SEBELUM MEMBACA JANGAN LUPA BUDIDAYA LIKE YAA YA GUYS..........
CEKIDOT......
👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇
"Nara," panggilku ketika melihat pergerakan tangan dari anakku.
"Naro," panggil ku juga pada Naro.
Aku panik mencari dokter. Apakah kedua anakku akan bangun dari tidur panjang mereka.
Dokter masuk untuk memeriksa keadaan Nara dan Naro. Memang beberapa hari dirawat kondisi mereka sudah lebih membaik. Hanya saja belum sadar, entah itu dari pengaruh obat bius atau memang rasa sakit di dalam tubuh masih terasa begitu menyiksa.
"Bagaimana anak-anak saya, Dok?" tanyaku tak sabar.
"Anak-anak Ibu sudah melewati masa kritisnya. Sebentar lagi mereka akan sadar dari pengaruh obat bius. Terkhusus untuk Nara, Bu....." Dokter Stella menghela nafas panjang. "Nara mengalami kelumpuhan dibagian kaki nya. Tapi ini bukan kelumpuhan permanen, kemungkinan masih bisa di sembuhkan dengan melakukan beberapa terapi. Apalagi usia Nara masih muda jadi tulang-tulang nya masih bisa untuk diperbaiki," jelas Dokter Stella.
Mataku berkaca-kaca, anakku Nara akan cacat. Bagaimana reaksi nya saat tahu bahwa dirinya tidak akan bisa berjalan seperti biasa. Semoga saja, Nara bisa disembuhkan. Aku akan lakukan apapun untuk kesembuhan putri kecilku ini. Aku tidak akan tega membiarkan nya duduk dikursi roda seumur hidupnya.
"Untuk bagian kaki nya yang patah, kami sudah memasang alat bantu untuk memulihkan kaki nya. Jadi Ibu tidak perlu khawatir," sambung Dokter Stella.
"Terima kasih Dok," sahutku.
Air mataku tak bisa lagi dibendung. Selama anak-anak ku kecelakaan, aku benar-benar menjadi seorang mama yang lemah. Harusnya aku jadi penguat tapi kenapa malah aku yang paling rapuh disini.
"Ma-ma," lirih Naro memanggil ku.
Segera aku bergegas menuju ranjang Naro. Sementara Nara masih terpejam, meski tubuhnya mulai beraksi bahwa yang empunya pemilik tubuh masih hidup.
"Iya Sayang, dimana yang sakit, Nak? Ayo bilang sama Mama," ucapku. Sial air mataku benar-benar tak bisa diajak bekerja sama. Bisakah air mata jangan jatuh dulu disaat aku lagi bersama anakku. Seperti kata Divta aku harus jadi penguat mereka.
Henny dan Kak Dea masuk kedalam ruangan. Mereka berdua memang selalu menemani ku setiap hari dirumah sakit. Kadang Divta juga datang untuk membawakan makanan atau sekedar membawa buah-buahan.
"M-ma-ma," gumam Naro pelan.
Tuhan aku tidak tega, anakku kesakitan seperti ini. Dan lagi, air mataku masih saja bercanda dan seperti mengolok bahwa aku kalah sehingga dia jatuh didepan Naro. Naro akan sedih jika melihat air mataku ini.
"Dimana yang sakit, Sayang? Ayo bilang sama Tante," ucap Kak Dea ikut membujuk Naro.
Tatapan Naro tertuju padaku. Kepalanya dipasang perban. Kaki dan tangannya juga ikut dibungkus dengan benda berwarna putih tersebut. Beberapa bagian tubuh nya luka akibat terpental ke aspal. Tak bisa ku bayangkan, bagaimana sakitnya tubuh kecil Naro ketika di hempaskan begitu jauh.
"Ma-ma," panggil Naro dengan suara nya yang tak jelas.
"Mama disini Sayang. Naro mau butuh apa?" tanyaku lembut.
Lelaki kecil ini malah menggeleng dengan pelan. Kondisi nya benar-benar membuat hati teriris. Putra kecilku kesakitan.
"K-ka-kak," ucap Naro tak tembus.
Ya aku tahu Naro sangat menyanyangi kakaknya. Sehingga dalam keadaan seperti ini pun, dia masih mengkhawatirkan Nara. Aku berharap kelak jika mereka sudah dewasa. Naro, bisa menjaga Nara dengan baik.
"Kakak baik-baik saja, Nak. Naro tidak perlu khawatir yaa," ucapku. "Nak, Mama pengen peluk Naro, boleh? Mama kangen banget sama Naro. Selama Naro tidur Mama sendirian," ucapku terdengar lirih. Aku benar-benar merindukan anakku. Aku rindu sifat dingin dan cuek nya hamba justru terlihat menggemaskan di mataku.
