SEBELUM MEMBACA JANGAN LUPA BUDIDAYA LIKE YAA YA GUYS..........
CEKIDOT......
👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇
Seperti biasa aku akan bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan pagi dan mengurus anak-anak ku. Kegiatan ini tidak pernah bosan aku lakukan. Menjadi ibu rumah tangga memang bukan tugas yang ringan. Tapi tugas tersebut sudah ku emban selama kurang lebih 11 tahun.
"Mama,"
Tampak Nara dan Naro berjalan kearah meja makan dengan seragam rapi dan juga lengkap. Hal yang selalu membuat aku terharu, kedua anak ku ini tidak manja. Mereka selalu bisa mengurus semua keperluan sendiri tanpa perlu aku berepot-repot untuk turun tangan.
"Pagi Sayang. Pagi ini, bawa bekal saja yaa. Nanti kalian sarapan di sekolah saja," ucap ku menyiapkan dua bekal untuk kedua anak ku.
"Iya Ma," keduanya menurut tanpa bertanya.
"Papa," panggil Nara saat melihat Mas Galvin menghampiri meja makan dengan stelan lengkapnya.
"Pagi kesayangan Papa," balas Mas Galvin mengecup ujung kepala Nara.
"Pagi jagoan Papa," sapanya pada Naro.
"Pagi," balas Naro dingin. Sejak kecil sampai berusia 7 tahun. Naro memang tidak dekat dengan Mas Galvin, dia terkesan cuek dan tidak peduli pada Papa nya.
"Papa an_" ucapan Nara terpotong saat melihat Lusia berjalan kearah meja makan sambil mendorong box bayi anaknya.
Seperti nya Lusia tidak bekerja karena dia masih memakai pakaian rumahan dan belum mandi.
"Papa siapa Tante itu? Apa benar Nara harus panggil dia Mama seperti kata Oma semalam?" tanya Nara penasaran.
Mas Galvin dan Lusia tampak kikuk dan saling melihat. Sedangkan aku tak mau tahu. Biarlah Mas Galvin menghadapi kecerewetan anaknya sendiri. Dia belum tahu saja jika Nara ini memiliki jiwa ingin tahu yang tinggi.
"Ini_"
"Nara, ayo kita berangkat Nak," ajak ku memotong ucapan Mas Galvin. Aku akan mengatur waktu untuk membicarakan hal ini dengan kedua anakku. Aku butuh waktu untuk memberitahu mereka.
"Lho, tidak berangkat dengan Papa, Ma?" tanya Nara heran. Biasanya mereka akan berangkat dengan Mas Galvin karena arah sekolah Nara dan Naro searah dengan kantor Mas Galvin.
"Ayo Pa_"
"Mulai sekarang Mama yang antar kalian. Ayo nanti terlambat," aku menyambar tas ku dan memotong ucapan Mas Galvin.
Tampak Mas Galvin dan Lusia terdiam. Aku tahu Lusia ini diam-diam polos tapi tidak dengan hatinya. Bisa kulihat sorot matanya yang seperti kesal dan menyimpan kebencian padaku. Aku kadang suka heran, padahal dia yang merebut Mas Galvin dariku, kenapa seperti dia yang tersakiti? Benar-benar aneh.
"Ayo Ma," ajak Naro turun dari kursi meja makan.
"Pa, Nara berangkat duluan ya," Nara tak lupa menyalami Papa nya begitu juga dengan Naro.
Kebiasaan ini aku terapkan sejak mereka duduk di taman kanak-kanak, hingga sekarang kedua anakku mula terbiasa untuk sopan pada yang lebih tua dari mereka.
"Mas aku juga berangkat." Aku ikut menyalami tangan Mas Galvin.
Aku segera menahan Mas Galvin ketika hendak mengecup kening ku seperti biasa. Aku sekarang sudah tidak sudi disentuh oleh lelaki ini.
"Hargai perasaan istri kamu, Mas," ucapku.
"Ra,"
"Ayo, anak-anak." Aku menggandeng tangan Nara dan Naro menuju mobil.
"Mama, itu siapa sih Ma? Kenapa tinggal sama kita? Terus tadi Nara lihat dia keluar dari kamar sama Papa. Kenapa tadi malam, Mama tidur sama Naro?" cecar Nara. Sudah kuduga dia akan bertanya tentang hal ini.
"Kak, bisa tidak jangan bahas hal tidak penting," protes Naro.
"Kakak penasaran, Naro," sergah Nara melirik Naro kesal.
Aku harus jawab apa? Apakah jawabanku akan membuat anak-anak ku terluka? Tapi nanti mereka juga akan tahu seperti apa lelaki yang mendapat gelar Papa mereka itu.
