SEBELUM MEMBACA JANGAN LUPA BUDIDAYA LIKE YAA YA GUYS..........
CEKIDOT......
👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇
Aku masih menangis dipelukkan Divta. Sekarang aku tak peduli siapa yang sedang aku peluk ini. Aku hanya ingin meluapkan semua emosi dan kemarahan yang menghantam dadaku.
Lama aku menangis sambil memeluk Divta. Pelukkan ini nyaman sekali. Hangat dan aku merasa terlindungi. Pelukkan senyaman ini pernah aku miliki beberapa tahun lalu. Namun, sekarang pelukkan hangat yang aku rindukan bukan lagi milik suami ku.
Divta melepaskan pelukan ku lalu menyeka air mataku. Dia masih memakai pakaian dinas. Ku akui, jika memakai pakaian ini dia tampan tampan dengan tubuh atletis nya.
"Sudah, jangan menangis lagi. Kamu serahkan semua nya pada Tuhan," ucap Divta menenangkan.
Bukan hanya masalah kesembuhan anak-anak ku. Tapi juga biaya rumah sakit. Biaya rumah sakit yang sangat besar. Aku harus cari uang kemana? Meminta pada Mas Galvin, pasti mertua ku akan mengomel lagi. Dia sudah memperingatkan aku agar menjauhi suamiku sendiri. Tak apa aku menikmati setiap rasa sakit yang menghantam dadaku. Hanya saja dari mana aku dapat uang sebanyak ratusan juta?
"Ayo duduk," ajak Divta menuntunku duduk di kursi tunggu.
Aku tak pernah sedekat ini dengan Divta. Tapi kenapa kali ini perasaan ku merasa nyaman. Seolah sesak didalam dadaku hilang ketika merasakan pelukan nyaman yang Divta berikan. Apa karena sama-sama terluka? Apa karena kami sama di buat kecewa?
"Ta," ucapku lirih sambil menghapus air mataku dengan kasar. "Nara, mengalami beberapa patah tulang. Sementara Naro masih kritis. Apa yang harus aku lakukan Ta? Aku takut anak-anak ku pergi meninggalkan aku. Kamu tahu, bahwa mereka adalah alasan kenapa aku bertahan hidup sampai sekarang," jelasku sambil segugukan.
Divta mengusap pipi basahku. Sentuhan hangat ini benar-benar menjalar masuk kedalam relung hati. Hingga menimbulkan rasa aneh yang tak biasa.
"Mereka anak-anak yang kuat. Mereka pasti bisa melewati semua ini. Kamu juga harus kuat. Kamu tidak boleh lemah. Kamu harus jadi penyemangat untuk anak-anak mu," ucap Divta
Aku mengangguk. Aku juga ingin kuat. Tapi nyatanya, aku tak sekuat itu. Aku lemah dalam banyak hal. Bukan karena memikirkan perasaan ku sendiri, ada banyak hal yang tak bisa ku ungkapkan lewat kata-kata.
"Biaya rumah sakit besar, Ta. Belum lagi biaya operasi Nara. Aku tidak tahu harus mencari uang kemana. Ibu mertua menyuruh ku menjauhi Mas Galvin. Aku tidak bisa lagi mengadu padanya. Apalagi saat surat panggilan dari pengadilan," ungkap ku. Sebenarnya aku malu mengakui krisis nya keuangan ku. Tapi bagaimana lagi. Uang tabungan yang aku siapkan untuk masa depan anak-anak, sudah aku gunakan untuk membayar beberapa biaya rumah sakit Naro dan Nara. Uang itu tidak cukup malah kurang.
"Kamu tenang saja. Masalah uang, aku ada. Kamu bisa pakai," ucap Divta sambil tersenyum.
"Tapi itu uang kamu, Ta. Aku tidak bisa," tolakku. Bukan apa, aku sejak dulu mandiri. Bahkan meminta uang pada Mas Galvin saja aku tidak pernah jika bukan dia yang memberikan sendiri.
"Kamu pakai saja dulu. Kamu bisa ganti kalau sudah punya uang," jelas Divta.
Aku mengangguk. Aku kembali menatap kosong ke ruangan ICU yang transparan. Lagi-lagi dadaku terasa sesak saat melihat kedua malaikat kecilku terbaring lemah diatas ranjang. Kenapa cobaan datang bertubi-tubi menghampiri ku? Tidakkah ada bahagia yang bisa aku miliki.
"Kamu wanita kuat, Ra. Kamu pasti bisa lewati ini semua." Aku terkejut saat Divta mengenggam tanganku. Tatapan kami berdua seketika bertemu. "Kamu tidak perlu khawatir, aku akan menemani mu melewati ini. Jika kamu butuh apa-apa, jangan sungkan," imbuhnya.
