“Se-setahun yang lalu, ha-hasil pe-pemeriksaanku a-adalah a-aku me-memiliki kemungkinan u-untuk me-me-membangkitkan Darah Su-suku.” Langit menghela napas pelan, “Kak Basuki, Kak Ti-Tio dan Nyoman, me-mereka se-semua memiliki ke-kemungkinan i-itu.”
Seakan mendapatkan pencerahan, Yatna ber oh ria. Kini dia mengerti mengapa keempat temannya dipanggil dan disuruh ke garis depan walau mereka masih dibawah umur.
“Jadi itu alasannya mengapa kalian juga sering pergi beberapa kali dalam sebulan. Apakah kalian sedang dilatih?”
Langit mengangguk, “Mu-mumpung gratis ka-karena pro-program pe-pemerintah. Ka-kami me-menerimanya de-dengan senang ha-hati.”
Yatna kembali mengangguk lagi, “Baiklah, tapi aku tetap merasa itu bukanlah hal yang benar. Begitu juga dengan perasaan bersalahmu, Langit.”
“Ti-tidak, je-jelas i-ini se-semua salahku! ji-jika saja wa-waktu itu a-aku tidak terluka. Ka-Kak Tio dan Kak Basuki, ti-tidak akan memperhatikanku, Ka-kalau sa-saja a-aku ti-tidak terluka, Kak Tio pa-pasti ti-tidak akan ja-jadi se-seperti itu!”
Perubahan sikap Langit yang terlihat makin panik, membuat Yatna segera memeluknya. Dia mengusap pelan beberapa kali belakang kepala Langit. Suaranya lembut dan mencoba menenangkan sahabatnya.
“Itu semua hanya ada dalam pikiranmu, Langit. Kau ingat bukan, bagaimana Kak Tio melihatmu?”
Langit yang dalam pelukan Yatna mengangguk kecil, “Ka-Kak Tio me-melihatku se-seperti biasa.”
“Kau jelas tahu, tidak ada tatapan kebencian dan Kak Tio tidak menyalahkanmu.” Setelah merasa Langit tenang, dia pun melepaskan pelukannya dan tersenyum lebar. “Sejujurnya jika aku menjadi Kak Tio, aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku akan memperhatikanmu, mencemaskanmu saat kau terluka, karena kau tahu mengapa?”
Langit membalas tatapan teduh Yatna, mukanya sedikit memerah. “Ka-karena ki-kita ke-keluarga?”
Mendengar jawaban ragu Langit, gadis kecil itu tersenyum lebar. “Benar sekali! kita keluarga, dan sudah seharusnya kita saling menjaga.”
“Um, ka-kau benar. Ki-kita ha-harus sa-saling menjaga!”
*
Tiga minggu semenjak perburuan Raja Hutan, hari yang ditunggu anak-anak panti akhirnya datang. Siang ini sepasang pasutri akan datang untuk berkunjung. Seluruh anak panti sibuk merapikan kamar mereka masing-masing. Beberapa anak sibuk berkaca, membongkar isi lemari mereka untuk mencari baju yang cocok. Semua sangat menantikan kedatangan calon orang tua mereka, kecuali Langit.
Anak laki-laki berambut hitam bergelombang dengan mata biru itu hanya duduk di taman. Bermain ayunan dari ban mobil sambil menatap jauh ke arah desa. Kedamaian itu sayangnya terusik saat Nyoman datang menghampirinya.
“Hei,” panggilnya dengan suara yang pelan.
Wow sungguh sesuatu yang tidak bisa Langit bayangkan. Apakah dia sedang bermimpi? seorang Nyoman yang energik, selalu berteriak, tiba-tiba saja memanggilnya dengan suara rendah.
“A-”
“JANGAN BICARA!”
Oke, Langit tarik kembali kata-katanya. Nyoman masih seperti biasanya. Bocah itu tiba-tiba saja berteriak dan menyuruhnya jangan bicara. Ini baru Nyoman biasanya yang selalu menyuruhnya menjadi Langit si bisu.
Nyoman berubah kikuk, sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia juga hanya berdiam diri, seakan menjaga jarak dari Langit. Lalu kemudian berdehem pelan, seakan memberanikan diri.
“Kau, kenapa kau tidak bilang apa-apa?”
Pertanyaan itu sungguh membingungkan bagi Langit. Bocah itu tidak merasa ada yang harus dibicarakan. Kalaupun ada yang ingin bicara, itu adalah Nyoman. Sudah hampir tiga minggu Nyoman selalu mengawasinya dari jarak aman.
“Kalau kau bilang pada Bibi Tun, sudah pasti yang akan diadopsi adalah kau!”
Sebenarnya selama beberapa hari ini, topik adopsi menjadi topik sensitif bagi Langit. Bocah itu seketika memasang raut jengkel.
“A-”
“JANGAN BICARA KU BILANG!”
Sekali lagi Nyoman memotongnya untuk bungkam. Pelipis Langit seketika berkedut kesal. Dia bertanya tapi tidak memperbolehkan Langit menjawab. Apa Nyoman sedang kesal dan menjadikannya sebagai pelampiasan?
“Aku membicarakan tentang kejadian di hutan,” Nyoman menarik napas. “Aku jelas-jelas melihatmu menunjuk Raja Hutan sebelum hewan itu roboh dan mati. Aku melihatmu bicara, tapi karena suaramu terlalu kecil aku jadi tidak bisa mendengar apa yang kau katakan pada babi itu.”
Nyoman memainkan jemarinya gugup, lalu akhirnya dia berani menatap Langit. Kali ini tatapannya seakan teguh pada apa yang dia yakini.
