Regi menaruh berkas di atas meja.
“Dua orang remaja dan dua orang anak berusia sepuluh tahun. Hanya empat dan semua laki-laki.” kata Regi sambil memegang dagu. “Aku lebih suka jika mereka masih kecil, lebih mudah dididik dan diatur.”
“Kalau begitu pilihannya adalah Nyoman dan Langit.” Bibi Tun memisahkan kertas berisi profil dua anak tersebut.
“Kebetulan mereka juga memiliki pengalaman berburu. Tiga minggu lalu mereka berhasil mengalahkan Raja Hutan, babi bagong yang bermutasi.”
Fuji terkesiap tidak percaya, “Benarkah itu? mereka berhasil mengalahkannya dengan badan sekecil itu?”
“Tidak hanya mereka berdua, Basuki dan Tio lebih memiliki pengalaman. Namun sayangnya Tio mendapatkan luka cukup fatal.” Kali ini Salsa yang berbicara dan nadanya sedikit menyendu diakhir.
“Ah, anak yang naik kursi roda.” Fuji mengingat salah satu remaja dengan kulit kuning langsat yang terlihat ceria, meski menyandang status disabilitas. “Sungguh malang nasibnya.”
“Siapa yang memberikan serangan akhir pada babi hutan itu?” Regi bertanya penasaran.
Bibi Tun menggeleng pelan, “Serangan akhir dilakukan dengan kerjasama anak-anak menyudutkan babi itu ke parit.”
Regi terdiam, menimang untuk membuat keputusan. Kebetulan sekali dia sudah bertemu dengan dua anak tersebut. Nyoman adalah anak yang energik, meski kurus tapi kemampuannya membidik tidak bisa diragukan. Menurut data, jarak jangkauannya adalah 2 KM dan tidak pernah meleset. Dia juga memiliki impian menjadi juara Piala Suku Dunia. Anak itu memiliki tujuan yang sama dengannya.
Sementara anak yang satunya, Langit. Meski badannya terlihat lebih sehat dari Nyoman. Anak itu memiliki gangguan panik, salah satu kelemahan yang bisa menjadi bumerang baginya. Untuk kemampuan, Regi cukup suka karena anak ini memiliki beberapa aspek yang bagus untuk menjadi petarung jarak dekat.
“Hm…, pilihan terbaik memang memilih Nyoman.” Akhirnya Regi berujar setelah lama terdiam.
“Eh, kenapa tidak pilih Langit, sayang?” Fuji menyatakan keberatannya. Dia sudah senang ketika Langit berada dalam list anak-anak berbakat.
“Nyoman memiliki tujuan yang sama dengan kita. Dia ingin menjadi pemenang Turnamen Piala Suku Dunia. Kemampuan bela dirinya memang masih payah, tapi tidak masalah, kita bisa melatihnya. Jika kemampuannya berkembang pesat, setidaknya dia memiliki dua kartu dalam sakunya sambil menunggu kebangkitan Darah Suku.”
Continue…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Ayano
Nah nah... matanya jeli lagi
2023-06-02
1
Ayano
Wah... haruskah aku curiga sama mereka 😭
Mungkin aja mereka baik tapi ada potensi mereka punya niat lain kan
2023-06-02
1
Ayano
Gue curiga 😓
2023-06-02
1