Aku tak menjawab dan masih fokus menyetir. Goncangan yang menghadang rumah tanggaku benar-benar menguras emosi dan tenaga.
"Kalian belajar benar ya. Nanti Mama jemput," pesan ku memperbaiki das Nara yang sedikit bergeser.
"Iya Ma," jawab Nara.
"Naro, Sayang," panggil ku berjongkok didepannya.
"Mama," tangan Naro mengusap pipi ku. "Mama jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," ucapnya yang seolah tahu apa yang aku rasakan.
"Terima kasih, Sayang." Aku menarik tubuh Naro kedalam pelukanku. Aku memang butuh pelukkan nyaman seperti ini.
Jiwaku sedang di uji. Hatiku dihantam hebat oleh kenyataan. Aku butuh sandaran. Tapi tak ada orang yang bisa ku jadikan tempat bercerita. Semua dunia seolah menjauh dariku. Aku tak sekuat itu. Aku tak sehebat itu dalam menahan beban yang berada di pundak ku.
Aku melepaskan pelukan Naro dan mengusap kepalanya. Aku bersyukur dalam keadaan rapuh seperti ini, Tuhan mengirimkan malaikat kecil yang menjadi tempat ternyaman untuk aku pulang.
"Kalian masuk sana," suruh ku.
"Dadada Nama," seru Nara sambil melambaikan tangan kearah ku.
Aku membalas dengan lambaian tangan. Lalu menghela nafas panjang dan kembali kedalam mobil. Lagi tak bisa kutahan air mata ini. Kenapa rasanya sangat sakit saat mengingat pengkhianatan Mas Galvin.
"Aku harus mencari pekerjaan. Setelah berpisah dengan Mas Galvin, aku akan berjuang sendiri," ucapku. "Tapi pekerjaan apa yang cocok untuk lulusan sekolah menengah seperti ku," aku mendesah pelan.
Ya aku harus mencari pekerjaan, sebab jika perpisahan itu tiba. Aku akan mandiri dan mencari uang sendiri. Aku memiliki sedikit tabungan sekolah anak-anak, uang itu akan aku gunakan untuk mencari kontrakan kecil bersama kedua anak ku. Mobil ini juga bukan milikku, aku akan mengembalikan nya pada Mas Galvin.
Aku menangis tertahan didalam mobil. Entah kemana aku akan pergi? Rasanya semua jalan terasa buntu. Aku ingin mengadu, tapi apa siapa? Tidak ada pundak yang bisa ku jadikan sandaran saat ini.
Ayah, aku ingin mengadu padanya. Aku bercerita padanya, bahwa saat ini aku tengah rapuh. Aku menyesal karena tidak mendengarkan kata nya yang dulu.
Mobilku terparkir didepan rumah Kak Dea. Kak Dea adalah kakak ku yang paling tua, dia juga sudah menikah dan memiliki tiga anak. Bahkan anak nya yang sulung sudah duduk dibangku sekolah menengah. Kakak ku bekerja sebagai perawat disalah satu rumah sakit negeri disini.
"Tumben kamu datang, Ra?" tanya Kak Dea menatapku penuh selidik.
Kak Dea termasuk orang yang menentang hubungan ku dan Mas Galvin. Hanya saja waktu itu aku yang sangat keras sehingga tidak mendengarkan ucapan ayah dan kedua kakak ku. Yang ada dipikiran ku hanya Mas Galvin.
Aku menghela nafas panjang. Kakak ku ini memang orang nya tegas dan berani. Tidak jauh beda dengan aku. Hanya saja aku ini bodoh karena telah menikah dengan laki-laki yang salah.
"Aku mau cerai sama Mas Galvin, Kak," ucapku
Kak Dea tampak terkejut. Bahkan dia menatapku tak percaya. Sebab Kak Dea tahu betapa aku nencintai lelaki yang sekarang masih menjadi suamiku itu. Jadi pastilah dia heran jika aku akhirnya memilih berpisah dengan lelaki tersebut.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
Elena Sirregar
bercerai lebih baik dari pada hati sakit. lebih baik capek mengurus anak² dan suami dr pada hati yg sakit untuk melihat madu berada di rumah sendiri sakit weee
2023-06-12
1
cinta semu
benar kata orang ...masih ada saudara untuk sekedar pulang n curhat ...smg u mendapatkan yg terbaik Diandra
2023-06-03
0
Hanipah Fitri
tetap semangat thor, ceritanya bagus padat dan jelas, tapi sayang yg like' sedikit
2023-05-23
0