“Apa kau telah membangkitkan Darah Suku?”
Baiklah ini semua membingungkan bagi Langit.
“Karena hanya itu alasan paling masuk akal. Bagaimana mungkin binatang besar itu tiba-tiba mati saat mau menyerangmu? Hei, kau benar-benar membangkitkan Darah Suku? kekuatan apa yang kau dapatkan?”
Meski Nyoman mendesaknya untuk menjawab. Langit saja tidak tahu apa dia benar-benar sudah membangkitkan Darah Suku atau tidak. Karena tidak mendapatkan jawaban dan respon dari Langit, Nyoman mulai tidak sabaran. Bocah kurus itu mulai mencari sesuatu di bawah kakinya.
Setelah menemukan batu berukuran sedang, Nyoman segera memberikannya pada Nyoman. Bocah bermata biru itu memandangnya heran, tidak mengerti.
Sambil menunjuk batu di tangan Langit, dia berseru. “Coba katakan sesuatu pada batu itu!”
“Hah?” kali ini Langit bersuara dengan raut dungu.
“Apa saja, terserah! coba buat dia jadi emas!”
Langit menghela napas pelan, hampir saja dia menepuk kepalanya dengan batu di tangan. Apakah ini jenis perundungan baru? lagi pula belum pernah Langit mendengar jenis kekuatan Darah Suku yang bisa mengubah sesuatu hanya dari ucapan.
Deg!
Sebentar…
Tiba-tiba saja Langit teringat dengan buku dongeng kesukaannya, Si Pahit Lidah. Bukankah karakter utamanya memiliki kesaktian ucapan? karakter utamanya itu juga merupakan legenda dari pulau sumatera, kalau tidak salah dari suku palembang?
Langit menggigit bibir bawahnya, mau tidak mau dia juga penasaran. Apakah benar dia telah membangkitkan kekuatan Sukunya? Jika benar, maka Langit akhirnya akan tahu darimana dia berasal. Selama ini dia tidak pernah ingin tahu siapa orang tuanya, ataupun suku mana dia berasal. Tapi tentu saja hati kecilnya juga tertarik ingin tahu.
Bocah bermata biru itu menelan ludah gugup. Tangan kecilnya mengepal batu tersebut. Memikirkan sesuatu yang mudah dan tidak terlalu berat jika dia benar memiliki kemampuan itu. Karena Langit sadar, sekecil apapun kekuatan dan kekuasaan maka memiliki konsekuensinya masing-masing.
“Ja-jadilah tomat!”
Akhirnya Langit berucap, kedua matanya terpejam ketika mengatakannya.
“Astaga!”
Suara itu berasal dari Nyoman, membuat Langit membuka sebelah matanya. Astaga! bocah itu juga berseru dalam hatinya. Lihatlah, di telapak tangannya yang semula ada batu kini berubah menjadi buah tomat yang segar.
Manik coklat Nyoman berkilat kagum, “Kau benar-benar bangkit! kau bangkit Langit! kau bangkit!”
Nyoman melompat riang, mengangkat kedua tangannya ke udara sambil berselebrasi. Sedangkan Langit, bocah itu ternganga tidak percaya. Akhirnya setelah sepuluh tahun hidup, dia tahu berasal dari suku mana.
“A-aku da-dari su-suku pa-palembang?”
Setelah selesai bersorak, Nyoman kembali menatap buah tomat di atas telapak tangan Langit penuh iri.
“Aku juga ingin bangkit. Sialan! kapan sebenarnya kekuatanku bangkit?!”
“Ugh!”
Langit memegang kepalanya, menjatuhkan buah tomat hingga hancur ke tanah. Nyoman membeku tidak tahu apa yang terjadi. Bocah bermata biru itu tiba-tiba saja mengerang kesakitan. Oh tidak, apakah ada efek samping setiap kali Langit menggunakan kekuatannya?
“Ti-tidak mu-mungkin,” Langit bergumam pelan. “A-aku…”
‘Mati!’
Ingatan ketika Langit mengutuk sang Raja Hutan tiba-tiba terbesit dalam benaknya. Binatang besar itu tanpa bisa melawan, tewas begitu saja. Inikah kesaktian ucapan miliknya? siapapun, apapun, akan menjadi apa yang dia ucapkan.
Ini… menakutkan.
“Ti-tidak! a-aku ti-tidak mau!”
“O-oi! kau baik-baik saja? Hei, Langit!” Nyoman yang tidak mengerti segera mengguncang bahu temannya itu.
Anak laki-laki itu masih memegang kepalanya, keringat dingin turun di pelipis. Langit bisa mendengar suara Nyoman yang terus memanggilnya. Namun deru napas yang mendadak menjadi cepat, membuat tubuhnya lemas. Rasanya sakit sekali, sesak dan dia merasa kesulitan bernapas. Siapapun tolong, Langit mencengkram dadanya dan jatuh berlutut. Saat kesadaran Langit semakin menipis, dia sempat melihat sosok pria dan wanita dewasa menghampiri.
“To-tolong…,” ucap Langit merintih pelan.
“TIdurlah, Nak. Kau akan baik-baik saja.” Ujar wanita misterius itu, sentuhan tangan di keningnya terasa hangat dan nyaman. Tidak butuh waktu lama sampai Langit benar-benar kehilangan kesadarannya.
Continue…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
վմղíα | HV💕
2 iklan meluncur
2023-06-19
1
Ayano
Aku mo curiga ngeri salah. Tapi kalo dibilang mereka normal juga enggak
2023-05-31
1
Ayano
Boleh.... boleh gak aku kasih daun terus kamu bilang jadi uang
Serius aku butuh nih
2023-05-31
1