SEBELUM MEMBACA JANGAN LUPA BUDIDAYA LIKE YAA YA GUYS..........
CEKIDOT......
👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇
Setelah dinyatakan pulih, hari ini kedua anakku diperbolehkan pulang oleh dokter. Kondisi Nara masih belum terlalu stabil, tapi dokter menyarankan untuk pulang dan rawat jalan saja. Sebab rumah sakit tidak baik untuk kesehatan anak-anak. Apalagi, Nara butuh tempat istirahat yang tenang dan nyaman.
"Bu, ini surat konsulnya. Untuk Nona Nara langsung saja ke dokter THT. Tuan Naro, bawa ke dokter anak-anak," jelas salah satu perawat memberikan dua amplop berwarna coklat yang berlogo rumah sakit tempat kedua anakku dirawat.
"Terima kasih, Sus," ucapku sambil mengambil amplop tersebut dari tangan perawat.
"Om Divta, gendong Naro," pinta Naro manja.
"Naro," aku geleng-geleng kepala.
"Tidak apa, Ra," sahut Divta. "Sini, Son. Sama Om," ajak Divta mengulurkan tangannya agar bisa menggendong Naro.
Anak kecil berusia 7 tahun tentu badannya akan sedikit besar. Aku saja kadang kewalahan mengangkat tubuh anakku itu jika dia tertidur didepan televisi.
"Ra, biar aku saja yang dorong kursi roda Nara. Kamu capek 'kan? Kamu bawa barang saja," ucap Henny mengambil alih kursi roda Nara dari tangan ku.
"Terima kasih Hen," sahut ku.
Hari ini aku dijemput oleh Henny dan Divta. Sedangkan Kak Dea ada shift pagi sampai malam sehingga tidak bisa menjemput dirumah sakit. Mas Galvin, sejak pertemuan terakhir kami yang membahas tentang perpisahan hingga kini tak terlihat batang hidungnya.
Tak masalah dia melupakanku, tapi bisakah dia tak melupakan kedua anaknya? Nara dan Naro butuh sosok nya. Namun, justru di saat keadaan seperti ini dia tak bisa menepati janji nya untuk adil pada kami.
Lagi, pipi ku terasa panas saat mengingat kehancuran dalam rumah tangga ku. Rasanya hidup ini sangat kejam dan terlalu kejam. Aku bahkan tak memiliki bayang-bayang bagaimana kehidupan ku selanjutnya. Aku belum memiliki pekerjaan. Rumah saja, aku baru bayar separuh. Ya terpaksa aku membeli rumah secara kredit dengan uang tabungan ku yang lain, sedangkan tabungan anak-anak sudah terkuras membayar biaya rumah sakit. Bahkan aku masih memiliki banyak hutang pada Divta. Tentu setelah ini aku harus bekerja keras untuk membayar hutang dan membiayai kehidupan anak-anak ku.
"You okay?" bisik Divta menyamakan langkah kaki nya dengan ku. Tangan Naro memeluk lehernya.
"Mama baik-baik saja?" tanya Naro. Sedangkan Henny dan Nara berjalan paling depan.
"Mama baik-baik saja, Sayang," jawabku.
"Om Divta, Om itu kerja apa sih? Kok pakaian nya seperti ini?" tanya Naro penasaran. Jiwa ingin tahu Naro memang tinggi.
"Om bekerja sebagai abdi negara, Son," jawab Divta.
"Abdi negara itu apa?" tanya Naro tampak berpikir.
"Seseorang yang bekerja untuk Negara. Untuk menjaga dan melindungi kehidupan masyarakat yang ada di Negara tersebut," jelas Divta tersenyum gemes.
"Ohh seperti itu Om," seru Naro.
Banyak sekali perubahan yang Naro rasakan sejak dia bertemu Divta. Kedua orang ini seperti ayah dan anak yang saling bercerita satu sama lain.
Kami masuk kedalam mobil Divta. Sedangkan mobil ku sudah disita oleh ibu mertua. Ya seperti yang Mas Galvin katakan kemarin, ibu mertua tak ingin satu harta Mas Galvin pun jatuh ke tangan ku. Tak apa, aku juga tidak berniat diberikan apapun. Selama aku bisa berusaha sendiri, aku tidak akan mengemis meski mungkin anak-anak ku akan kelaparan.
.
.
.
Aku membeli rumah BTN di Jalan Cendana, Gang Istana Indah, Blok E No. 9. Lumayan jauh dari kota. Harga BTN nya tidak terlalu mahal, jadi masih terjangkau sesuai dengan kemampuanku.
