Happy reading
Tak terasa hari sudah kembali pagi, kedua anak manusia yang sedang berbagi hangatnya sebuah pelukan itu enggan untuk bangun. Apalagi seorang gadis yang sedang menelusupkan wajahnya di dada sang laki laki yang memeluknya itu.
Tidur nyenyak mereka tak terusik dengan adanya suara dari luar yang ternyata adalah orang tua dari Arum dan Gibran. Tak biasanya mereka seperti ini, walau senyenyak nyenyaknya mereka tidur biasanya bangun pasti jam 5 lebih. Dan ini sudah pukul setengah 7 pagi.
Ceklek
"Ya ampun mereka ini, katanya marahan tapi kok malah tidur bareng gini?" tanya Mama Anin yang hanya bisa geleng geleng melihat posisi mereka.
"Aduh anakku, mau maunya di kekep kayak gitu," ucap Mama Tiya menatap posisi keduanya yang astaghfirullah.
Bayangkan saja posisi Gibran saat ini sedang memeluk Arum, dengan kaki yang menimpa kaki kecil Arum. Tapi anehnya Arum tak terganggu dengan hal itu, anak perempuannya itu malah memeluk erat pinggang Gibran dengan wajah yang sudah tak terlihat.
"Sstt sepertinya mereka masih lelah, apa sebaiknya kita biarkan saja?" tanya Papa Abi yang tak tega melihat mereka yang sepertinya sangat lelah.
Kedua wanita yang mendengar itu langsung saling tatap kemudian.
"Enggak!!" seru keduanya dengan nada yang sedikit keras.
"Sstt."
"Papa kalau calon mantu Mama di apa apain sama anak kamu gimana? Kamu tahu sendiri Gibran gimana orangnya," ucap Mama Anin pada sang suami.
Gibran memang memiliki banyak akal hingga tak jarang Gibran selalu menang jika berdebat dengan kedua orang tuanya ini. Selain bandel, Gibran juga gak ingin di atur atur. Tapi semenjak ada Arum, Gibran jadi lebih baik hidupnya.
"Iya bener kata Anin. Kamu ini gimana sih, Bi. Anak aku yang cantiknya kebangetan itu bisa aja langsung tekdung kalau dibiarin kayak gini," ucap Mama Tiya pada Papa Abi yang tak setuju jika mereka dibiarkan seperti itu terus.
"Terus kalian ingin gimana?" tanya laki laki itu sedangkan Papa Sandi hanya diam seraya mengamati keduanya yang sedikit pucat. Bukan hanya Arum tapi juga Gibran.
"Anak kamu juga ikut demam, Bi. Jadi wajar kalau dari tadi mereka tak bangun," ucap Papa Sandi yang baru saja mengecek suhu tubuh kedua anaknya.
Mereka langsung mengecek suhu tubuh anak anaknya dengan punggung tangan mereka.
"Dasar anak anak, sakit pun kalian barengan," ucap Mama Tiya yang hanya bisa menggeleng.
"Ini namanya jodoh, Mbak."
"Semoga saja Gibran tak menyakiti putriku lagi," ucap Mama Tiya yang berlalu memanggil Dokter. Sedangkan mereka yang ada disana membangunkan Gibran dan Arum.
Saat para orang tua membangunkan keduanya, Gibran nampaknya langsung kesal. Tapi tak membuat pelukan itu terlepas malah makin erat.
"Apaan sih Ma, Gibran mau tidur," ucap Gibran dengan mata uang tertutup. Padahal yang membangunkan itu Papa Sandi.
"Astaga mereka masih di bawah mimpi ini."
"Gibran, Arum bangun sayang," ucap Mama Anin yang mulai turun tangan. Wanita paruh baya itu menepuk pelan pipi Gibran yang otomatis membuat Arum mendengar suaranya tepukan itu.
"Eughhh, panas."
Yah, Arum kepanasan karena suhu tubuh Gibran yang panas. Begitupun dengan tubuhnya yang belum sepenuhnya sembuh.
Deg
"Ini tubuh Gibran?" tanya Arum dalam hati.