"N-a-ro ju-ga kan-gen sa-ma Mama," katanya
Aku memeluk tubuh kecil anak ku yang terbaring. Rasanya tak ada ucapan syukur yang lebih banyak selain melihat kedua anakku kembali terbangun. Aku sudah pesimis, aku sudah takut. Namun, Tuhan masih memberiku bahagia dengan membiarkan kedua anakku bertahan hingga kini.
Aku menangis sambil memeluk Naro kecil. Tak peduli jika dia tahu bahwa aku sedang terluka. Aku hanya ingin meluapkan perasaan sakit yang ada didada ku selama ini. Perasaan membuncah yang benar-benar membuatku tak berdaya.
Henny dan Kak Dea ikut terharu. Mereka tahu bagaimana perjuangan ku selama Nara dan Naro koma dirumah sakit. Aku kejar-kejaran mencari dokter dan biaya rumah sakit. Kak Dea tak bisa membantu banyak sebab dia juga memiliki tanggungan. Begitu juga dengan Henny yang hanya sebagai ibu rumah tangga. Divta lah yang membantuku, aku tak bisa membalas kebaikan lelaki itu padaku. Dia terlalu baik. Semoga saja, Divta mendapatkan kebahagiaan nanti. Orang baik seperti nya pantas mendapatkan seseorang yang juga jauh lebih.
Aku melepaskan pelukan Naro dan menyeka air mataku.
"Ma-ma jangan menangis," kini suara Naro kembali normal. Seperti nya obat yang disuntikan melalui saluran infuse sudah beraksi.
"Terima kasih sudah kembali, Sayang. Maafkan Mama yang lalai," ucapku merasa bersalah. Ya aku merasa bersalah sebab karena aku lalai kedua anak ku celaka.
.
.
Nara juga perlahan membuka matanya. Aku belum siap mengatakan kondisi kaki Nara padanya. Dia pasti akan sangat terluka jika tahu dirinya cacat. Apalagi nanti akan dihadapkan dengan kenyataan atas perpisahan kami, aku tak bisa bayangkan hatinya yang terluka. Pasti dia akan merasakan sakit yang teramat dalam didadanya.
Setidaknya dengan mereka terbangun dari tidur panjang, aku sudah bahagia. Tidak apa aku harus berjuang merawat mereka dengan bekerja keras, asal mereka baik-baik saja, aku rela mengorbankan apapun.
"Mama, Papa kemana?" tanya Nara. Sejak dia bangun dari koma, Mas Galvin memang tak pernah datang lagi kerumah sakit.
Aku kecewa. Aku marah. Mas Galvin benar-benar di kuasai oleh Lusia dan ibu nya. Bahkan dia tak bisa membagi waktu antara dirinya dan anak-anak. Harusnya Mas Galvin tahu, bahwa Nara dan Naro saat ini sedang membutuhkan kehadiran nya.
"Papa lagi sibuk kerja, Sayang," jawabku asal. Tak mungkin aku mengatakan bahwa Mas Galvin memang tidak mau datang kerumah sakit.
"Ra,"
Divta masuk kedalam ruangan rawat Nara dan Naro. Sedangkan Henny sudah pulang tadi pagi karena harus mengurus suami dan anaknya.
"Ta," balas ku tersenyum.
"Pagi kesayangan Om," sapanya pada Nara dan Naro.
"Pagi juga Om," balas Nara dan Naro bersamaan.
Naro sangat akrab dengan Divta. Sejak pertemuan pertama direstourant kemarin, Naro sering menanyakan Divta. Padahal Naro adalah anak yang dingin dan jarang mau bicara. Tapi saat bertemu Divta dia seperti anak-anak pada umum nya.
"Ini Om bawakan buah kesukaan kalian," ucap Divta mengangkat kantong yang dia bawa dengan bangga.
"Wahh terima kasih Om!" seru Nara.
"Sama-sama Sayang. Om buka buat kalian yaaa," ucap nya mengeluarkan beberapa buahan dari dalam kantong.
"Iya Om," sahut Nara semangat.
"Kamu tidak briefing pagi, Ta?" tanyaku yang masih menyuapi kedua anakku secara bergantian.
"Aku wakilkan pada asisten ku," jawabnya.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 328 Episodes
Comments
Ita Mariyanti
mg kalean d jodoh kan othor a TaRa 😍😍😘😘😘
2023-10-18
0
Hanipah Fitri
trims ya thor, up nya dobel
2023-05-24
0