Tak apa untuk sementara waktu aku tinggal di tempat kecil seperti ini. Mungkin anak-anak belum terbiasa. Tapi setelah beberapa hari atau Minggu dan bulan sampai tahun mereka akan mengerti. Sekecil apapun tempat tinggal jika selalu ada rasa syukur didalam nya pasti akan aman dan nyaman.
"Ma, ini rumah siapa? Kenapa tidak pulang ke rumah kita Ma?" tanya Nara menatap rumah kecil yang hanya berukuran 4*6 tersebut.
"Mulai sekarang, ini rumah kita ya Sayang," ucap ku berjongkok menyamakan tinggi badanku dengan Nara yang duduk dikursi roda.
"Tapi Ma. Papa kemana? Apa Papa juga ikut kita Ma?" mata Nara berkaca-kaca.
"Om, ayo kita masuk. Naro panas," ajak Naro mengalihkan pembicaraan. Putra kecil ku itu memang selalu paham pada kondisi hatiku. Naro, seperti tahu apa yang sedang melanda pikiran Mama nya. Kadang aku kagum pada pikiran anak sekecil itu. Masih belia tapi cara berpikir nya seperti orang dewasa.
"Jangan sedih. Naro paham perasaan kamu," bisik Divta lalu berjalan masuk.
BTN dengan ukuran 4*6 ini memang tidak besar. Tapi cukup untuk kami tinggali bertiga. Didepannya ada pagar yang seperti nya memang sengaja di buat agar tidak mencemari halaman rumah.
Aku mengangguk dan masuk. Sekarang tak hanya hatiku yang lelah tapi juga tubuhku. Untung ada Divta yang siap sedia membantu. Namun, tetap saja uang Divta yang terpakai akan aku ganti nanti nya.
"Ma, kecil sekali rumah kita," keluh Nara.
"Kak, harus nya Kakak bersyukur kita masih punya tempat tinggal. Diluar sana. Banyak orang yang hidupnya terlantar," sergah Naro kesal.
Wajah Nara berubah sedih. Putri kecil ku ini menunduk. Aku tahu Nara sudah biasa hidup dalam kemewahan. Kamar yang luas dan lengkap dengan meja belajar serta boneka-boneka mahal dari papa nya. Kini, di rumah ini hanya memiliki dua kamar. Satu kamar kecil khusus tamu dan satu kamar utama yang tidak terlalu besar. Tentu Nara akan protes karena dia belum terbiasa.
"Sayang," aku berjongkok lagi didepan Nara. "Nara harus membiasakan diri yaa untuk tinggal dirumah kecil. Kalau sudaj ada uang, kita bisa pindah kerumah yang lebih besar yang ada kolam berenang nya," ucap ku berusaha memberi pengertian.
"Tapi kenapa tidak tinggal dirumah lama kita, Ma? Disana ada Papa," lelehan bening dipipi Nara terjatuh sampai ke bawah. Seperti nya putri kecil ku ini sangat terluka.
"Mulai sekarang, kita tidak punya Papa lagi ya Nak. Nara harus bisa ikhlaskan Papa," ucapku dengan nada berat. Kurasakan sentuhan Henny di punggungku berusaha menyalurkan kekuatan lewat uluran tangannya
"Ikhlaskan apa Ma? Memang nya Papa mau kemana? Papa tidak tinggal sama kita Ma?" cecar Nara. Air mata bersimbah ruang keluar dari kelompok matanya.
Hancur hatiku benar-benar hancur. Anakku. Putri kecilku, Nara. Dia benar-benar menyanyangi sosok Mas Galvin. Tapi Nara tidak tahu bahwa lelaki yang begitu dia sayangi tersebut telah menancapkan luka yang sangat dalam dihatinya.
Tak sanggup, aku pun menangis tersedu-sedu. Tanpa peduli pada Divta dan Henny serta Naro. Saat ini duniaku benar-benar hancur. Apa yang harus aku jawab? Sanggupkah aku mengatakan bahwa perpisahan yang telah di hindari ini akan benar-benar terjadi?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
Ita Mariyanti
mg yg nabrak Nara naro is Lusia ben modyar2 kui Galvin dan ibu e yg sakit jiwa
2023-10-18
0
Hanipah Fitri
lama kelamaan juga Nara terbiasa dgn kondisi seperti ini, semoga Diandra, Nara dan Naro secepatnya menemukan ke bahagiaasn
2023-05-24
1