Bayangkan saja saat ini ia masih sangat marah pada Gibran tapi kenapa dengan mudahnya ia menerima pelukan Gibran dan juga memeluk Gibran.
Tapi yang menjadi perhatiannya adalah suhu tubuh Gibran sangat panas. Hingga membuat ia khawatir, tak bisa dipungkiri jika Arum masih sangat peduli dengan Gibran.
Saat ingin melepas pelukannya itu Gibran malah makin mengeratkan pelukannya.
"Mah, badan Gibran dingin," Gibran mengigau ia pikir yang ia peluk itu adalah gulingnya yang empuk.
"Bangun, gue bukan guling!!!"
Diam
Mereka semua yang ada disana terdiam, bahkan Gibran yang tadi memeluk erat itu langsung melonggarkan pelukannya terhadap Arum.
"Sayang, suara kamu kok jelas banget. Kamu dimana?" tanya Gibran yang masih menutup mata.
Arum yang merasa jika pelukannya itu melonggar dengan cepat keluar dari zona pelukan Gibran hingga tanpa sengaja infus di tangannya terlepas.
"Ssshh."
Bersamaan dengan itu dokter dan Mama Tiya datang ke ruangan Arum. Mama Tiya langsung menghampiri anaknya yang sudah terbangun di samping Gibran yang masih terbaring.
Dokter langsung memeriksa kedua anak yang masih berada di atas ranjang rumah sakit itu. Arum juga santai santai saja berbagi ranjang dengan Gibran walau wajah gadis itu tidak baik baik saja.
"Kemarin yang cewek, sekarang cowoknya yang sakit," ucap dokter itu menggelengkan kepalanya. Hal itu masih bisa di dengar jelas oleh Arum dan Gibran.
"Kan pasangan harus saling melengkapi," lirih Gibran yang masih setengah sadar. Rasa dingin di tubuhnya membuat ia tak kuat membuka matanya.
"Ralat kita udah MANTAN!!"
"Hmm terserah kamu aja, tapi kita tetap pacaran," ucapnya kembali menarik tangan Arum yang sudah diberi plester jadi tidak akan sakit saat bekas itu tersentuh.
Gibran tak ada malu malunya memeluk tubuh Arum, sedangkan Arum dengan wajah merahnya berusaha keluar dari dalam dekapan Gibran.
"Sstt diam, aku mau tidur lagi."
"Gak mau apaan sih, gue udah sembuh. Mau pulang," ucap Arum terus terusan meronta.
Hal itu malah terlihat lucu di mata mereka, apalagi dokter dan suster yang memang sudah dua kali ini melihat mereka hari ini. Pagi tadi saat ingin mengecek keadaan Arum, ia urungkan karena melihat pemandangan yang sungguh menggoda iman.
"Gibran tidak apa apa hanya demam biasa, nanti setelah kesadarannya sudah kembali silahkan untuk diberi makan dulu baru minum obat penurun panas."
" Kalau untuk Arum sendiri, keadaannya sudah mulai membaik, tolong di jaga kesehatannya. Jangan lupa makan sebelum beraktifitas. Karena penyakit maag itu jika dibiarkan bisa menjadi penyakit yang berbahaya bahkan bisa membuat penderita meninggal dunia. Banyak kasus seperti kamu ini, jadi tolong dijaga pola makannya juga."
"Iya dok."
Akhirnya dokter dan suster itu keluar dari kamar rawat itu. Kemudian tersisalah para orang tua dan kedua anak mereka.
Drrttt
"Siapa Ma?" tanya Papa Sandi menatap sang istri.
"Naufal."
"Jangan bilang, Arum masuk rumah sakit. Aku gak mau Abang khawatir," ucap Arum yang menongolkan kepalanya dari ketiak Gibran.
"Bau."
Mereka yang ada disana tertawa melihat ekspresi Arum yang sangat lucu. Apalagi Gibran yang tampak tidak peduli dengan sekitarnya. Mungkin itu efek dari sakitnya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Sri Wahyuni
sehati nih yeee☺️☺️☺️☺️
susah senang bersama sampai sakitpun bersama 😘😘😘
2023-06-03
0