Seandainya suamiku yang berkata seperti ini mungkin aku akan menjadi wanita paling bahagia didunia. Namun, sayang yang mengatakan jika justru orang lain yang tak memiliki ikatan apa-apa denganku.
"Ya sudah, ayo kita masuk keruangan Nara dan Naro," ajak Divta menarik tanganku berdiri.
Aku hanya menurut sebab saat ini tidak ada yang lain dipikiran ku selain kedua anakku.
Aku dan Divta masuk kedalam ruangan ICU. Hatiku lagi-lagi tergores ketika melihat malaikat kecil yang Tuhan titipkan itu, kini terpejam dengan tubuh lemahnya.
"Nara. Naro. Bangun, Nak. Mama kangen sama kalian," ucap ku. Aku benar-benar merindukan kedua anakku. Aku rindu ingin makan bersama mereka berdua.
"Ra,"
Aku dan Divta menoleh kearah pintu masuk. Tampak Mas Galvin membawa kantong kresek ditangannya. Langkah nya terhenti ketika melihat Divta berdiri disampingku.
"Kamu sudah makan siang, Ra?" tangannya penuh perhatian.
Siapa yang menyangka jika suara selembut dan seperhatian itu bisa berkhianat dan menciptakan luka serta kecewa.
"Sudah Mas," jawabku dingin. Aku diterus diteror oleh ibu mertua agar menjauhi Mas Galvin.
"Mas bawakan kamu makan," ucap nya menunjukkan kantong kresek ditangannya.
Aku mengangguk tanpa menjawab. Tatapan Mas Galvin tertuju pada Divta yang tangannya memegang bahu kananku. Ya Divta meremas bahukj seolah memberi kekuatan lewat tangannya tersebut. Laki-laki ini seolah tahu bahwa aku tak baik-baik saja saat bertemu dengan Mas Galvin.
"Divta, bisa keluar sebentar. Aku ingin berbicara dengan istriku," ucap Mas Galvin menatap Divta tajam.
"Bicara apa, Mas?" tanya ku melihat kearah Mas Galvin. Sedangkan Divta hanya terdiam tanpa ekspresi.
"Sesuatu yang penting, Ra. Ini tentang kita," jawab Mas Galvin.
"Tentang kita apalagi, Mas. Aku tidak membicarakan apapun saat ini. Aku mau fokus pada Nara dan Naro," sahutku. Bahkan urusan perceraian pun aku sudah tak mampu memikirkan nya. Biarlah semua mengalir seperti air mengalir.
"Kamu bicara saja dengan dia. Mungkin ada sesuatu yang penting. Aku tunggu diluar. Jika ada apa-apa, panggil aku," ucap Divta mengusap kepalaku.
"Terima kasih, Ta," balas ku.
Rasanya bersyukur pada Tuhan. Dalam keadaan aku tak memiliki harapan untuk menjalani gelapnya hidupku. Tuhan mengirimkan Divta sebagai seseorang yang nyaman untuk aku bersandar. Meski kami tak memiliki hubungan, sebab statusku masih bersuami.
Divta keluar dari ruangan. Sebelum nya tampak dia dan Mas Galvin saling melihat tak suka. Sejak dulu, hubungan mereka memang retak, karena kedekatan ku dengan Divta jika ada tugas OSIS.
"Mau bicara apa, Mas?" tanyaku tanpa melihat Mas Galvin.
Jangan salah, aku bukan wanita lemah lembut yang suka basa-basi. Aku keras seperti batu. Aku anti untuk di jadikan babu. Aku tak bisa membiarkan orang lain menginjak harga diriku.
"Ini tenang kita, Ra," jawab Mas Galvin menatapku dalam. Aku tidak tahu apakah masih mencintaiku atau tidak? Karena jika dia mencintaiku, tidak akan ada Lusia diantara kami.
Sejak Nara dan Naro dirawat dirumah sakit, aku jarang pulang ke rumah. Hanya pulang sebentar mengambil beberapa barang keperluanku, sebab aku jenggah melihat wajah polos Lusia yang syok peduli padaku. Aku bisa baca dari tatapan mata Lusia jika dia memiliki dua wajah yang bisa berubah seperti bunglon. Jadi aku tidak akan terpengaruh oleh tatapan matanya tersebut.
Bersambung............
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
Elena Sirregar
kalau Galvin sudah bawa lusia berarti dia milh isteri keduanya maka tinggalkanlah suami mu Diandra
2023-06-12
2
Hanipah Fitri
Lusiana itu ular, maka sikap nya ya seperti itu.
semoga cepat dapat balasan untuk org org yg telah menyakiti Diandra
2023-05-24
2